Minggu, 27 Februari 2011

TOPI BARET DAN TULISAN DARAH

Cerpen: Januario Gonzaga

Kau pasti tahu kalau bercak darah dalam topi baretmu itu kucium dengan air mata yang dahsyat. Kau belum mau mati saat itu, begitu coretan darah topi baretmu kutafsir seirama dengan bunyi air mata jatuh dan suara tangisanku pada huruf demi hurufnya. Dari hurufmu yang memerah itu aku tahu kau tidak ingin maut menjemputmu tepat pada saat cinta kita ibarat sebutir air di pinggir timba. Kau berjuang melawan maut yang sebentar-sebentar menggetarkan hatimu di medan perang. Mungkin maut itu sudah lama sekali mengintipmu semenjak kau mengenakan pakaian loreng bersetrep merah satu dan masuk dalam laskar batalyon infanteri. Maut itu pulalah yang selalu kutakuti dan dengan berbagai cara kucoba mengharamkan cintaku padamu agar aku secepatnya beralih dari cinta yang sekuat tenaga kuperoleh. Hanya karena loreng cintaku tanpa alasan kusebut sebagai menakutkan.
“Entahlah akan jadi apa kau selalu merasa bosan hidup berumah tangga denganku”
Aku minta maaf kalau aku tidak pernah mengatakan kejujuran apa dalam hatiku bila-bila pertentangan datang. Aku tak ingin kau tahu alasan yang akan kau anggap konyol ini. Aku tidak ingin kau tahu bahwa aku tidak suka suamiku tentara. Melihat topi baretmu, sangkurmu yang selalu runcing, sepatumu yang selalu dismir, aku tak bisa tidak ingin sedini mungkin menyangkal cinta kita.
“Kenapa awalnya kau tak mau mengatakan yang terus terang sewaktu kita akan menikah”
Kau menduga kalau aku tak jatuh cinta padamu sejak awal ketika aku menunduk malu pada setiap tatapanmu. Kini, ketika aku kau tahu sudah bosan, kau menggugat cinta yang dulu bening. Dan aku tidak ingin mendebatkan kadar cintaku dulu lagi, sebab kau tidak akan lagi percaya ketika kau menelinga kalimatku ini,
“Aku tidak bisa mendampingimu sebagai istri. Aku harus memilih bosan sebagai alasanku saat ini”
“Aku tak ingin mendengar alasanmu selain itu. Tentulah cinta tidak bisa dipaksakan hidup seatap dengan benci”
Kau tak sudi mendengar kata-kataku yang alasan paling konyolnya adalah bosan. Dan itu lebih baik, sebab jika saja kuucapkan tentulah kau menertawaiku. Dan lelucon bagimu selalu bisa kaumenangkan dengan membuatku merasakan lagi cinta pertama kita. Itu sudah tidak mungkin. Aku sudah terlanjur mencintaimu dengan rasa takut yang tak ingin kujelaskan alasannya. Dan cukuplah ketika kau menghardikku,
“Kau tidak boleh memaksakan dirimu lagi untuk hidup bersamaku kalau begitu”
“Tidak. Aku memang tidak ingin menjadi bagian dari rasa cintaku padamu. Tapi aku mohon aku tetap berada di sampingmu”
“Bisakah kau mendampingiku tanpa mencintaiku?”
Untuk kata-kata yang selalu bernada tinggi, kau akan mengakhirinya dengan air mata. Kau memang laki-laki berloreng yang berhati melankolis. Kau tahu kenapa aku menyukai setiap kemarahan dari kata-katamu? Sebab kau selalu mengakhirinya dengan air mata. Ya, air mata. Diam-diam aku telah jatuh cinta pada air matamu tentaraku. Aku ingin kau menjadi seperti air mata yang begitu lembut memahami kerapuhan jiwaku. Air matamu lebih mampu membahasakan cintamu padaku yang hari-hari ini mulai kuanggap tak lebih dari sekadar sebuah hiasan senja yang akan dicoreti malam.
Topi baretmu masih basah oleh air mataku dan cairan ingus hidungku. Dan aku terus berlawan-lawan dalam hatiku sendiri, bilamana kau akan pergi dari rumah setiap paginya. Aku tak mau menempatkan rasa cinta pada setiap cumbuan yang kau berikan. Aku tidak ingin menempatkan rasa rindu pada bayanganmu yang menemani kesepianku sebagai seorang istri tentara. Aku tidak ingin memantik api cinta untuk membakar hatiku di saat kau mengenakan loreng, menutup kepalamu dengan topi baret, mengenakan sangkur di pinggangmu dan mengisi peluru pada senjata M16mu. Akhirnya kau pun tahu dari kata-kata yang kuucapkan
“Kau harus menjaga dirimu sebab kau masih berharga untuk banyak orang” Kalimat itu tentu saja membuatmu semakin yakin kalau aku menyalahi jalan yang benar. Aku kau benarkan untuk mendampingimu tanpa mencintaimu seperti gelora yang tumbuh kala remaja hingga kita menikah dulu. Tidak lagi sama, itu yang kau bayangkan saat ini. Dan semestinya begitu, sebab aku tak ingin memaksamu untuk tidak memahami lagi apa yang susah payah kubangun yang memang harus demikian riwayatnya.
Tulisan merah inilah yang kau buat untuk mengadiliku hari ini. Air mata ini seperti vonis paling berat yang akan bertahun-tahun harus kujalani ibarat membayar sebuah harga pada penjual yang tak bosan-bosannya menjajakan barang kesukaanku. Dan kali ini aku tidak meyakini kata-kata sendiri yang kuucapkan dulu,
“Aku yakin, sudah saatnya aku tak bakal sedih bila kehilanganmu”
“Aku tahu itu. Kau seharusnya tidak mendapatkan suami sepertiku. Aku terlalu berisiko untuk dicintai dengan cinta seorang wanita sepertimu”
“Terima kasih untuk pengertianmu. Dan aku yakin suatu ketika cintaku padamu akan dikalahkan oleh jarak yang kuciptakan dalam pikiran ini”
Tetapi kenapa semuanya jadi berubah hanya karena kiriman tulisanmu yang masih berbau amis darah ini. Di dalam topi itu aku tak mengira kau akan mengembalikan perasaan yang dengan susah payah kuhapus di antara kita bertahun-tahun. Topimu dan darah yang merangkai huruf itu membuatku lupa pada ranjang yang kita pakai terpisah di setiap malam, dengan sendok yang tak boleh tertukar, dengan cumbuan yang tak boleh membangkitkan hasrat.
“Cinta bisa mengalahkan ketakutan”
Air mataku timbul oleh percakapan paling runyam di dalam batinku membaca tulisan tinta darah pada topi baretmu itu.
“Mengapa kau mengirimku kenangan yang kausadari akan membunuhku ini. Ataukah kau tak tahu lagi kalau-kalau tulisanmu ini memaksaku masuk lagi ke rahim cintaku sendiri yang dengan susah payah kutinggalkan”
Kau benar untuk semua yang kau rasa tentang diriku. Aku masih mencintaimu di antara tabir-tabir ketakutan. Di antara malam-malam gelap yang dengan terpaksa kuhirup udaranya tanpa menyentuh tanganmu. Kau tahu itu bilamana melihatku meneteng buku-buku di tas dan pergi ke sekolah untuk mengajar di sana. Aku hanya ingin kita tidak menjadi miskin ketika kau telah tiada. Tapi kau melihat lain,
“Aku masih bisa membiayaimu untuk apa saja keperluanmu” kau membenarkan kata-katamu itu kini melalui air mataku yang tak habis-habisnya mencium topi baretmu.
Lalu muncul kesadaran dalam diriku. Aku harus mengetahui riwayat kematianmu. Mungkin dengan itu ada celah yang bisa memberiku alasan atas alasanku yang menurutku benar. Aku sebagaimana kau inginkan harus memiliki harapan pada jalan hidup yang sekalipun salah kulalui. Tapi bagaimana kedamaian itu kudapat jika aku telah memutuskan cinta dengan keinginanku sendiri tanpa meminta persetujuanmu.
* * *
Kami akan bertempur kala itu. Dia ada di barisan depan. Tentara kami mendapat serangan oleh karena kurang personil. Kami dikepung dan segala daya upaya harus kami kerahkan untuk menyelamatkan diri dan nama negara. Dan bagi dia, nama negara adalah segala-galanya. Kami mundur dan mencari bantuan darurat setelah yakin kami akan mati terbunuh beberapa langkah lagi. Sepasukan tentara kami tiba setelah pasukan barisan depan, termasuk suamimu dihantam peluru dan meriam. Mereka berlima mati seketika kecuali suamimu. Demi istrinya dia meminta obat penahan sakit.
“Tolong berikan obat itu sebanyak-banyaknya” entahlah untuk apa suamimu memintanya. Namun pertanyaan padanya sungguh tidak boleh karena itu tidak manusiawi. Suamimu berteriak sekencang dengan perut yang lubang ditembusi peluru. Aku memangkunya untuk berdiri sedang bau darah dari mulutnya mulai menguap.
“Aku belum ingin mati. Cepat berikan obat lagi. Tolong> Kenapa kalian diam saja” Dia meminta lagi obat itu hingga kami kehabisan.
“Aku sudah kuat” suamimu bangun dengan semangat yang semakin pucat. Lubang di punggungnya mengeluarkan darah kental. Dia tidak ingin menatap perutnya yang kali ini sudah menceraikeluar tali-talinya.
“Kawan, biarkan kami yang melanjutkan perjuanganmu” Dengan iba kata-kataku terlontar begitu saja.
“Tidak. Saya belum mati. Cepat isi peluru saya. Saya akan habiskan bajingan itu” Suaranya kali ini serak dan berat. Kami masih terlibat baku tembak dengan beberapa pasukan musuh sampai benar-benar mereka tewas. Demi dilihatnya kondisi semakin parah suamimu menyulut rokok dan mengambil topi baretnya. Dia tertawa dengan kesakitan yang mungkin mulai merambat ke saraf-saraf kepalanya. Dan kali ini guncangannya begitu dahsyat sehingga mulutnya mengelurkan busa yang diikuti darah kental berwarna hitam.
“Kawan, biarkan kami melanjutkan perjuanganmu” kata-kata itu kini dengan parau dia tanggapi. Disadarinya dia akan kehabisan darah dan itu berarti maut sebentar lagi menjemputnya, dia membalikkan topi baret itu hingga terlihat bagian yang putih buram. Dan mencucukan jari telunjuk ke dalam perutnya dengan keyakinan bahwa dia tidak apa-apa.
“Aku masih hidup. Aku masih akan hidup” dia berteriak bertubi tubi sambil terbahak-bahak oleh gumpalan darah yang mengguncang tenggorokannya. Dia menggelengkan sebentar kepala lalu mengangkat jarinya dengan darah yang menetes cepat. Air matanya baru kulihat jatuh. Dan aku pun langsung terhisak oleh tangis yang keras. Jarinya itu digerakkan perlahan dengan sisa tenaganya dan menuliskan sesuatu pada topi baret itu. Dan inilah pesan yang telah kau baca, pesan yang aku sendiri tak mengerti mengapa demikian ditulisnya.
* * *
Air mataku lebih deras dari yang lalu-lalu. Dadaku bergemuruh dengan rasa salah dan sayang yang tak tertahankan. Kupersilahkan sahabatmu itu pamit melalui tirai air mataku yang kukira akan selamanya begini kalau ceritanya tentangmu kuingat lagi dan lagi.

