Selasa, 25 Oktober 2011

Catatan Harian Hujan Pertama


By. Dofri Bone


Hujan pertama untuk kesekian kalinya sejak kepergianmu. Dan seperti hujan-hujan pertama yang telah lewat, hujan pertama kali ini mengorek lagi kerinduan yang kupendam setiap waktu dalam hitungan detik, deti-detik penuh harapan akan pemenuhan janji bahwa kau akan datang pada hujan pertama. Janji yang kau ikrarkan saat kau memutuskan untuk meninggalkanku bersama mimpi yang belum usai menjelang fajar. Kucoba merangkai hujan-hujan pertama itu, kuanyam dalam satu musim penuh rindu yang menggigit.

Hujan Pertama Tahun Pertama
Kau putuskan untuk meninggalkanku, kauputuskan untuk meninggalkan benih yang kau semaikan di lahan rahimku. Demi aku dan anak kita, katamu. Dan kebanggaan keperempuananku membuatku rela melepasmu menyeberangi lautan yang tak kubayangkan seberapa banyaknya. Tujuh, menurut dongeng masa kecil yang kudengar dari nenek. Semua orang menganggapku perempuan paling beruntung. Keberuntungan yang diukur berdasarkan keputusanmu mengais nafkah sebagai tenaga kerja illegal ke negeri jiran. Keberuntungan yang ditakar berdasarkan kurs ringgit yang bila dirupiahkan akan mengubah angka-angka di rekeningku menjadi semakin besar nilainya.

Hujan Pertama Tahun Kedua
Kau kirimkan aku sepucuk surat. Aku tetawa, sampai-sampai orang sekampung menjadi heboh. Aku punya dua alasan untuk tertawa. Pertama, kau tahu aku hanya menamatkan sekolah dasarku, dan kau tuliskan aku surat dalam bahasa yang sangat tidak kumengerti. Bahasa inggris, demikian kata anak-anak SMP. Kedua, salah satu kalimat yang dibaca diterjemahkan kepadaku adalah ai lav yu, aku cinta kau. Ingin rasanya aku terbang melayang. Aku tak kuasa menahan mendungan kebahagiaan yang meluap dari mataku. Ingin rasanya aku berlari kepadamu dan meneriakkan ai lav yu juga. Aku bukan lagi menjadi perempuan paling beruntung. Aku telah menjadi perempuan paling hebat. Dan agar kau juga bisa membayangkannya, betapa bangganya anak kita yang baru berusia belum genap setahun ini bila kelak aku menceritakan kehebatanmu, kehebatan ayahnya. Suratmu membuatku lebih hidup. Aku bisa merasakan cintamu. Aku bisa menghirup aroma keringatmu lewat surat ini. Sepanjang hari ia tak pernah kulepaskan. Kuselipkan di balik kutang, agar selalu abadi sepertimu. Selalu di dadaku, selalu di hatiku.

Hujan Pertama Tahun Ketiga
Rumah mungil yang dulu kini telah menjadi istana mini seperti yang bisaa kulihat di layar teve.. Atap alang dan dinding bebak telah kuganti dengan seng dan tembok, sesuai permintaanmu. Dipan reyot bertikar lontar kamar kita telah kubuang. Yang ada sekarang adalah busa tebal yang bisa membuatmu tenggelam. Aku berani bertaruh, kau tak akan menyadari waktu jika tubuhmu sudah kau letakkan di sana. Untuk sementara hanya aku dan anak kita yang beranjak makin bertumbuh besar. Ia sudah bisa berlari-lari kecil, dan ranjang empuk kita dijadikan arena atraksi jurus-jurus aneh seperti yang dilihatnya dalam film-film laga. Sungguh lucu dan sehat. Lebih dari itu, kau akan segera kembali sebagaimana yang kau janjikan dalam surat terakhir beberapa waktu lalu. Bahwa kau akan ada di istana kecil kita saat hujan pertama tahun berikut, tahun depan.

Hujan Pertama Tahun Keempat
Penuh rindu aku menantikan kepulanganmu. Rasa-rasanya aku tak kuasa menahan gelora rindu yang menjungkirbalikkan segenap ruang hatiku. Dan agar kau tahu, segenap diriku, ujung kaki hingga ujung rambutku menantikan kepulanganmu. Aku tak lagi butuh tambahan ringgit tang dirupiahkan. Semua yang rutin kau kirim sejak kepergianmu telah cukup untuk hidup kita, termasuk untuk anak kita sampai ia mandiri kelak. Sedangkan untuk anak-anak berikut bisa kita siasati dengan usaha yang akan kau kelola ketika kau pulang. Tambahan lagi sebidang sawah yang sementara kita sewakan untuk tetangga akan segera kita ambil kembali dan kita garap sendiri. Hujan pertama sudah lewat beberapa pekan, tetapi kau belum kunjung tiba. Rinduku berubah gelisah. Seribu satu pertanyaan menghantuiku. Apa kau tak jadi pulang? Atau kau tersesat? Atau kau kebingungan saat tiba di rumah, namun kau tak mengenali rumah ini? Ah…, kau membuatku resah gelisah tak berujung.