Minggu, 20 Februari 2011

Cerpen Ardy Nailiu, posted DUSUN FLOBAMORA

Kemilau yang Memudar

Orang bilang dia hanyalah seonggok tumpukan bernyawa. Ada dua lengan kurus dengan sepuluh jemari yang melekat padanya, lengkap dengan dua batang kaki. Ada juga sekujur tubuh peyot dan tentu saja sebuah kepala kurus bertengger lekat pada puncak onggokan reyot itu. Tragis, tubuh sekarat itu terkapar tanpa daya di sudut kamar 3X4-nya. Kami sebut dia ayah.
Ayah kami hampir mati dimangsa usia. Kira-kira sudah setengah abad lebih ia mendiami pertiwi ini. Maka tentu, sudah hampir lapuk pula cerita yang ia bangun dari dan untuk dirinya. Memang, kepingan-kepingan cerita itu mulai tampak luntur, usang, berkarat, aus, terlepas. Ada yang bahkan sudah hancur tapi tak musnah, lebur tapi tak lenyap. Ingatan kami yang justru lebih akrab membangun kembali kenangan akan dia. Ayah kami adalah seorang guru, pengabdi bangsa dan Negara. Ia sudah mulai menjadi guru bahkan jauh sebelum kami lahir. Sayangnya, kenyataan ini pula yang akhirnya merenggut ayah dari keluarganya sendiri.
Guru adalah pengajar, dan serentak itu, ia adalah sang nabi. Sabdanya penuh kekuatan dan sangat berpengaruh. Ia dapat menghancurkan kebodohan atau bahkan menerbitkan pencerahan. Lebih dari itu, guru adalah seorang bidan. Kebenaran sudah dikandung dalam rahim pikiran setiap orang dan guru bertugas untuk membantu melahirkannya. Walau benar, bahwa ternyata kebenaran itu kemudian sulit dilahirkan atau malah mati di tangan sang bidan.
Kisah kelabu ayah kami bermula, ketika sang pengajar ulung itu menjadi guru tetap di kampung sebelah. Sebuah tugas berat yang harus ia pikul selain beban kehidupannya sendiri. Kampung itu terletak di balik sebuah bukit tandus. Jaraknya sangat jauh dari rumah kediaman kami. Cerita ayah kami setiap hari akan bermula dengan keberangkatannya setiap pagi menuju tempat tugasnya. Karena jam sekolah pertiwi ini dimulai tepat pukul 7.15. Maka sedari pagi, ketika fajar belum menyingsing, di antara kabut dan tanah basah, sosok itu membelah pekat menuju kampung sebelah demi menunaikan tugasnya.
“Kenapa ayah selalu pergi pagi-pagi?” Pertanyaan itu kulontarkan setelah mengumpulkan seluruh keberaniaan yang kumiliki. Dengan enteng, sang ayah malah menjawab pertanyaan anak sekecilku hanya dengan binar mata penuh kewibawaan. Ayahku suka diam. Ia membiarkan pertanyaan untuk mencari jalannya sendiri, lalu tiba-tiba sudah hadir, dalam pikiran penanya. Sayang, diamnya juga akhirnya menuntun ketidakadilan meraja. Pertanyaanku yang demikian karena disulut api cemburu. Terkadang kami menjadi iri terhadap anak-anak murid ayah kami. Bagaimana tidak? Sejak pagi-pagi buta ia sudah meninggalkan rumah. Rumah yang seharusnya ia isi dengan cintanya ketika mentari kembali menepati janji tuk sinari bumi setiap paginya. Rupanya belum cukup pengorbanan itu. Seharian ia harus berada di kampung orang. Sampai petang, setelah terik yang menyengat di tengah hari baru saja berlalu, ia kembali ke rumah demi manabur cinta bagi kami.
Kami masing-masing hafal benar. Ayah akan tiba di rumah setiap pukul 4 petang. Satu kebiasaan paling lumrah darinya adalah menyapa kami semua. “Selamat Sore semua!” Sapaan seorang guru untuk keluarganya itu akrab di telinga kami. Suaranya berat lalu menggantung di telinga masing-masing kami untuk membiaskan kesannya sendiri-sendiri. Ia akan hadir dengan kulit merah yang baru usai dibakar matahari. Lebih sadis lagi, kemerahan itu lalu dibasahi dengan keringat yang mengalir. Keringat asin itu akan singgah di kulit terbakar, lalu menjalarkan pedih lewat saraf. Inilah pengorbanan besar ayah kami. Tetapi ia pasrah atas siksaan itu demi apa yang disebutnya pengabdian. Terkadang aku mengkhayalkan tetes-tetes keringat ayah itu kemudian membatu. Butir-butirnya berubah menjadi berlian. Berlian itu lalu ia rangkai dengan kasih sayang dan menjadi kalung indah bagi kami. Kalung itu adalah dekapan cinta yang ia lingkarkan pada leher kami, untuk kami masing-masing. Sedangkan liontin dari kalung berlian itu adalah hatinya sendiri, yang mengingatkan kami akan ketulusan sebagai penerang hidup.
Suatu hari, di suatu waktu, ayah tak kunjung pulang. Sang penabur cinta itu tiba-tiba lenyap. Betapa galau hati kami. Jiwa kami sontak berontak. Ada kehilangan besar yang dirasakan atas terenggutnya si penjamin dan pelindung. Kecemasan kemudian merasuk dalam diri kami. Pencarian pun kami lakukan sembari membuang informasi untuk dunia. Kami menangis untuk memulangkan ayah kami. Namun ternyata apa yang kami dapat? Adakah rasa kasihan lahir dari rahim kebenaran yang dihidupkan ayah kami? Adakah iba untuk kami karena terenggutnya cinta yang dicuri dari rumah kami? Atau sia-siakah pengorbanan atas nama pengabdian?
Setelah lewat banyak waktu, ayah akhirnya pulang dengan wajah lusuh. Lusuh bukan karena dibakar matahari setiap hari. Tenyata hati sumber cinta itu pun telah dibakar kebencian dan dendam membara. Ayah kelihatan sangat lelah. Ia terlihat letih memanggul beban baru. Terlampau berat, mungkin!
Belakangan kami tahu, kehidupan ayah diterjang bencana hebat. Ayah ditangkap, disekap dan dibuang. Ia dikucilkan dari masyarakat, terutama warga dari kampung sebelah. Ia adalah korban dari sebuah pertarungan politik. Seorang guru yang berusaha netral di tengah perhelatan politik sesaat sebelum pemilihan kades berlangsung. Ternyata kenetralannya itu menuai fitnah yang tidak pernah disangkanya. Kami belajar, bahwa terkadang pilihan mesti dijatuhkan, apakah itu kemudian berkonsekuensi sangat berat sekalipun. Karena nyatanya bungkam malah selalu berbicara lebih banyak. Guru itu mengambil sikap netral terhadap dua kubu yang akan bertarung. Kubu dari penguasa lama yang ingin lagi memerintah, melawan kubu baru yang menawarkan pembaharuan. Jalan diam ia ambil sebagai pilihan mutlak demi sebuah kebenaran agung. Pilihan ini diartikan secara salah oleh salah satu pihak. Kades yang berkuasa menghasut rakyat, dan karena kuasanya, ia bermain konspirasi untuk menjatuhkan sang pemilik kebenaran. Kebenaran itu kalah. Ayahku “mati” memeluk kebenaran.
Kematian ayahku dimulai sejak saat itu. Ia punya raga yang tak bergerak. Ia melihat dengan tatapan kosong. Sampai kini, hanya kamar berukuran 3X4 itulah yang masih menampungnya. Jiwa kami tertampar setiap kali melihat tubuh reyot itu. Hanya dua tangannya, namun tidak sesedikit itu cinta yang telah ia berikan kami. Hanya sepuluh jemarinya, tapi lebih besar karyanya untuk kami dan kehidupan. Walau ayah sudah mati, Kebenaran itu tetap ada dalam pelukannya, dan benihnya sudah mulai tumbuh dalam diri kami masing-masing.
Penulis adalah anggota Kelompok Sastra Penfui, Mahasiswa FFA

Minggu, 13 Februari 2011

OPINI:

URGENSI JURNAL SASTRA DI NTT

Januario Gonzaga*

Siapapun yang pernah menulis Cerita Pendek (cerpen) dan Puisi di rubrik Budaya TIMEX, atau di rubrik Imajinasi Pos Kupang, tentu akan merasa senang cerpen atau puisinya dibaca masyarakat NTT. Namun bagaimana dengan mereka yang memiliki minat menulis karya sastra tetapi tidak dimuat oleh koran-koran lokal? Tentu saja ada perasaan sedih. Hanya sering, kalau soal yang kedua ini ditanyakan ke redaksi koran biasanya dibilang begini, ‘teruslah menulis. Biasanya awal menulis itu demikian, bahkan sampai berkali-kali baru tulisan itu dimuat’. Untuk pelipur lara dan mempertahankan niat menulis, nasihat redaksi seperti itu sangat penting. Namun ternyata, sampai berkali-kali tulisan tidak pernah diekspos. Penulis pemula sampai bertahun-tahun tidak pernah melihat tulisannya dipajang di halaman koran hari minggu. Akhirnya dia pun dengan segala kekecewaan menghentikan bakat paling luar biasa yang dimilikinya itu. Nah di sini terletak sebuah soal yang luput dari penglihatan kita, yakni media sastra.
Sastra Koran
Tentu saja koran dengan rubrik sastra bukanlah koran sastra. Pos Kupang, Timex, Jawa Pos, atau Kompas sekalipun, bukan koran sastra. Namun koran-koran itu pada hari minggu turut memuat karya sastra, berupa cerpen, puisi, essai, resensi, dll. Ini sebuah terobosan yang sangat bagus. Selain karena masyarakat memerlukan hiburan berupa bacaan ringan di hari minggu, juga demi ekspositas para sastrawan muda. Hanya saja soalnya, tulisan sastra seakan menjadi semacam hiburan yang setelah dibaca, korannya dipakai untuk membungkus gorengan atau dilupakan begitu saja. Mungkin eksistensi tulisan sastra koran dilanggengkan oleh media tertentu yang lebih besar misalnya harian Kompas dalam buku kumpulan cerpen dan puisi pilihan tahunan. Sementara untuk koran di NTT hanya dikumpulkan oleh jurnalisme NTT dalam sebuah blogspot.
Kondisi ini memberikan dampak paling riskan untuk penulis-penulis muda. Seluruh penulis yang berminat sastra harus berjuang mati-matian merebut ruang budaya TIMEX yang tak seberapa dan ruang imajinasi Pos Kupang yang juga tak seberapa. Tambahan pula, cerpen-cerpen dan puisi-puisi yang kelewat panjang mesti dipotong atau ditata sedemikian rupa oleh redaksi demi iklan yang mau tidak mau harus dibilang sebagai sumber kehidupan koran bersangkutan. Nah sampai di sini mutu karya sastra koran bisa tereduksi. Bobot sastranya berbenturan dengan kepentingan koran bersangkutan sehingga dipotong pun rasanya biasa saja.
Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat merasa peduli pada pertumbuhan sastrawan muda NTT. Bapak Marsel Robot pernah menulis opini bahwa untuk menjadi sastrawan hebat, kita tidak perlu berhijrah ke Jakarta atau ke luar daerah seperti Gerson Poik atau sastrawan lainnya. Memang demi alasan pencitraan sah-sah saja. Namun soalnya, kalau di NTT hanya ada dua koran yang memiliki kolom sastra sebegini kecil space-nya, atau media online yang masih menjadi barang baru oleh sebagian penulis, tentu saja Jakarta menjadi lirikan yang rada-rada lugu. Maka itu terobosan urgen sekarang ialah buatkan sebuah jurnal atau majalah sastra bagi penulis sastra di NTT. Proposal ini ditujukan entah kepada pemerintah, entah kepada masyarakat pemerhati. Terhadap situasi NTT memang tawaran ini tidak memiliki nilai bisnis. Pemerintah atau masyarakat akan merasa ganjil mendirikan jurnal sastra di tengah masyarakat NTT yang budaya bacanya ulang-aling. Fakta menunjukkan bahwa masyarakat kita kerap masih membaca karya sastra sebagai hiburan atau untuk menghabiskan waktu saja. Akan tetapi sekalipun demikian kehadiran jurnal sastra akan perlahan-lahan membangkitkan minat masyarakat terhadap tulisan-tulisan sastra sebagai bacaan bermutu.
Budaya sebagai Idiologi Sastra NTT
Oleh karena itu idiologi sastra di NTT perlu diarahkan kepada idiologi budaya. Artinya, kearifan budaya lokal harus menjadi kendaraan yang menghantar pikiran para peminat sastra untuk menulis karyanya. Memang di satu sisi, idiologi ini rasa-rasanya akan menjual harga kreativitas sastrawan kepada koridor yang keumuman. Namun di sisi lain idiologi ini akan menjadi pintu masuk yang bisa menyentak hati pembaca untuk merasa betah membaca dirinya sendiri di dalam karya sastra tersebut.
Dalam Horizon edisi Januari, Jamal D. Rahman menulis catatan kebudayaan dengan judul Multikulturalisme dan Kemungkinan Sastra Indonesia. Catatan ini memberikan tempat bagi sastra guna memicu kedamaian di antara bentrok antar-kaum, antar-suku, antar-ras,dll. Kehadiran sastra menurut pemimpin redaksi Horizon ini, telah memberikan dimensi-dimensi kedalaman pada kebihnekaan dengan menggali dan mempertanyakan masalah-masalah tradisional dalam kebudayaan etnis kita.
Sekiranya sebuah jurnal sastra telah didirikan di NTT ini maka kemajemukan akan mendapat solusi alternatif, yakni lewat ulasan budaya para sastrawan muda. Dalam Opini yang ditulis oleh Yohanes Sehandi tentang Krisis Apresiasi dan Kritik Sastra dapat dilihat bagaimana kehendak publik untuk mencuatkan aksi damai-budaya melalui lokalitas tema karya sastra. Harapan kita semua akan tergapai apabila pemerintah atau pihak yang merasa peduli, berkorban untuk mendirikan sebuah wadah bersastra bagi para sastrawan NTT.
Kehadiran jurnal sastra akan menjembatani jurang antara penulis muda yang professional dan yang amatiran. Sebab pemandangan kurang memuaskan terjadi ketika para penulis professional memberikan kritik atas penulis amatiran justru melalui rubrik Opini. Padahal kalau kita melihat kompleksitas karya sastra, semestinya rubric khusus disediakan untuk tujuan kritik demikian. Pertentangan ini secara substansinya pun akan tereliminasi alih-alih ruang yang digunakan berebut-rebutan dengan iklan/advertorial. Maka itu, sangat masuk akal kalau kita berpikir menemukan solusi agar sesegera mungkin mendirikan wadah jurnal sastra di NTT.
Bertepatan dengan hari Pers tahun 2011, NTT menjadi isu mulut dan pena di mana-mana. Persoalan kewartawanan dan media mendapat sorotan beserta problem sosial budaya dan sosial ekonominya. Namun tidak berlebihan juga bila para jurnalis berunding memfasilitasi niat ini. Kami mengharapkan agar paling kurang budaya NTT bisa dilihat dalam frame yang berbeda. Sebab selama ini sering NTT hanya dikenal melalui tarian Ja’i, tenun motif dan sasando. Padahal NTT punya potensi seni dalam hal sastra yang juga tak kalah menarik.
*Mahasiswa Semester VIII pada Fakultas Filsafat Agama – UNWIRA Kupang

Senin, 07 Februari 2011

JEJAK JALANAN

PUISI NGASI
Berlangkah hanya meninggalkan jejak
Ada tanya hanya tak mampu bersuara
jiwa-jiwa menerawang ke arah jalanan
Berharap ada jalan lain akan hidup

Jejak telah lama dibauat oleh DIA
Tetapi terhapus oleh dia yang lain
Menyalahkan DIA tanpa sebab
dia salah menafsir jejak jalanan..

Jejak itu tetap ada
tak ada yang bengkok
bak rotan..jejak itu bisa lurus kembali
asal dia mau berubah...jejak tetap ada

Minggu, 06 Februari 2011

SEMALAM

Tiada niat tanyakan siapa
Biar luruh napas dan keringat
Mata yang sesayup
Relakkan langkah tinggalkan kamar pusaka

04:30
Murai belum hendak berseri
Betapa aku panik sepagi
“tuan, sketsa tujuh bidadari itu dicuri lagi!”

SEMOGA CERAH HARI INI
Semoga cerah hari ini
Tiada awan
Supaya bisa
Kutunjukkan kau tata ruang
Desain
Dan interior
Beserta plakat dan seluruh ornamen jeruji- jeruji beton
Asap panas palang pintu
Hunianmu kelak
Jika kau tetap bersandiwara




SIRATALMUSTAKIM
Ialah hawa cambuk berdebu
Busa- busa rongga dada
Liang lawatan berukir
Untuk kau bentangkan seluk- beluk
Sebab- musabab segala nama

Kelak,
Kalau usus- usus sampai meradang
Bertahanlah
Hingga etape ketujuh
Disitu
Akan ku ajari kau berjalan…


KULUKIS NAMAMU
Kulukis namamu
Pada bekas tapak kelana
Yang pagi tadi
Kutemukan bersarang di beranda rumah

Kutitip namamu
Dengan guratan tanpa warna
Agar jelas terbaca
Sekalipun dalam gulita
Dan lekas dapat kususul terjaga
Bila arahmu menuju suarga

[11:48] 1 februari 2011
Penfui- kupang

Cerek

AKU TAK IKUT MENANGIS
.....Steven amuntoda.......