Hujan Pertama Tahun Kelima
Kembali aku menunggu kepulanganmu. Demam rindu dan gelisah kadang dibumbui ketakutan tak pasti. Teman-temanmu telah pulang, mendapakan istri anak mereka. Sedangkan aku hanya bisa puas dengan surat yang kau titip lagi. Seribu pertanyaan kutitipkan lewat angin. Di mana kau berada? Mengapa janji yang kau tulis dengan indah di setiap suratmu tak jua kau tepati? Aku sampai lupa kepada siapa aku mesti mengadu asa. Lututku lelah menekuk di hadapan Tuhan. Tanganku lelah mengatup sembah menyebut namamu kepada Yang Maha Kekal untuk menghantarmu pulang ke rumah ini, pulang kedalam lautan kasih dalam bejana kecil rumah kita.

Hujan Pertama Tahun Keenam
Aku lelah dalam ketakpastian. Setahun sudah angka-angka rekeningku menyusut. Setahun penuh tak ada kabar darimu. Aku masih bisa menghibur diriku dengan sekedar meyakinkan diri bahwa kau terlampau lelah untuk menyempatkan sedikit waktumu mengantri di bank. Tetapi aku tak bisa tahan dengan ketiadaan surat-surat yang mengabarkan kerinduanmu serta kata-kata ai lav yu seperti yang sudah-sudah. Kadang-kadang sisi lain batinku mengatakan bahwa kau telah melupakanku, menghantarkan aku pada celah-celah cemburu dan curiga. Ah…, mengapa kaubiarkan aku memberi kesempatan untuk pikiran-pikiran konyol seperti ini? Cinta membutuhkan materi demi keberlangsungan hidup, namun lebih dari itu cinta membutuhkan engkau. Ya, aku membutuhkanmu. Bukan hanya aku, tetapi anak kita membutuhkan jawaban akan siapa dan bagaimana wujud ayahnya. Pertanyaan-pertanyaannya terlalu mudah untuk kujawab, tetapi begitu berat untuk dirasakan.

Hujan Pertama Tahun Ketujuh
Pernikahan denganmu dan hari-hari yang kulewati telah menempatkan aku pada seutas rantai sangsi. Siapakah aku, juga siapakah kau. Mahligai yang kita bangun demi suatu mimpi akan hari esok yang bahagia hanya bisa kurasakan sebulan, lalu diterbangkan angin dan dipermainkan musim selama bertahun-tahun. Aku jenuh. Kesepian mulai menggigit, tambahan anak kita telah kumasukkan ke sekolah dasar. Aku mulai berpikir untuk mengingkarimu. Tetapi cincin yang selalu melingkar di jari ini selalu mengingatkanku akan kata-kata Pastor saat mengukuhkan perkawinan kita di gereja. Satu dan tak terceraikan. Kudus, sakral, karena diikat oleh Tuhan. Karena itu apa yang disatukan Allah janganlah diceraikan manusia. Perkawinan kita merupakan lambang kesetiaan Allah dan manusia. Sampai di sini aku ingin berteriak kepada Tuhan. Kesetiaan macam apa yang dikehendaki oleh-Nya? Aku lemah. Dan aku bukan pula Paulus yang bisa bermegah dengan mengatakan ketika aku lemah maka aku kuat.

Hujan Pertama Tahun Kedelapan
Aku membutuhkanmu saat ini. Aku membutuhkanmu. Dalam kegalauanku menghadapi ketakpastian keberadaanmu kehadiran seorang pemuda berusaha membobol benteng imanku. Aku terguncang kini. Kesepian dan kekosongan jiwa, kebutuhan akan seseorang untuk mengisi ruang kosong itu, kebutuhan akan seseorang yang dapat menampung keluh kesahku, kegalauan menghadapi hidup yang tak pernah kuketahui apa aku bisa merasakan hari esok dan ribuan pertanyaan yang terus menderaku. Segenap perhatian yang diberikan pemuda ini telah mendobrak pertahananku. Hanya saja aku masih kuat bertahan dengan satu cinta untukmu, dan itulah kekuatanku. Keyakinan akan janji bahwa kau pasti kembali. Janji yang kita ikrarkan untuk selalu bersama saaut suka dan duka, sakit ataupun sehat, untuk atau malang sekalipun. Aku tak ingin melangkahi sumpahku sendiri. Aku tak peduli lagi dengan hujan pertama, asalkan kau bisa kembali saat ini.

Hujan Pertama Tahun Kesembilan
Dalam teve aku mendengar dan menyaksikan nasib beberapa tenaga kerja illegal yang berhasil dijaring polisi diraja Malaysia. Mereka dilaporkan oleh majikannya setelah terlebih dahulu disiksa dengan kejam. Tuntutan upah yang telah ditunggak beberapa bulan dijawab dengan cambukan kawat duri, siraman air mendidih dan diseterika. Aku sempat pingsan. Tak ingin mendengar ataupun melihat bahwa kau merupakan salah satu di antara mereka. Aku tak mau mengingat bahwa aku pernah mendengar dan menyaksikan berita itu. Ingin kuhancurkan saja teve yang bertengger di ruang tengah rumah kita. Aku benci teve yang tega-teganya menyiarkan berita semacam itu. Kau tidak termasuk salah satu dari mereka. Kau tidak tertangkap, dan kau pasti segera pulang, aku menjerit. Aku bak orang kerasukan yang menjerit-jerit sekeras mungkin. Tetangga-tetangga yang berdatangan mencoba menghiburku dengan berbagai macam cara. Sebagian memberi peneguhan, sebagian memberi penghiburan dengan kata-kata yang mengatakan bahwa belum tentu itu kau. Berhari-hari berita tertangkapnya puluhan tenaga kerja illegal itu menjadi topik utama dalam surat kabar maupun siaran radio dan teve. Sampai akhirnya kepastian itu datang. Kunjungan kepala desa dengan info yang dibawanya membalikkan bumi tempat pikakku. Kau tertangkap, sekarang dalam keadaan koma dan sementara diurus oleh pihak Negara kita untuk dipulangkan. Persetan dengan segala urusan tetek bengek. Aku mau kau pulang sekarang. Dalam keadaan apapun kau masih suamiku. Suamiku tercinta. Suamiku satu-satunya. Bapak presiden, tolong pulangkan suamiku. Tepati janjimu untuk mengembalikan suamiku ke sisiku.

Hujan Pertama Tahun Kesepuluh
Kau kembali. Rumah yang bertahun-tahun tak punya ceria telah kau isi kembali dengan aura cinta. Dalam bangga aku selalu bersyukur kepada Yang Empunya Kehidupan karena menjadikan dirimu anugerah terindah untukku. Kalau beberapa waktu lalu aku pernah membenci Tuhan, kini aku sadar jika Ia begitu mencintaiku. Mencintaimu juga. Mencintai kita. Ia mendengar setiap keluh kesahku dengan cara-Nya yang sungguh tak habis kumengerti. Terlalu ajaib. Aku pun menemukan jika Tuhan menjawab doa dengan cara yang dikehendaki-Nya. Berkata Ya dan memberikan yang aku mau, berkata Tidak dan memberikan sesuatu yang lebih baik, atau berkata Tunggu dan memberikan sesuatu yang jauh lebih indah pada waktunya. Aku bisa melihat sisi lain hidupku. Hidup tak selamanya sesuai dengan apa yang kuinginkan. Aku mengharapkan fajar yang cerah, tetapi betapa sakitnya ketika aku terjaga dan mendapati langit kelam berselimut awan. Kadang terasa hampa. Aku seakan menatap langit kosong. Padahal tanpa aku sadari, langit menyimpan banyak bintang. Yang aku perlukan hanyalah menyingkapkan awan-awan yang menghalanginya, atau kalau pun itu tak dapat kubuat, aku cukup saja menunggu malam tiba. Hidup tak pernah seindah yang aku pikirkan dan tak sepahit yang aku bayangkan. Bahkan hidup tak pernah pandang perasaan, namun dengan begitu aku belajar untuk menjadikan diriku manusia yang sesungguhnya.