Tawa dan tangis sudahku lewati dalam ruang sunyi ini. Aku sendiri menatap sang mentari lewat jendela kaca rumahku. Hari-hari yang dulu berawal dengan canda dan tawa, kemeriahan, pesta pora dan kekaguman semua orang akan kesuksesanku merupakan awal kesombongan. Kata-kata ini adalah sebaris kalimat di dalam buku harianku, tepat pada halaman yang ke tiga puluh dua. Buku ini adalah buku harianku yang baru, dibelikan oleh Lia salah seorang sahabat perempuanku. Liaadalah seorang perempuan yang baik dan ramah tetapi yang paling berkesan untukku yaitu perhatiannya kepada kehidupanku. Perasaanku terhadap Lia merupakan perasaan cinta dan tentunya bukan cinta biasa. Nama lia selalu hadir dalam buku harianku. Aku tidak tahu apakah ia mengetahui perasaanku atau tidak dan bagaimana perasaannya? Apakah sama? Aku bingung dan merasa tidak perlu untuk mengungkapkan itu semua, biarlah semua berjalan seperti air yang mengalir dan selalu ada harapan yang baru.
Hari-hariku sangat singkat dilewati dan berakhir juga pada tempat yang sama yaitu pada sebuah kamar kecil, di rumah Ayahku. Aku tidak tinggal di rumah mewah sendirian sepeerti dulu, kini hidupku di tangan orang lain. Aku hanya berbaring di tempat tidur dan tidak dapat berbuat apa-apa selain menulis. Ternyata temanku haanya dua yaitu buku harian dan Lia yang sering datang untuk melihat keadaanku. Ha...ha....ha....tawaku untuk mengusai pikiran. Ya pikiran akan kapan datangnya kematian.
Dalam kamar ini memori ingatan tentang teman dan semua kesusksesanku kembali terulang, sebelum divonis Dokter bahwa aku mengidap kangker dan hidupku tidak lama lagi. Terkadang aku tertawa dan menangis sendiri. Kedua orang tuaku sudah pasrah dan menyerahkan semuanya ketangan dokter. Aku akhirnya dapat dirawat di rumah saja. Hari-hariku terus barjalan dan ada banyak kisah yang tertulis rapi dalam buku harian, tentang perasaan cemas, gelisah, kagum dan harapan. Entah masih ada harapan atau tidak sudah tidak penting lagi. Sembuh bukanlah harapan tetapi kematian adalah jalan akhir dan kapan? Itulah harapanku.
Halaman buku harianku hampir habis tertulis, Cuma sisa dua lembar saja. Maka kutulis dengan rapi apa yang kurasakan sekarang ini.
untuk orang yang aku kasihi:
bapa, mama dan lia sahabatku.
Mungkin aku terlampau sombong untuk mengatakan terimah kasih, aku salah dan terlambat, aku orang yang bodoh dan tidak tahu arti dan makna terimah kasih, tetapi ada satu hal yang kini kutahu dan kusadari bahwa kamu semua adalah orang terbaik yang pernah aku miliki.
Aku ingat jelas ketiika aku tertidur, lilin di depan patung bunda maria selalu bernyala. Aku tahu bapa dan mama berdoa untukku, Aku tahu ketika selimut yang kugunakan terjatuh di lantai dipakaikan kembali oleh mama, aku tahu ibu menangis saat aku tertidur, aku tahu kalian ingin aku kuat menghadapi semua ini, untuk itu air muka kalian seakan berseri supaya aku tidak bersedih. Aku minta maaf dan berterima kasih.
Jujur hidupku hancur saat dokter memvonisku: Tomy Rianto ,,,anda mengidap kanker dan hidupmu tidak lama lagi. Mungkin kata-kata indah untuk semua kesuksesanku telah musnah dan berakhir. Aku yang hebat dan kuat sudah lenyap sama sekali ketika saat mendengar vonis dari dokter. Hidupku sudah berubah, rasanya terlambat untuk marah dan mau mengubah semua inni. Aku hanya terdiam membisu setelah mengetahui bahwa hidupku tidak lama lagi. Ingatanku kembali akan segala kekuasaan dan kesombongan yang kuperbuat ternyata akan segera berakhir. Aku sudah tidak sekuat dulu, aku kini rapuh dan tidak berguna lagi. Buang saja aku karena malu dan itu adalah keinginanku. Tetapi kamu semua membuatku untuk mengatakan bahwa hidup adalah anugerah terindah untuk sesama. Bapa dan mama selalu menemani walau aku tidak suka, egois yang tinggi selalu aku tapakkan di depan wajah kalian tetapi kalian selalu saja mendekat. Aku ucapkan maaf dan terima kasih.
Aku selalu ingat dan terjaga saat ibu memperbaiki bantal kepalaku, mengelus rambutku sambil menangis. Maaf aku tak ikut menangis, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Harus kuat atau pasrah? Aku bingung!!! Ingin menguatkan kalian akan kematianku atau aku harus menasehati diriku sendiri tentang kematian?... Aku mau mengatakan maaf dan terimah kasih sebelumnya tapi rasanya aku belum mati, aku belum ingin mati, aku ingin berlari dan minta untuk dilahirkan kembali.. Ya sudah terlambat,,,ah.ah.ah.ah.ah. aku terkadang meneriaki diriku sendiri untuk menentang hidup. Apakah aku kuat atau nasib yang kuat? Sering kuadakan pertandingan antara hidup atau mati? Aku yang menang atau kematian? Aku sulit percaya ini karya siapa? Tuhan? Hmhm... kalau memang aku kalah berarti aku dan Tuhan seri satu sama. Memang aku kalah dan mati tetapi aku tahu Tuhan kehilangan seorang manusia sepertiku. Aku yakin Tuhan adalah Tuhan akan orang yang hidup.
Bicara tentang Tuhan sulit untuk aku percaya namun sahabatku Lia sudah menyadarkan aku, ketika aku tidak percaya akan adanya Tuhan dan marah pada Tuhan, ketika aku tidak ingin menyebut nama itu lagi. Lia selalu mengatakan kepadaku bahwa di dalam penderitaanku, Tuhan selalu berada di sampingku. Tuhan selalu mengatakan masih ada kesempatan. Ya.. Tuhan masih memberiku sebuah kesempatan untuk mengatakan bahwa Tuhan ada dalam setiap harianku. Dan kamu semua adalah adalah bagian dari Tuhan untuk selalu ada dalam setiap tatapan mataku. Kalian adalah yang terbaik. Ternyata ada yang berubah dalam penderitaanku, sikap sombong main kuasa sudah hilang. Ada sesuatu yang mengubah sesuatu.
Mungkin detik kematianku akan di mulai. Lia selamat menikah hari ini. Maaf aku tidak hadir. Doaku semoga rumah tanggamu selalu sukses. Pasti kau sedang berpesta dan bersenang-senang. Sekarang juga aku sedang berhadapan dengan dewa kematian, Selamat datang kematian. Halaman buku harianku sudah yang terakhir, ternyata aku kalah dengan buku harianku. Aku pikir dapat menyelesaikan buku harianan ini dan dapat membeli yang baru tetapi sayang aku tidak kuat, buku harianku menang.
Semoga buku ini dibaca. Maafkanlah aku. Salam hangat untukmu semua, ucapan maaf dan terima kasihku terus bergema. Aku selau berdoa untuk kalian karena Tuhan memberikan orang-orang terbaik kepadaku.
Tomy Rianto

Cerpen

Senja Di Makam
Cerpen Deodatus D. Parera

Tapakku terhenti. Di sini. Untuk kali ini. Aku tahu kapan terakhir aku di sini. Kali yang lain waktu yang sama. Bagaimanapun aku harus kembali. Untuk kali ini aku baru menyadari bahwa kepergiannya telah membuatku berharap hanya pada diri yang lain.
Dia seorang yang berguna bagiku. Ya, sangat. Aku tahu banyak hal. Yang memang tak mungkin aku lupakan begitu saja tanpa alasan. Apa pun itu. Kembali aku ingin mengupas apa yang telah tersulam. Yang aku inginkan demikian. Walau separuhnya. Tak apalah. Sudah biasa.
Ayahku. Ayah yang mencintaiku. Cintanya tiada banding dengan lainnya. Biar cintaku terukur semuanya tapi tak ada bandingan ketimbang dia padaku. Juga bagi yang lainnya. Aku menyadari kehilangan nampak dalam keseharianku kini. Apalah begitu. Sepertinya aku tak mau menerima kepergiannya. Semuanya itu nampak dalam kesendirianku. Aku tak mau berbohong jelas bahwa aku merindukannya.
Langit di sana agaknya jingga. Cakrawala nampak semakin murung. Rerintik menambah derunya. Barusan hujan mengairi bumi. Tetesnya menyegarkan tadi. Aku sendiri yang telah dari tadinya di sini masih terbuai akan tangisan rerintiknya. Aku tak mau pergi. Bukankah sementara ini hujan. Pikirku singkat. Ketika suhu tubuh tak terlalu memungkinkan, air hujan yang kuterima akan membuat tubuhku ngilu sakitlah sudah aku. Masuk akal. Pikirku seperti menjelaskan sebuah temuan.
Rerintik semakin keras. Akankah hujan lagi. Yuk, cepat. Aku berlari sempoyongan. Terbirit-birit. Aku takut sakit karena tetesnya. Suhu tubuhku tak terlalu memungkinkan. Kalau mengenaiku berarti sakitlah sudah. Aku tak biasa sakit saat hujan begini. Sejak masa di mana masih ada ayah.
` Hujan kali ini bagiku ceritanya agak lain. Aku ketinggalan satu langkah bagi perjalanan selanjutnya. Perjalanan kali ini tanpa seorang teman. Teman yang menemani separuh perjalananku. Ziarahku belum usai. Tapi waktu telah lebih dahulu mengakhiri tapak ini. Aku tak tahu kenapa mesti begini. Apa lagi terhadap orang yang memang sangat aku butuhkan. Ziarahnya usai lebih dahulu. Seolah dedaunan kering yang gugur tanpa banyak alasan. Gugur, ya gugur. Begitulah adanya, seharusnya. Semestinya.
Hari semakin menepi. Bulan pun sama. Tahun akan berakhir. Namun, langkahku tak akan berlanjut. Akhirkah ini. Aku boleh bertanya sendirian tanpa sebuah jawaban pasti. Siapa lagi yang akan membantuku untuk menjawabnya. Siapakah dia selain seorang yang telah pergi itu. Bukannya aku tak mampu tapi aku belum bisa. Bisa karena sebuah kekuatan, harapan dan cinta, juga karena kelemahan. Atau yang biasa, sederhana. Dia sangat sederhana bagiku. Aku tak mau mengukur kekuatan yang ia miliki. Boleh juga tapi kan hal yang persis aku tak bisa mengubahnya, ia mencintaiku. Sangat.
“Bu, ayah mau kemana? ”
“Urusan kantoran. Begitu Ayah bilang”
“Masa’, Bu tak tahu pasti?”
“Ayah cuma bilang begitu, Vian”
Ibu tak tahu pasti kepergian ayah. Mungkin karena urusan masing-masing membuat mereka berdua kurang berkomunikasi. Bertemu di rumah cuma satu dua jam. Bicara cuma dua kata. Berpapasan cuma dari satu lorong kamar ke lainnya. Senyum seadanya lalu berlalu. Ketika pergi, tanpa alasan yang begitu masing-masing tahu jelas. Ya, sudahlah yang penting kami bahagia.
Ayah semangat hari ini. Ia telah bersiap. Berpakaian rapi. Selalu. Ketika ia mau keluar atau mau kemana saja ia selalu berpenampilan rapi. Apa yang perlu telah ia siapkan lebih dahulu tanpa dikontrol ibu. Aku hanya melihatnya dari jauh. Takut kalau-kalau kesibukannya diganggu tak bisa menemukan jalan keluar yang bagus. Nantinya aku salah.
Ketika ia berlalu dari hadapanku bunda mengajakku untuk jaga rumah. Sendirian. Bunda juga ingin pergi. Ada keperluan keluarga. Aku sendiri yang di rumah. Malam pun tiba. Ada sesuatu yang tidak baik malam ini, gumanku. Apa pun aku yakin kedua orangtuaku akan kembali dengan selamat.
Beberapa saat kemudian aku mendapat kabar buruk. Ayah, ayahku kecelakaan. Aku menangis sesenggukan. Bagaimana mungkin. Tidak. Tidak mungkin. Ayah…. Aku masih ingin ayah tiba kembali dengan selamat. Di sini. Ibu… Malamku kini meredam panjang. Aku merasa tiba di tepi waktu yang hendak memaksaku untuk menerima kenyataan. Bagaimana pun juga. Tidak…
Aku di sini untuk sebuah jawaban. Menulis cerita di smana akhirnya ia adalah inspirasiku. Dan ketika aku ingin memulainya, aku kalut. Diam untuk sesaat lamanya. Ternyata cerita yang kutulis ini tak mungkin aku akhiri. Aku tak lagi ingin memulainya. Hingga kini. Sampai aku sendiri memulai sesuatu yang baru, yang lain.
Kepergian ayah menaruh ajang sepakan panjang. Dengan lilin di tangan sembari ucapkan doa, kutitipkan perjalanan kami di sisi ayah. Mudah-mudahan ia menjadikan kepada kami malaikat dalam jejak kami selanjutnya. Senja menenamiku ketika berpaling sembari ucap “Selamat ayah. Kau pemenang. Aku dan bunda masih ingin berlangkah lagi. Yang panjang. Temani kami. Baik cerita, baik tawa, ayah ada dan menghibur. Ibu tadi bilang ia menyayangi ayah. Natal tahun lalu kita bersama di rumah. Tapi kali ini kami harus ke sini. Kita tetap bersama. Ayah…”. Gumanku mencoba mengalih ragaku. Aku ingin menangis. Tapi aku berhasil.
Aku kagum pada ayah. Ia yang terbaik bagi kami, bunda dan aku. Ketika itu, aku pamit dan pergi tapi hujan kali ini diam-diam tak bersuara. Di sisi makamnya. Aku mengangkat muka, kudapati bintang di cakrawala.