Cinta yang Menggugat


By. Carlos DS Conceicao

Di bulan juli, saat masuk liburan sekolah.Dalam pelukan mesrah, terdengar sayu bisikan cinta. Percikan buih-buih asmara yang tersembur dari mulut, tak hengkang menari-nari di atas wadas perjanjian “Aku sangat sayang sama kamu”. Terasa di bahu hentakkan jantung yang berdebar. rasa cinta yang tak sudi ditinggalkan. Kebisingan malam di Pelabuhan Tenau itu menjadi saksi.
Beralaskan sepotong tikar yang  teranyam dari daun lontar. Kami duduk terhimpit di tengah kerumunan penumpang yang tak sabar lagi menanti Kapal yang hampir berlabuh. Terang sinar bulan malam itu bertaji silau dengan gemerlapnya lampu kapal yang berkedip makin jelas. Kapal makin mendekat. Hati rasanya dihakimi situasi. Semua penumpang sudah bersiap-siap. Tiada lagi yang duduk. Berdiri berhimpitan, lazimnya di pelabuhan. Aku masih merangkulnya erat dalam pelukkanku yang mesrah. Kami masih terus saja duduk. Tak peduli, sebagian ujung tikar yang kami duduki, sudah diinjak-injak orang. Posisi kami menghadap ke dermaga. Dari sela-sela kerumunan orang, nampak merkuri lampu kapal yang sangat mempesona. Dengan pasti kapal mulai mengampil posisi haluan untuk bersandar. Beberapa menit kemudian, nampak di depan kami tabir body kapal yang besar. Membentang menghalau pandangan ke samudera luas. Kapal sudah bersandar di dermaga. Situasi sangat bising. para penumpang yang mau pergi pun bersiap-siap untuk naik ke  kapal. Tak ketinggalan pula penumpang yang hendak turun dengan kesibukannya sendiri. Tak kalah saing juga dengan teropong informasi yang tiada putusnya berkoar-koar dengan informasi-informasi.
Aku terlena dengan situasi. Aku  masih saja memelukknya erat, sembari menyelami kebisingan malam itu. Ia terbuai dalam pelukkanku yang mesrah itu. Aku seakan lupa kalau ia akan segera pergi. Giliran para penumpang untuk naik ke kapal. Sontak aku tersadar, ia  harus terlepas dari rangkulanku. Berulang kali memandang wajahnya. Dengan tenang jemariku menyibak tirai rambutnya yang sempat romol, karena cukup lama dalam rangkulan manjaku. Mengelus-elus pipinya yang mulai berderai air mata. Aku pun tak urung menahan rasa sedih. Aku berusaha untuk tidak menangis. Hatiku sangat tersiksa. Aku mulai bungkam. Dalam  kebisuan itu, aku mengharapkan suaranya. Adakah yang  ingin diungkapkan? Mungkinkah dia akan pulang ke Jogya dengan perasaan malam ini yang dipendam? Spontan ia memelukku erat. Tanpa terasa bahuku basah oleh deraian air matanya. Aku berusaha untuk menikmati pelukkan mesrahnya yang terakhir. Ia mendaratkan pipinya pada bahuku. Dari sana terdengar bisikan
 ka’ Riko, rasanya aku tak ingin pergi sendirian.  aku sangat sayang sama kaka’. Aku menginginkan kehadiran ka’ Riko  dalam hidupku. Aku membayangkan ka’Riko layaknya ayahku yang pernah aku dambakan, namun sudah meninggal sejak aku masih kecil. Aku   tahu ka’ Riko sudah mengetahui hal itu. Aku sangat senang karena kamu sangat mengerti sama aku”.
 Bisikannya itu seakan mengingatkan aku tuk membuka lembaran kisah-kisah hidupku di masa silam. Ayahku juga sudah meninggal semenjak aku masih kecil. Ayah meningal ketika ibuku sedang mengandung adikku yang bungsu. Semenjak aku keluar merantau dan kini menjadi Polisi, aku tak pernah tahu keberadaan ibu dan adikku. Dalam dekapan cinta, pikirannku melalangbuana jauh, entah kemana.
Klakson kapal mulai menggema. Tanda kapal hengkang pergi. Para penumpaang suda siap dia atas kapal.  Dalam gandengan cinta, aku mengantarnya ke atas kapal. Beberapa menit sebelum berangkat, ia sempat berpesan “sayang, jangan lupa datang pada saat aku wisuda”. Aku  pun berjanji kalau aku akan pergi saat wisudanya bulan oktober.
Senja  sudah lama pamit. Malam pun sadah larut. Kapal mulai bernajak pergi. Diiringi kecup manis dan lambaian tangan. “hati-hati di jalan sayang...!” begitu terdengar suaranya yang sayu di tengah deru ombak yang menghantam tembok dermaga. Aku pun membalas lambaian tangannya, “slamat jalan sayang...sampai ketemu bulan Oktober”!.
*********************************
Malam itu, di bulan oktober, aku berbaring dia atas tempat tidurku. Selang beberapa menit, HP-ku berdering. Aku bergegas memungutnya  dan membuka. Ternyata ada telpon dari Mely sayangku. “ka’, kamu kapan datang?”, begitu ia langsung bertanya ketika aku menekan tombol open. “malam sayang...koq gelisah sekali...?. Aku sempat menjawabnya dengan nada kelakar. Lanjutku,”besok setelah aku izin ke kantor, aku langsung turun...oke!. dengan nada manja, ia meminta perhatianku; “ka’ Riko, aku minta waktu untuk mengatakan sesuatu....boleh ka’?”. Dengan nada sayu, ia mulai menggiring konsentrasiku. Aku pun mulai curiga, jangan sampai ia tidak jadi wisuda lusa nanti.
 sayang, maafkan aku. Wisudahku bakalan tak seramai yang dibayangkan karena tiada keluarga yang bersedia hadir kecuali ibu kandungku,karena jauh. Ka’ Riko tahu kalau aku tak punya saudara lain, selain hanya ibuku. Aku tak mau ka’ Riko kecewa denganku”.
 Mendengar itu, aku hanyut dalam lamunanku. Tiada firasat lain  karena aku sangat mencintainya. Tiada alasan bagiku untuk tidak menghadiri acara wisudanya. Dalam lamunan singkat, aku berkeputusan untuk tetap menjamin acara wisudanya.
“Me’ , kamu tahu kalau aku sudah terlanjur mencintai kamu. Aku sangat sayang sama kamu. Jangan khawatir sayang, biarkan semua berjalan sesuai rencana. Sayang, Apa yang sebenarnya kamu ragukan? Jujurlah padaku sayang, aku tahu masih ada yang kamu sembunyikan di balik semua perkataanmu”.
Aku mulai mengumpan isi hatinya. Dengan nada keluh ia berani mengungkap keberatannya; “ka’Riko, aku tak punya uang cukup untuk membayar hotel buat ibu. Karenanya ibu juga senang nginap di kos bersama aku. Namun,....” “sayang, kamu jangan berpikir terlalu jauh. Sebelum ibumu pergi kita sudah harus selesaikan”, begitu aku langsung memotong pembicaraannya.
Dengan persiapanku yang cukup, aku nekat untuk menyukseskan wisudanya. Aku berangkat dari Kupang ke Jogja, setelah pulang izin di kantor. Mely menjemputku di bandara. Setelah terbang ±satu jam, pesawat mendarat. Ia sudah menanti di ruang tunggu. Ketika turun dari pesawat, ia bergegas lari mendapati aku dan dengan haru memeluk aku dan menangis. Sepintas terlintas drama pelabuhan bulan juli lalu kembali terjadi. Kami beriringan menuju kosnya yang tak jauh dari Bandara. Di sana sudah disiapkan makan siang. Setelah beristirahat sejenak, kami bersantap siang ala kadarnya. Berguyon dan berkelakar menghantar makan siang kami, sembari melupakan semua yang melilit pilu.