Bagi sahabat yang melewatinya
Penfui, Desember 2010
Anggota Komunitas sastra Sint. Mikhael
RESENSI BUKU

Lukisan Menawan Peri Eskatologi
 Judul Buku: Kau Memanggilku Malaikat
 Penulis: Arswendo Atmowiloto
 Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2008
 Tebal: vi+272 halaman
 ISBN: 978-979-22-4093-1

Novel karya Arswendo ini dengan indah melukiskan saat terakhir manusia menjelang kematian. Novel ini layaknya seperti katekese eskatologis-kehidupan akhirat manusia. Kematian memang harus dihadapi oleh siapa saja. Logikanya apa saja yang hidup pasti akan mati, hanya berbeda waktu, tempat, dan cara bagi setiap invidu. Adanya manusia yang “terlempar” ke bumi dengan segala ketertentuannya sesungguhnya berjalan menuju kematian. Kita ada menuju kematian. Semua yang “ada” disebabkan oleh apa yang disebut sebagai “daya hidup”. Daya hidup adalah kekuatan yang menggerakkan seluruh kehidupan di muka bumi, ia ditandai dengan raga, tubuh, tidak abadi tapi daya hidup abadi ada di luar penilaian baik dan buruk. Satu hal penting adalah adanya daya hidup sebagai sebab ada segala sesuatu. Pada mulanya adalah daya hidup. Ia ada dalam kehidupan dan menandai keberadaan melalui raga, melalui tubuh manusia atau apa saja. Daya hidup mulai dengan tidak merasa, merasa sedikit, saat dalam kandungan, lalu mulai mengerti dan merasa, saat mulai dewasa dan tua, sampai akhirnya mati. Raga mati. Daya hidup tetap ada.
Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama tokoh utama “Aku” adalah “Malaikat”. Malaikat tak butuh waktu, ia ada di berbagai tempat dalam waktu yang bersamaan- “Saya bisa di berbagai tempat seketika, karena tak ada batasan waktu bagi saya.” Memang begitulah hakekat malaikat yang berbeda dengan makluk lain yang mengenakan raga. Ketika Sang malaikat menangkap sinyal-sinyal saat terakhir getaran kematian ia mulai mendekat. Malaikat menghibur setia mendengarkan curahan hati mereka yang hendak menemui ajal. Ia menjemput dan menunggu dengan sabar dalam detik-detik kematian yang mendebarkan bagi yang mau beranjak atau yang menyaksikan. Ia tidak memedulikan entah yang dijemput itu orang baik atau jahat, berdosa atau suci. Semua manusia diperlakukan sama baiknya , dihibur, diteguhkan menerima kematiannya. Sebab hal menarik yang ditampilkan adalah adanya pengampunan dan kesempatan yang sama mengulangi lagi apa yang dilakukan seperti yang kita maui, namun berbeda. Bedanya adalah tanpa raga fisis tapi tubuh rohani, kehidupan tanpa raga tapi tetap berhubungan dengan manusia. Pada dasarnya, keadaan tanpa raga ditandai dengan tiadanya ketertikatan akan waktu, juga tempat dan suasana. Karena tiada proses itu, segala sesuatu harus dipahami dengan cara baru. Misalnya masih bisa mengerti tapi tidak bisa merasakan. Singkatnya segala sifat manusia seperti dendam, benci, sudah ditanggalkan bersama raga.
Novel penuh kajian metafisis tentang potret kehidupan akhir manusia setelah beralih dari kehidupan di dunia ini. Kehidupan akhir-situasi eskatologis yang menyenangkan. Membaca novel ini mereka yang sedang takut akan kematian akan menjadi optimis menanti saat kematian menjemput. Kematian itu dialami manusia kapan saja, entah itu mereka yang sudah tua seperti Ibu Tesarini, yang masih muda-muda seperti Ife, atau anak kecil yang masih lugu sekalipun seperti Di. Malaikat hanya menjemput dan menghibur mereka yang akan menemui ajal namun tidak bisa membatalkan kematian. Tapi apa itu kematian sehingga tak ada satu kekuatanpun yang bisa membatalkannya? Siapa yang menentukan saatnya? Sesungguhnya ada satu kekuatan yang berkuasa mengatur kehidupan dan kematian segala makhluk. Kekuatan yang memberi hidup dan merenggutnya kembali. Namun Arswendo tidak sempat menyentil hal ini dan tidak memberi jawaban atasnya seolah kematian diterima begitu saja.
Terelepas dari pertanyaan di atas, ternyata lukisannya novel ini tetap menarik dan sangat mengejutkan. Bahwasannya situasi tanpa raga ternyata indah dan menyenangkan. Walau demikian bukan berarti Arswendo memandang kematian sebagai opsi yang tepat untuk mencapai kenyamanan. Arswendo tidak memenganggap kehidupan di dunia itu buruk dan penuh penderitaan sehingga mendorong orang untuk cepat-cepat mengakhiri hidupnya agar terbebas dari air mata. Kehidupan di dunia yang dihiasi dengan mimpi, perjuanga, tawa, dan air mata juga penuh pesona. Hal ini menunjukkan bahwa segala ciptaan itu baik adanya. Malaikat juga sempat tergoda akan indahnya kehidupan di dunia.
Herman Bau Rua
Puisi – puisi Gaudensius Nabu

Hening
Malam ini
Di kala kesunyian mulai menyelimuti hati dan kalbu
Segenap insan bumi hanyut dalam buai mimpi
Kicau burung hilang sementara waktu
Daun tak bergetar, dahan dan ranting usah kau pikirkan lagi
Beku...mungkin

Kupandang rembulan terang kemilau
Menyenangkan hati, memanjakan kalbu
Merona jiwa buat kehidupanku

Di saat itu aku tahu
Dalam ketenangan dan kesunyian
Kasih itu melingkupi
Senyum itu membias
cinta itu hadir dan menemani
Di situ harapan kan selalu ada
Tobat
Kadang hati menimang rindu
Rasa kalbu harap tuk bersama Dia
Kemauan menggebu, membahana
Ingin damai dalam pelukan-Nya

Hadir belakangan rasa
Nir pantas ada dekat hadirat-Nya
Sadar diri dibalut banyak laku tak pantas
Jurang dosa putuskan harapan

Tobatlah untuk kesampaian
Busung dada Dia kan terima
Tangan terlentang,senyum menyambut
Walau selalu dilukai
Dia kan selalu tersenyum
Harapan
Mungkin hati tak seindah mega
Merona merah memanjakan mata
Pancarkan kesegaran bagi budi
Hadirkan rindu bagi setiap insan

Terkadang keletihan mematikan harapan
Terkadang kebosanan membunuh semangat
Mungin hati tak seindah sutera
Dalam harap yang dibalut kasih
Cinta itu ada


Musnah
Harap itu
Jauh, melayang, terbang tinggalkan hidup
Serasa ribuan jarum melukis batin
Serasa jantung berpembuluh duri

Mati
Satu kata milik seutuhnya
Hasil torehan derita diri
Kepastian buat akhir hidup

Hilang
Lenyap
Apa guna berpikir lagi
Cukup
Ayah
Pancaran wajahmu hadirkan sejuta makna
Uban rambutmu biaskan keabadian
Luka tubuhmu ciptakan kesegaran
Reput kulitmu lukiskan senyuman
Rapuh tulangmu lahirkan kekuatan

Imbalan
Balas jasa
Ah...itu bukan maksudmu
Kemajuan putra, kemandirian,kesuksesan
Itu tujuanmu

Hari ini
Tertanggal 5 Januari 2011
Mengukir 54 tahun waktu hidupmu
Kesuksesan...ada
Kesukaran...banyak
Itukah kau perhitungkan?
Tidak...kau sudah lupakan
Mungkin yang kau inginkan
Anakmu berjaya

Ayah
Doaku kan selalu menyertaimu
Mungkin tak sebanding dengan perjuanganmu
Tapi ku yakin
Ia selalu ada dan hadir untukmu
Happy birthday ayah
Penjilat
Cerpen Ino Sengkoen

Bagaimanapun keadaannya, sampai sekarang aku bangga dengan ayahku. Bagiku, dia tipe pahlawan sejati. Dia ibarat matahari, matahariku. Cahayanya membawa terang yang membantuku menghalau kegelapan yang membentang di hadapanku. Cahayanya memberi kehidupan bagiku, berhadapan dengan masa depan yang masih misteri. Walau matahariku memeram misteri. Kuharap akan terpecahkan.
Malam itu. Di bawah pohon ketapang aku duduk. Di atas kursi bambu kupetikkan gitar, mengiringi alunan suara manis mamaku. Angin malam yang sepoi menampar halus di wajahku. Begitu juga mamaku. Kami gembira dalah kolabarasi, bemusik dan bernyanyi. Seperti di malam-malam sebelumnya, ketika ayah belum pulang dari kerja, sementara kawanan ayam kami sudah nyaman bertengger di atas pohon.
Bunyi motor GL Pro tua menembus mencapai telinggaku. Ayah sudah pulang, batinku. Tak lama lampu motor ayah menyenter aku dan mamaku di bawah pohon ketapang, di atas kursi bambu. Beberapa menit kemudian ayah sudah datang menuju kami. Aku berikan senyuman termanis yang selalu kupersiapkan untuk matahariku ini.
“Hay Panji Kejujuran, serukan kalimat sandi kita...”
Aku dan mama menyambung, kami bertiga sama-sama berseru
“Everythings gonna be alright...”
Begitulah kebiasaan kami. Itulah ungkapan-ungkapan yang familiar bagiku, tanpa kutahu jelas maksudnya. Panji kejujuran. Everythings gonna be alright. Ah persetan.
Kutinggalkan gitarku. Kuraih tangan ayah dan mama, kutuntun mereka menuju ruang makan. Seperti biasa, kami bersantap. Aku, ayah dan mamaku. Hanya kami bertiga di rumah yang lumayan besar ini. aku anak semata wayang mereka. maklumlah kalau aku diperlakukan lebih istimewa.
Kami makan sambil berkelakar. Saling serang dengan ejekan-ejekan kecil mengundang tawa.
Kami masih asyik mengumpat dan tertawa ketika sebuah sms yang baru masuk di hand phone ayah membubarkan semuanya.
“Maaf, rupanya ayah harus absen lagi, ada panggilan mendesak dari bos. Ayah pergi.”
Gesit diraihnya kunci motor. Dalam hitungan detik ayah sudah menghilang. Menembus pekatnya malam dan dinginnya udara. Aku dan mama hanya saling tatap. Kami lanjutkan makan kami.
Ya, kejadian seperti ini sudah biasa kami alami. Bahkan terkadang ketika mata kami sudah terpejam dan jiwa sudah melalang buana di alam mimpi pun ayah tiba-tiba bangun dan pergi meninggalkan kami. Yang pasti, sebelumnya sebuah sms membunyikan hand phone ayah. Sms memang selalu mengganggu ketenangan dan kehangatan. Demikian ungkapku kala pesimis mendera, lantaran sms melahirkan misteri.
Ayah melarang kami untuk menanyakan terlalu jauh tentang dirinya. Pekerjaannya yang selalu menuntut lembur, keadaan dirinya yang terkadang pulang larut malam, dengan memar-memar kecil di wajahnya. Kami tidak boleh bertanya teralu jauh. Jika tidak, matahari itu akan berubah dari penerang menjadi pembakar yang menghanguskan. Aku dan mama tak mau itu terjadi. Biarlah kami nikmati saja kekaburan ini. Matahariku memeram misteri. Kuharap akan terpecahkan.
***
Kisah mimpiku hampir mencapai akhir ketika mama menggoncang tubuhku. Gelap malam mencengkram bumi meninggalkan kesan kelam mendalam. Suara jangkrik beradu dengan lolongan anjing di kejauhan. Angin malam lebih kencang daripada senja tadi. Aku bangun dari tidur. Aku terpaksa. Kulihat wajah mama menampakkan kegelisahan. Garis-garis cemas terukir jelas di gurat wajahnya.
Tanpa banyak kata mama menyodorkan handphonenya padaku. Rupanya ada sms yang perlu kubaca. Yaa, lagi-lagi sms mengganggu, pikirku. Sms ini dari ayah. Isinya begitu hemat. ‘Jl Sudirman no 11’.
Kutatap wajah mama, berusaha mencari tanggapannya. Kupandangi matanya mendalam. Bening. Hening. Kuraih tangan mama setelah kutemukan keyakinan di balik matanya. Kami berdua berlari keluar rumah, bergegas menuju alamat yang sempat ayah sampaikan lewat sms tadi.
Hanya butuh beberapa menit. Kami akhirnya sampai di alamat yang dipesan ayah tadi. Jl Sudirman no 11. Sebuah rumah mewah tanpa pagar apalagi satpam. Aku dan mama bergegas menuju ke dalam rumah, ketika terdengar suara manusia dengan ekspresi berbeda. Yang satu tertawa, yang lain minta belas kasihan.
Mama menarik tanganku. Kami mengintip dari balik jendela kaca rumah itu. aku dapati, adegan yang melahirkan suara-suara ekspresi tadi terjadi di ruang tamu rumah itu. Para tokoh seputar kejadian itu tidak asing bagiku. Bos ayahku dan ayahku sendiri. Bos ayahku yang tertawa, ayahku yang minta belas kasihan. Dan skenarionya, ayahku dihajar bosnya, ibarat saset yang dihajar petinju dalam latihannya.
Aku menatap penuh emosi. Tak terasa air mataku berderai membasahi pipi mungilku, menyusul mama yang sedari tadi sudah lebih dahulu menangis. Aku sadar tak bisa melawan. Usiaku baru 14 tahun, kerangka tubuhku pun masih banyak tersusun dari tulang-tulang rawan. Aku takan bisa melawan. Ayahku saja tampak tidak berdaya, apalagi aku. Sementara mama hanya bisa menagis. Dia terlalu feminin untuk melawan. Berkata kasar saja dia tidak mampu, apalagi bertindak kasar. Jadilah kami berdua penotonton adegan sadis yang membuat hati pedis.
Bos ayahku tampak sedang mabuk miras. Sempoyongan, namun ganas menghajar. Dengan beringas, antara ketidakseimbangan dan tawa bangga dia menghajar ayah. Menendang. Memukul. Meludahi wajah ayah. Menyiram tubuh ayah dengan sisa-sisa miras di botol yang tersimpan di atas meja. Sesekali dengan makian dan cemooh merendahkan. Dia bilang ayahku anjing. Dan anjing patut menerima tendangan, pukulan, makian sebagai balas dari tulang-tulang yang dagingnya telah dilahap rakus oleh tuannya. Entah kenapa. Aku tak tahu.
Aku tersentak ketika ternyata mataku beradu pandang dengan mata ayah. Air mataku semakin deras mengalir mengungkapkan kepedihan. Sementara ayah, di matanya terpancar kepasrahan. Kami saling tatap beberapa detik. Ayah lalu mengayunkan lehernya. Aku dan mama disuruh pulang. Entah kenapa. Aku tak tahu. Namun aku dan mama tetap mengiyakan. Kami pulang ke rumah membawa kepedihan sekaligus kegelisahan, dan misteri yang semakin mendalam. Matahariku memeram misteri. Kuharap akan segera terpecahkan.
***
Ayah akhirnya kembali. Di saat dini untuk hari berikutnya. Aku dan mama berlari menyambutnya di depan rumah. Dia bergegas turun dari motor, berlari menuju aku dan mama. Kami saling mendekap. Tangisan menjadi iringan dekapan kami itu. aku merasakan kehangatan. Persatuan kami melahirkan kehangatan. Barangkali kehangatan inilah bahasa ayah sebagai jawaban implisit ketika aku dan mama bertanya tentang pekerjaannya, keadaannya. Barangkali kehangatan ini yang menguatkan aku dan mama untuk selalu percaya pada misteri ayah.
Ayah merunduk lalu duduk di depanku. Kulihat jelas lembam di wajahnya.
“Kau lihat sendiri apa yang sudah terjadi tadi. Kelak, jangan pernah kau menjadi penjilat. Nanti kau diperlakukan seenaknya oleh tuanmu. Mengerti?”
Aku mengangguk walau aku belum tahu pasti maksud ayah. Yang kutahu hanya sedikit, aku tak boleh jadi penjilat.
Malam ini aku beranikan diri untuk bertanya. Bertanya dalam kepolosan dan keingintahuanku. Berharap semua misteri terpecahkan malam itu.
“Ayah, Panji Kejujuran, Everythings gonna be alright. Apa maksudnya?”
Ayah menatap mataku dalam. Ia berusaha meneropong jiwaku lewat mata mungilku.
“Jangan pakai topeng kemunafikan jika kau tak ingin diperlakukan seperti ayah. Kau harus jadi panji kejujuran. Jangan menipu diri sendiri dan orang lain.”
Ayah lalu memegang kedua bahuku. Menepuk-nepuk dengan tenang.
“Hidup ini keras. Lihat keadaan ayah. Jangan gentar anakku, everythings gonna be alrigth. Jadilah panji kejujuran dan semuanya akan menjadi baik. Masa depan cerah menantimu.”
Aku mengangguk pasti. Sebuah senyum kupancarkan dari wajahku. Ayah dan mama membalas. Ayah lalu mengajak kami masuk ke dalam rumah. Aku raih tangan ayah dan mama. Kami berjalan perlahan. Masing-masing dengan pikirannya.
Bagiku, misteri matahariku telah terpecahkan. Ternyata ayahku seorang penjilat. Ternyata lembam di wajahnya selama ini akibat ulah semena-mena bosnya. Ternyata ayahku tak ingin aku mengikuti jejaknya, dengan mengataiku Panji Kejujuran. Ternyata ayahku ingin aku selalu optimis.
Sampai sekarang aku bangga terhadap ayahku. Matahariku sungguh mengagumkan. Lebih membanggakan lagi, sejak saat itu ayah memutuskan hubungannya dengan bosnya itu.
Ketika matahari mulai menyingsing kembali, ayahku memastikan niatnya mencari pekerjaan baru. Ketika matahari mulai menyingsing kembali, aku janjikan pada ayah dan mama, aku tak mau jadi penjilat!!!
PUISI-PUISI TONNY KOBESI



Selalu Mimpi

datang lagi malam terhimpit belukar rasa terawang
berlari aku sendiri ribuan angan dalam birama
kutangkap simpulan tak pernah dari noktah yang pasti
tak kusulam dalam rerangkai
sampai akhir

masih dengan malam
terus digulir menjemput pagi
pun tak beranjak pergi
dari angan-anganku seperti teman,
selalu menemaniku terkadang dengan tanya
… diam…
itu jawabanku hingga mata terpejam

saat fajar senyum membangun merindu
tak luput tak hilang
terselip mimpi dan cita

ribuan angan
selalu ada,

ini masa depan
ini hidup
selalu mimpi


Kutulis ini ketika angan tentang masa depanku selalu menjadi pertanyaan bagi seorang aku, bagaiman nanti aku. Hebron, 28-01-2011.
Mama

Layaknya seorang pejuang Semburan cahaya panas yang membakar, tak pernah engkau bayangkanHujan dingin dan kerasnya badai kehidupan, tak pernah muncul dalam benakmu

Bahkan ketika sakit dan penyakit menyerangmu Engkau berlagak bak seorang manusia yang baik, tak peduli Hanya demi kami buah hatimu

Tak pikir si bungsu yang sakit, panas dan menggigil Engkau rela pergi walau hatimu menangis memikirkan dia Buat kami dan dia, engkau rela melawan tangis hatimu
Demi hidup dan masa depan kami Engkau bahkan rela menjadikan dirimu sebagai hamba
Meski buat kami engkau adalah malaikat

Oh… mama
Aku sedih melihat perjuanganmu, tak kuat melihat pengorbananmu
Engkau tak layak mendapat realita ini
Tapi mengapa saat ini engkau harus merasakan hidup
sebagai seorang ayah?
Ataukah ini salah dari ayah kita
yang begitu cepat pergi?