Aku berusaha untuk membuat ia senang. Dengan maksud agar esoknya bisa mengikuti wisuda dengan gembira. Sambil bercanda, aku mengajaknya tuk menyusun rancangan acara bersama teman-temannya di hari wisudanya esok. Dengan malu tersipu-sipu ia berani mengajakku tuk merancang bersama. Iseng-iseng sambil menanti sore hari tuk pergi menjemput ibunya di Bandara. Selesai merancang acara, termasuk menyiapkan hotel untuk ibunya, aku di ajak untuk menjemput ibunya di Bandara. Katanya, ia sudah menceritakan kepada ibunya kalau ada temannya laki-laki yang membantunya. Dengan penuh kebimbangan dan rasa malu, sebelum berangkat ke Bandara, aku memohon Mely tuk meyakinkan aku kalau ibunya tidak akan memarahi aku. Pasalnya ibu belum mengenal aku. Lagi pula aku telah mendahului urusan anaknya. Dengan guyon, ia mulai mempermainkan perasaanku;
 “katanya mau jadi calon menantu, koq takut sama mama mantu?”.
Aku hanya bungkam. Pikiranku makin kacau, kalau sampai aku diusir oleh ibunya karena membuntuti anaknya yang belum wisuda. Akankah ibunya tersinggung dengan campur tanganku?. Lebih jauh lagi aku berpikir, kalau aku dipaksa meninggalkan Mely dalam situasi ini? Akankah harus memaksakan diri? Atau harus pulang dengan kecewa dan justru mengcewakan Mely?. Aku begitu terlena dengan lamunanku di alam penantian nasib Cinta di Bandara. Sambil menatap wajahnya, aku sempat berbisik dalam hati “sayang, apa pun yang terjadi, aku akan tetap mencintai kamu. Aku mencintai kamu dengan tulus. Bahkan pengorbanan tanpa syarat. Sayang aku mau kamu tetap bahagia”. Sementara menikmati khayalanku, Mely mendaratkan tangannya di bahuku. Menepuk bahuku sembari berucap histeris kalau pesawat yang ditumpangi ibunya  sudah mendarat. Aku pun turut berdiri. Melemparkan pandangan ke arah datangnya para penumpang yang baru turun dari pesawat. Mataku mulai memilah-milah penuh penasaran;
 mana ibu kamu Me’?” tanyaku penasaran. Mely pun mengacungkan tangannya dan menunjuk ke arah ibunya yang mengenakan blus coklat. Dari  kejauhan, ibunya telah melihat kami berdua beridiri sejajar di ruang tunggu. Ibu makin mendekat. Ketika mengangkat matanya, ibu langsung mengarahkan pandangannya kepadaku.
Ibu menatapku tajam. Badanku terasa dingin. Seluruh tubuhku terasa kaku. Jiwaku rasanya sulit diajak kompromi. Begitu pun dengan ibu. Ketika hendak bersalaman, lengan tak sanggup tuk diacungkan.
Aku merasa terpukul. Dengan tatapan tajam, aku meyakinkan diri kalau aku pernah mengenal perempuan itu. Mulutku enggan tuk menyapa ibu. Spontan ibu  menyapaku;
Rik......Riko???? sembari melangkah hendak merangkulku. 
Sontak aku langsung terharu. Aku kaget ketika disapa dengan namaku. Nama yang ia sendiri berikan padaku ketika aku melonjak keluar dari rahimnya.
 ibu....!!!!!!” akupun menangis histeris.
Riko......anaku!!!Riko....anakku!!! berulangkali merangkulku, mengusap wajahku. Melihat Mely yang tercengang heran, ibu berpaling;
 Me’....ini kakakmu. Sudah dua puluh tujuh tahun tidak pernah bertemu”.
 Mely pun spontan mengingat semua kisah cerita bersama Riko yang tanpa disadari. Ia melangkah memeluk erat Riko dan menangis.
“Me’ maafkan kakak. Ka’ tidak pernah tahu kalau kamu adik kandungku, kalau ibumu adalah ibuku juga”.
Tangis histeris keluarga yang baru bertemu ini, memecah belah luasnya bentangan alam bandara yang luas itu. Akankah kesuksesan Riko adalah kesuksesan keluarga?.
THE END!