Mama…
Aku menangis Aku ingin membantumu Aku ingin berada dalam posisi ayah menggantimu Aku tak mau mama menjadi seperti lelaki Terlalu dini ma…

Mama…
Ini aku si sulung berhujan airmata beban
selalu menangis memikirkanmu Terlalu berat bagiku untuk jalani ini

Ingatan dan serpihan kelabu tentang realita kita
Terlalu kuat untuk seorang aku yang lemah
Terkadang cerita realita ini mengikatku
Bahkan guratan beban tak lepas dari pundak pikiranku
Hingga mimpi masa depanku sulit utuk dipastikan
Namun yang ku tahu, kenyataan hidupku saat ini
Membuatku belajar untuk mengajari

Kutulis ini ketika realita hidupku harus memaksaku melihat perjuangan seorang ibu yang ditinggalkan oleh pribadi luar biasa yang sangat berarti dalam hidupku, ayah kami. Hebron, 15-01-2011

Sahabat

Aku disini dengan diriku bergelut
di tengah berjuta kisah dan cerita
Aku sepi, hampa, tak berdaya
Karena aku sendiri ketika engkau ada

Dengan dirimu engkau pun sama
denganku asing, terbuang
dalam kesendirian saat waktu menemukan kita
Aku masih dengan dirimu, begitu juga engkau

Berdiri dalam jarak berbeda Engkau menatapku
Mengumbar senyum Ada kerinduan untuk bersamamu
Ada Tanya yang ingin kujawab dari tatapanmu

Tahukah kamu
Adamu menghilangkan realita kesepian,
kehampaan dan ketakberdayaanku? Tak mampu kujelaskan
Hanya gerak bibir berucap terima kasih
Untukmu ini wakil hatiku

Cerita...

Gembala Mimpi dari Harani

- Danny Bria -

Ini adalah kisahku, kisah yang dibalut renta, terbentang panjang dalam era 80-an. Kisah ini kubuat untukku, terpilin atas kisah usang seorang anak manusia yang dilahirkan di perkampungan yang sungguh udik. Kampungku bukan saja di pinggiran kota tapi memang sama sekali di luar, jauh dari kota. Harani, itulah nama kampungku.
Entah apa arti sebutan itu, aku tak tahu. Nama Harani sudah disandang kampungku sejak ia dijadikan sebuah perkampungan oleh orang-orang. Tentunya sudah sangat lama, jauh sebelum adanya aku di kampung ini. Mungkin aku generasi setengah abad setelahnya. Entahlah. Itu tak pasti. Tidak pula kutanyakan pada orang-orang sekampung usul muasal nama itu. Aku lebih menaruh perhatian pada yang sudah ada, yang telah disediakan Harani bagiku termasuk rumah kami, ama , ina , sapi-sapiku serta kegiatanku pada hari-hari yang datang, lewat, datang lagi, terus lewat lagi.

Aku menyulam hari-hariku dengan menggembalakan sapi-sapi di padang yang dipagari lebatnya hutan. Kami menyebut hutan itu dengan sebutan alas . Letak alas jauh lagi ke selatan dari permukiman kami. Di tengah-tengah alas itulah bentangan rumput memadang. Bila disapu mata, padang itu cukup luas. Ia berselip memanjang, memisahkan kumpulan pohon kenari di sisi yang satu dan sisi lainnya lagi. Tak heran bila garangnya muntahan penguasa siang tetap terasa menusuk. Dari sana kita bisa mendengar gaduh riuh tumpahan gelombang milik pantai Taberek .
Aku sendirian saat menggembalakan sapi-sapi. Tidak ada kawan sebagaimana yang diceritakan dalam novel-novel. Sungguh sepi. Saat matahari berdiri tegak di atas sana, menciptakan satu garis lurus di atas kepalaku, aku hanya mampu mengusirnya dengan alunan simfoni yang keluar dari suling bambu tua. Teriknya hampir-hampir menghanguskan. Bukankah itu hal biasa bagi seorang gembala sapi?
Aku anak kampung. Si penggembala sapi. Dulunya aku sekolah. Sekarang sudah tidak lagi. Jangan pernah tanyakan padaku soal jam. Aku tidak punya jam tangan maupun jam dinding di rumah. Yang kutahu ketika aku bangun dan memberi makan kepada sapi-sapiku sebelum menggiringnya ke padang, itulah yang namanya pagi hari. Saat matahari berada persis di atas kepalaku, itulah tengah hari. Aku juga tahu kalau saat itu panasnya belum seberapa dibanding ketika ia mengambil sedikit haluan lagi ke arah barat. Bila tiba waktunya aku harus mengumpulkan rerumputan serta kayu bakar sebagai hadiah buat ina di rumah, merangkulnya seperti menjaga sebongkah emas di atas punggung sapiku sambil menuntun mereka kembali ke kandang, itulah petang bagiku. Malam bagiku adalah saat gelap. Ketika aku telah selesai membantu ina mengambilkan air untuk masak sekaligus untuk mandi. Aku mengambil air di sumur yang letaknya di ujung kintal. Ama biasa tiba kemudian. Aku dan ama berbagi tugas. Aku menggembalakan sapi-sapi, sedangkan ama mengerjakan kebun kami yang letaknya lumayan jauh dari rumah, di kaki bukit. -Untuk sampai ke sana, ama harus mengambil jalan ke Utara beberapa kilo meter lagi.
Malam hari merupakan waktu yang kutunggu-tunggu, waktu aku, ina, dan ama berkumpul. Itu saat yang sangat membahagiakan. Ketika ina membagikan aka bilan dan fehuk dikin buat aku dan ama juga buat dia sendiri. Kami makan seadanya. Tidak seperti keluarga om Baba yang tiap minggunya berbelanja di kota menggunakan pik up mereka –itu satu-satunya mobil di kampung kami-. Tetapi kami bahagia. Kami bahagia karena kami menerima keadaan kami apa adanya, selalu bersyukur dengan apa yang kami peroleh dan miliki. Bila acara makan malam di rumahmu dilangsungkan dalam suasana hening maka di sini tidak. Makan malam justru merupakan kesempatan kami bercengkerama, bersenda gurau, saling membagikan pengalaman. Itu pula yang membuat apa saja yang jadi menu makan malam itu dilahap habis tanpa sisa. Acara makan malam kami berlangsung di lantai rumah yang dialasi kleni . Kami akan melanjutkan acara senda gurau kami setelah makan. Namun semuanya harus diakhiri karena aku harus meninggalkan ina dan ama sebentar; pergi belajar.
Jangan kaget bila aku berkata demikian. Meskipun aku hanya seorang anak kampung yang kolot namun aku pun belajar. Tempat belajarku tepat di tengah-tengah rumah para penduduk kampung. Di sanalah aku bisa berkumpul dengan kawan-kawanku. Ada Manek, Bo’u, Ikun, Ulu, Bere, Biak, Buik, Tahu dan Luruk Bui. Aku sendiri bernama Muti. Di antara kesembilannya, Maneklah yang paling akrab dengan aku. Itu karena ketika sekolah di SD dulu kami selalu bersama-sama menumpang di pik up milik om Baba. Kebetulan anak perempuan om Baba yang bernama Cing seangkatan kami. Aku dan Manek terus menumpang hingga tamat SD. Hanya saja setelah tamat, Cing masuk asrama dan melanjutkan ke SMP. Dengan sendirinya kegiatan antar jemput tidak lagi terjadi. Tidak mungkin kami juga masuk asrama. Selain butuh biaya yang bagi kami lumayan besar, aku harus membantu orang tuaku menggembalakan sapi. Lebih lagi Manek. Ia harus membantu ina-nya mengerjakan kebun mereka. Ama Manek sudah meninggal sejak manek berumur 3 tahun. Jadilah aku dan Manek hanya bisa puas dengan ijazah SD di tangan.
Kami belajar di sebuah rumah tua –lebih layak disebut gubuk- yang hanya diterangi badut . Kami punya pensil dan juga buku. Tapi itu dibagikan. Itulah fasilitas kami dan dia yang membagikan secara cuma-cuma, gratis.
Dia adalah pengajarku. Pengajar kami. Orangnya tinggi besar - ada yang pernah bilang padaku kalau nenek moyangnya raksasa- dengan jenggot putih yang panjang menutupi sebagian wajahnya. Aku yakin dia dari negeri seberang meski tidak tahu secara pasti. Dia adalah pengajar kami. Tapi aku sendiri tidak terlalu tahu siapa dia. Dan memang ia sendiri tidak pernah peduli siapa dan dari mana ia. Yang kutahu, orang-orang di kampungku, kawan-kawanku, termasuk aku biasa menyapanya dengan sapaan na’i lulik. Sebutan itu biasa digunakan untuk menyebut para raja tinggi di kampungku. Dia bukan raja. Lakunya saja sangat bertolak belakang dari para raja. Tidak pernah ada raja ataupun anak raja, juga semua yang tergolong bangsawan yang bergaul dengan kami. Tapi dia selalu bergaul dengan kami. Selain mengajar aku dan kawan-kawanku, dia juga sering membagikan obat kepada para penduduk. Itulah yang kami senangi dari dia. Ia datang ke kampungku seminggu sekali. Jadi belajarnya juga seminggu sekali. Dari dialah aku berani bercita-cita, tidak takut memiliki impian. Entah bagaimana dengan teman-temanku, tapi aku punya cita-cita. Hanya gubuk tua, selembar buku, pensil, dan badut yang terangnya tak juga mampu mengalahkan cahaya bintang, namun tekad di hatiku tidak surut.
Mungkin kau punya fasilitas yang lebih mendukung, lebih elit, lebih mewah, pokoknya serba lebih dariku, tetapi kita tetap punya sesuatu yang sama. Itulah impian. Ya…aku punya impian.
Bisa saja impianmu setinggi langit, mengejar awan, ingin menduduki bulan, menggapai matahari, menapaki bintang-bintang, mewarnai pelangi, mengurai tetes-tetes hujan, atau bahkan bisa saja ber-revolusi bersama planet-planet.
Aku hanya mau jadi seseorang yang berarti di bawah langit. Aku ingin saat awan masih berkejaran, matahari bersinar di atasku, ketika bisa menyaksikan bulan yang selalu berubah bentuk di setiap malamnya, kala menghitung jumlah bintang yang tiada akhirnya, menikmati indahnya warna pelangi, masih dapat merasakan dinginnya air hujan, sampai menanti munculnya planet baru setelah genapnya tahun cahaya, saat itu pun aku ingin menjadi seseorang, seseorang yang berarti. Tak seberapa artinya aku tak masalah. Setidak-tidaknya aku dapat memberi arti bagi hidupku, bagi diriku. Bila aku berarti bagi diriku dan mereka yang kucintai –ama, ina, dan tentu sapi-sapi gembalaanku- itu pun sudah cukup. Entah kau menganggapnya apa tapi bagiku itulah impian. “Bukankah setiap orang dalam hidupnya selalu berusaha agar dirinya berarti?” Inipun aku kutip dari dia, sang Na’i Lulik. Aku adalah anak kampung. Aku si penggembala sapi. Tetapi aku terus hidup bersama impianku, impian untuk jadi seseorang yang berarti.
Hari berganti, minggu pun terkelupas dengan sendirinya. Tak terelakkan lagi bila bulan menjumlah jadi tahun. Dia pun tidak lagi datang. Kudengar kabar kalau dia sakit berat. Kegiatan belajar kami berhenti seketika. Impianku kini ibarat mimpi di saat tidur yang panjang. Tapi aku tak lengah. Aku mendekap impianku erat. Aku selalu berbisik di telinga sapi-sapiku kala menggiring mereka ke padang bahwa aku punya impian. Ketika mereka sedang asik-asiknya melahap rumput-rumput hijau, aku menitipkan pesan pada alam lewat siulan suling bambuku bahwa aku punya impian. Bila petang tiba, aku berdiri di tengah-tengah padang sambil bersuit mengumpulkan kembali kawanan sapiku jadi satu kelompok. Aku mau agar mereka tahu siapa tuannya. Mungkin itulah artiku bagi mereka. Aku akan memilih seekor untuk kutunggangi, memeluk kayu bakar buat ina di atasnya. Bersamanya aku berjalan di depan yang lain, selaku penunjuk arah ke mana mereka harus kembali. Ini pun artiku buat mereka. Aku membawa sapi-sapiku kembali, tetap menggiring mereka dengan syair-syairku bahwa aku punya impian. Mungkin saja mereka tidak mengerti dan takan mengerti yang dilakukan tuannya tetapi impian itu tetap ada, impian menjadi seseorang yang berarti. Impianku bukan hanya mimpi. Impianku menyata di setiap waktunya. Hari ini aku menyatakan impianku sambil mendekap impianku untuk esok yang akan kunyatakan saat ia jadi kini.
Aku anak kampung si penggembala sapi. Aku punya impian. Impian untuk jadi seseorang yang berarti. Aku selalu mewujudkan impianku. Aku selalu menjadi seseorang yang berarti di setiap waktu.. Aku jadi orang yang berarti bagi diriku. Aku mengartikan diri sebagai seseorang yang berarti karena aku memang berarti bagi ina, ama, dan sapi-sapiku. Aku masih menanti kesempatan untuk menjadi lebih, agar artiku lebih berarti.
Penfui, 2010