Gadis Berambut Ikal


By. Giovanni Arum
Aku sedang berjalan menyusuri  jalanan kota yang berdebu. Alkitab masih tergenggam erat di tanganku. Ya, aku baru saja mengikuti misa kudus di gereja. Aku berjalan di tengah kerumunan manusia. Mulai dari para lansia sampai bocah ingusan tersenyum lebar, berserakan keluar dari pintu Gereja. Aku berjalan sendiri menyusuri lorong sempit, tepat di samping pagar gereja megah. Rumah Tuhan, begitulah yang kutahu sejak masa kecilku.
Saat  kakiku menjejaki genangan-genangan air; jejak hujan semalam, aku mulai menyulut sebatang rokok. Maklum, udara berkabut seperti menelanjangiku. Pikiranku mulai liar berlari pada padang-padang kisah senyumku di masa lalu. Aku tiba-tiba teringat saat dimana ibu memelukku hangat, ketika dingin menyiksa tubuh mungilku waktu itu. Dan aku tersenyum.
Tiba-tiba saat aku masih berada dalam masa lalu, aku terperanjat. Sesosok tubuh kecil baru saja menabrakku. Rokok yang menggantung di bibirkupun terjatuh akibat tabrakan itu. Tapi tubuh mungil itu segera sirna dari hadapanku. Saat kupalingkan kepalaku, aku melihatnya lari terbirit-birit, menjauh, mengecil dan akhirnya menghilang di ujung persimpangan jalan menuju ke gereja.
Aku hanya terpaku di tempat, menatapnya pergi dalam diam. Aku ingin mengejarnya, bocah nakal yang melemparkan aku kembali dalam dunia nyata yang kejam ini. Ya, aku ‘dipaksa’ kembali dari dunia kecilku yang indah dan hangat. Jujur, aku membenci bocah kecil pengganggu itu. “Setan kecil!”, ujarku dalam hati. Tapi aku sempat memotret sosoknya dalam mataku. Ia adalah bocah perempuan berambut ikal yang berlari tanpa mengenakan sandal.
“Pengemis sialan! Pasti dia kedapatan mencuri sesuatu dan dikejar oleh pemiliknya.”
Jadi tepatlah bahwa aku membenci dunia nyata ini. Dunia yang lebih kejam dari neraka. Bocah-bocah kecil yang ‘seharusnya’ berwajah malaikat, kini menjelma setan-setan pengacau. Manusia tak lagi seperti manusia. Mungkin iblispun malu, melihat kelakuan anak-anak manusia yang justru lebih kejam darinya.
Kemudian aku berjalan lagi. Amarahku masih meletup-letup di kepala.
“Tenang, Fian!” pintaku pada diri sendiri.
Aku menarik nafas panjang. Kutahu, tarikan nafas dapat memompa banyak oksigen ke dalam paru-paruku, dan memperlambat detakan jantung yang dipicu oleh kemarahanku tadi. Aku menyukai cara ini. Kutahu jiwa dan tubuh itu menyatu. Psikosomatis. Aku tak mau masalah emosi menyebabkan tubuhku menjadi sakit.
Ketika sampai di kamarku, aku menaruh Alkitab kembali di meja doaku. Dan aku bergegas mengambil sebuah buku dan membalut tubuh dinginku dengan selimut tebal. Aku menyenangi aktivitas membaca di tempat tidur. Walau kutahu, hal itu tidak baik bagi kesehatan mataku. Namun, sensasi kenikmatan yang ditimbulkannya membuat hal itu menjadi kebiasaan yang sulit diubah. Hal ini dapat saja diibaratkan dengan menghentikan peradaban masyarakat Mesir Kuno untuk berkorban nyawa di altar suci demi keselamatan semua orang. Sudah mendarah daging. Seburuk apapun kenyataan yang ditimbulkan oleh sesuatu tak pernah mampu menepis sebuah nilai kepercayaan. Maka, aku memilih ‘membunuhnya’ dalam tidur. Semoga aku melupakannya ketika kubuka mataku nanti.
                                                                       ***
“Maafkan aku, Kak!”, pinta gadis berambut ikal itu.
“Aku tak mau. Kaulah orangnya. Ya, kau orang yang menabrakku waktu itu.”
“Maafkan aku, Kak! Aku tak sengaja”, ia terisak.
Stop! Hentikan air mata buayamu. Kau pasti baru saja selesai mencuri.”
“Tidak, Kak!”
Plak. Aku menamparnya.
                                                                         ***
Huuufff... Hanya mimpi!”, aku tersentak.
Kutarik napasku dalam. Di luar masih berkabut. Kulayangkan pandanganku pada jam dinding yang tergantung di tembok kamarku.
Ah... jam empat sore. Aku harus bergegas mandi.”
Setelah selesai mandi, aku kembali duduk pada meja belajarku. Kulekas mengambil sebuah buku. Kebiasaan rutinku. Books are friends. Buku-buku adalah teman. Tanpa sengaja kuambil sebuah buku berjudul “Menafsir Mimpi; Bahasa Sandi Tuhan”, karya Wolfgang Bock.
Mimpi bukanlah bunga tidur semata. Ia adalah bahasa sandi Tuhan...
‘Aku harus menemukannya!’, batinku.

Minggu, 12 Mei  2011
Seperti biasa aku mengikuti misa pertama di gereja. Bacaan Injil hari ini mengisahkan tentang Lazarus dan orang kaya. Pemimpin misa berkhotbah dengan begitu indah. Kucuri pandangan ke sekitarku. Para tua-tua hanya menganggukan kepala. Entah itu gerakan mengamini atau sekedar gestikulasi rasa kantuk akibat malam minggu jahanam. Sedang di sudut sana, sepasang ibu-ibu sedang bergosip ria. Mungkin membahas tentang artis baru di sinetron kesayangan mereka atau tentang harga cabai yang melambung tinggi.
Perbedaan kontras antara Lazarus dan orang kaya adalah pada namanya. Lazarus memiliki nama, sedang orang kaya tidak. Nama adalah jati diri. Bagi orang kaya, jati dirinya melekat pada apa yang dimilikinya. Kekayaan. Dan itulah yang justru berujung sengsara... Marilah saudara sekalian, kita mulai berusaha memandang dan membantu ‘Lazarus’ dewasa kini...Orang-orang malang yang membutuhkan. Semoga. Amin.
Setelah Pastor selesai berkhotbah, aku terhentak. Pikiranku masih saja berada pada kisah dua orang itu.
‘Dimana Tuhan?’, batinku.
Kucermati cerita itu. Tidak pernah ada satu kalimat bahkan satu kata yang menunjukkan kehadiran-Nya.
“Apakah Tuhan tidak menolong Lazarus, oarang yang sangat membutuhkan-Nya?”
Setelah menjejakkan kaki keluar pintu gereja, aku masih saja bertanya pada diriku sendiri.
“Apakah Tuhan bersembunyi?”, tiba-tiba saja aku terhentak.
“Bukan. Bukan. Ini adalah sebuah permainan kata. Lazarus adalah versi Latin dari kata Ibrani, Eleazarus. Eleazarus berarti Tuhan yang menolong. Tuhan bukannya tidak ada. Ia tidak bersembunyi. Ia adalah Lazarus. Tuhan adalah ‘orang yang menderita itu’. Orang yang menderita adalah ‘Tuhan’.”
Aku tersenyum.
Lalu kulangkahkan kaki melewati lorong gereja yang sama. Aromanyapun tetap sama. Berbau pesing, hasil urine para pemabuk yang kalah berjudi. Di belakangku begitu banyak orang tertawa. Ibu-ibu bergosip tentang pakaian baru mereka. Anak-anak berlari, memegang uang seribuan di tangan. Kulihat pedagang kaki lima tersenyum puas menatap dagangannya laku, seperti seekor kucing yang menanti  tikus masuk ke dalam mulutnya.
 “Persis, ketika Tuhan ‘marah’ saat orang-orang berdagang di kenisah Allah. Hidup adalah perulangan! Mungkin Tuhan ‘harus’ mati lagi.” Aku terdiam.
Namun di kejauhan sana, di sudut lorong itu. Kulihat wajah mungil berdandan debu itu lagi. Melerok kanan-kiri dan akhirnya ia berhenti pada sasarannya. Tumpukan sampah di sudut sana.
 “Apa yang dilakukannya?”. Aku hanya menatap tajam.
Ia lalu dengan sigap seperti anak petir memungut sisa-sisa roti yang dibuang oleh orang-orang. Ia memungutnya. Gadis berambut ikal itu. Ia berlari. Bersembunyi di balik pohon beringin yang cukup besar untuk menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya tak bisa ia sembunyikan dariku. Aku berlari mendapatkannya. Dan aku hanya menatapnya. Ia sadar akan keberadaanku. Aku tak berkata-kata, sebab lidah ini kelu, tercekat di langit-langit mulutku. Kutatap tajam mata mungilnya. Mata sebening embun pagi  yang tersembunyi di balik kulit wajah berdebunya. Namun perlahan, mata itu berubah. Berkaca. Lalu meneteslah air bening itu dari pelupuk. Dan ia menangis.
Kutarik nafasku dalam-dalam. Alkitab masih tergenggam erat di tanganku. Aku salah. Ia bukanlah seperti yang  kusangka. Kutahu alasan ia lari terbirit-birit setiap misa usai. Ia menunggu adanya remah-remah yang dibuang oleh anak-anak kecil. Ia kelaparan. Dan aku tak tahu.
Tiba-tiba detik berdetak lambat. Pikiranku jauh melayang. Lalu Alkitabku basah. Kusadar, aku menangis. Kupeluk tubuh mungil itu erat. Kami menangis bersama. Air matanya meresap, menusuk ke dalam pori-pori hatiku. Di sela-sela tangis kami, dari jauh terdengar sayup-sayup khotbah pastor pada misa kedua.
 Bantulah orang-orang yang susah dan kelaparan . Sebab Tuhan ada dalam diri mereka.”
Aku heran dengan dunia. Manusia mengklaim dirinya beragama. Mereka mengikuti ibadat setiap minggu. Bahagia setiap keluar dari pintu gereja itu. Mereka memuji Tuhan. Mereka berkata; “Pujilah Tuhan di tempat yang tinggi.” Tapi sungguh sangat ironis. Lazarus. Eleazarus. Tuhan yang menolong. Tuhan ada pada orang  yang menderita. Orang yang menderita adalah ‘Tuhan’.
                Aku pandang gedung megah_Rumah Tuhan itu, dan kutatap gadis berambut ikal ini. Sejenak aku tertawa dalam batin. Kutemukan kenyataan yang janggal. Sangat janggal. Tuhan menjadi asing di Rumah-Nya sendiri. Di dalam sana, manusia beragama, bernyanyi dengan perut membuncit kenyang. Tapi di sini, di bawah langit ini, Tuhan sedang kelaparan. Mereka mengenakan pakaian yang indah-indah. Tapi di sini Tuhan telanjang. Mereka memoles wajah mereka dengan bedak-bedak bermerek, tapi di sini Tuhan berdandan debu.
Kemudian angin membawa getaran-getaran suara manusia itu. Mereka tersenyum dan tertawa bahagia, telah menguduskan hari Tuhan. Tapi di sini, di bawah pohon ini gadis ini masih terisak. Tangisnya semakin pilu. ‘Tuhan’ menangis.
“Lazarus. Eleazarus. Manusia tertawa tapi Tuhan menangis”.
Aku menangis dan tertawa.
 “Dunia memang gila!”
            “Apa yang kaulakukan untuk saudaraKu yang paling hina ini, engkau lakukan untuk-Ku...”, Sabda TUHAN.

Untuk semua makhluk beragama