SURAT UNTUK NATILIA

Cerpen CHRISTO NGASI

Sebelum matahari muncul dari belakang fajar, bunyi lonceng pertanda bahwa aku harus beranjak dari tidurku dibunyikan oleh seorang yang dipercayakan untuk mengawasi kami para tahanan. Aku menyempatkan diriku untuk memandang sebuah salib yang kupasang pada tembok berukuran 2x3 meter. Dari salib itulah aku mendapat kekuatan baru. Meskipun dalam penjara, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk dapat bertemu fajar pagi nan indah.
Bersama kedua temanku Aris dan Jack yang juga mendekam dalam tahanan ini, aku bergegas membereskan tempat tidurku dan mengenakan seragam penjara berwarnah hijau dengan tulisan tertera pada dada kiriku bernomor 135A. Nomor ini adalah nomor ganjil yang dikenakan kepadaku yang adalah nomor dengan tingkatan kejahatan. Sangat wajarlah bagiku untuk menempati ruangan pada blok A. Kalau saja ada yang pernah mendekam ditahanan yang sama pasti mengetahui para tahanan blok A. Aku juga melihat banyak pejabat yang mendekam di lembaga yang sama hanya berbeda blok denganku bahkan ada juga orang yang di dalam masyarakat dikenal sebagai panutan justru masuk dalam lembaga permasyarakatan ini dengan kasus pencabulan anak dibawah umur. Sungguh menyedihkan.
Aku bersama teman yang lainnya keluar dari sel tahanan itu. Tanpa alas kaki, kami melewati rerumputan yang berembun. Sungguh rasanya dingin menyegat kulit kakiku yang masih lemah termakan tidur. Kami semua harus berbaris dalam keadaan rapi meskipun kami masih mengantuk tapi itulah seorang tahanan.
“Semuanya sudah siap?” tanya seorang petugas
“Sudah siap pak” serentak kami menjawab dengan suara tenggelam
“kenapa suara kalian tidak ada yang keluar. Apa ada yang sumbat... Babi semua!!! Semuanya sudah siap! Kembali ia mengulang pertanyaannya.
“Sudah Pak”suara keras keluar bercampur emosi atas perkataanya kapada kami.
Kami disuruh berhitung secara bergiliran. Sala seorang tahanan tidak mengikuti barisan. Aku disuruh untuk mencari tahu dan ternyata benar seorang tahanan yang bersebelahan kamar denganku yakni Pak Yono tidak ikut berbaris karena sakit. Pak Yono adalah tahanan dari blok B yang dipindahkan ke Blok A dikarenakan blok B telah penuh dengan para tahanan dalam kasus yang sama yakni Korupsi. Salah seorang petugas menyusul mengikutiku dan melihat keadaan Pak Yono.
“Hoe kamu sakit apa ha???”tanya dengan suara keras
“sakit kepala”Jawab pak Yono dengan kesakitan
“Oh sakit kepala??? Semua tahanan diluar sana juga sakit kepala. Tidak ada yang istimewa disini. “Cepat bangun dan ikut barisan.”
Pagi itu kami diabsen satu persatu sesuai blok yang kami tempati. Sambil menunggu makan pagi kami membersihkan taman di tengah LAPAS itu. aku memandang mawar merah yang baru bermekaran. Aku dekati dan mencium keharuman mawar itu. Teringatlah aku akna rumahku dimana mawar merah berjejer di taman. Keharuman mawar yang sama dengan harum parfum milik istriku Elma. Apalagi puteriku Natalia yang adalah puteri satu satunya yang Tuhan anugerahkan padaku. Orang pasti bertanya mengapa aku harus masuk penjara. Aku sadari ini adalah masalah dalam rumah tanggaku yang berujung pada perceraian. Masalahnya cukup sepele tapi menjurus pada perselingkuhan yang aku sendiri baru ketahui ketika membaca SMS yang tertulis pada hand phone milik isteriku. Hubungan yang tertutup dan tersusun rapi hingga enam bulan berlalu dan aku baru tahu. Sebenarnya aku tidak sampai hati untuk memukul isteriku ketika ia meminta aku untuk segera menceraikannya tetapi sebagai seorang suami aku terlalu marah dan akibatnya harus mendekam di jeruji besi. Ini adalah kisahku yang hampir mirip dengan Aris dan Jack. Aris dinyatakan bersalah karena menghamili isteri seorang pejabat, sedangkan Jack karena kasus pengedaran narkoba.
Keharuman mawar itu terus mengingatkan aku akan memori lama yang masih tersimpan rapi dalam album pernikahan.
Malam datang menyelimuti tidurku. Aku sadar dan mengambil foto nikahku. Saat itu Natalia belum hadir ditengah aku dan Elma isteriku. Aku memandang foto Natalia, gadis kecilku yang hanya mendapat separuh kasih sayang dariku. Meskipun tertunda aku berjanji untuk senantiasa membahagiakannya.

* * *

Tiga tahun sudah aku mendekam di lembaga ini. Sebentar lagi tahun berganti dan menyisahkan waktu setahun untuk aku menghirup udara segar. Selama aku mendekam di penjara ini baru tetangga, orang tua serta kawan-kawanku yang menjenguk aku. Sedangkan Elma dan Natalia anakku tak kunjung datang. Aku terus merindukan mereka untuk terus ada bersamaku walau hanya semenit, tapi itu waktu yang terlalu lama juga untukku. Aku ingin mengucapakan selamat ulang tahun dan selamat hari Natal kepada mereka berdua. Tetapi ucapanku tertunda untuk sementara waktu.
Aku membayangkan kalau mereka yang diluar sana bisa merasakan seperti yang aku rasakan di dalam penjara. Betapa sakit kalau aku katakan, tapi apalah mereka hanyalah manusia biasa yang kurang peka terhadap orang semacam kami yang harus merasakan hukuman yang setimpal akibat kesalahan. Tapi aku senantiasa berkata kepada Aris dan Jack bahwa kelak kita akan menerima surga abadi akibat salah kita ini. Hanya sekedar motivasi supaya mereka kuat dalam cobaan ini. Hanya tangis penyesalan yang dapat menggambarkan hati mereka untuk bertobat kembali kepada Tuhan. Mereka sungguh menyesal dan ingin bangkit dari kesalahan untuk mengubahnaya di hari esok. Namun satu ungkapan yang begitu bermakna yang aku petik dari ungkapan Aris. “Apakah kita sadar ketika kita berada disini?” Ungkapan ini terus aku refleksikan selama dalam tahan.

* * *

Sekitar tiga tahanan telah dibebas dari penjara. Rasanya ingin cepat keluar, namun harus bertahan dengan sisa waktu. Terdengar di telingaku di balik tembok kamar penjaraku. Suara nyanyian yang bersumber dari tape recorder milik seorang penjaga penjara. Nyanyian Natal yang memecahkan kesunyian malam. Aku kembali berbaring dan mebayangkan Natalia puteri semata wayang yang lahir di bulan Desember tahun 2000. Aku meneteskan air mata dan merasa sedih karena aku sungguh terasing seakan berada di padang belantara. Aku serasa tak ada kekuatan lagi, pupus ditelan sang dosa. Hatiku hancur merasa memiliki tanggung jawab ketika suara tajam seorang gadis kecil membacakan puisi si tengah lirik lagu Natal itu. Puisi ungkapan hati rindu akan kampung halaman dan keluarga. Sungguh sakit.
Aku menghadirkan suasana Natal dalam kamarku. Sebatang lilin sudahlah cukup sebagai penerang hatiku. Aku berdoa dan mengucapkan syukur atas kasih Tuhan kepadaku. Aku mengambil sehelai kertas putih tak bernoda dan menuliskan ungkapan selamat hari Natal buat gadisku Natalia Anastasia. Dengan satu harapan aku pun menulis ucapan selamat buat anak tercinta Natalia. Nantikan ayah setahun lagi ayah akan mendapatkan kamu di usia yang ketujuh. Dalam kartu Natal itu aku berjanji bahwa aku akan hadir dalam acara ulang tahunnya. Tahun pun berganti tak sadar bahwa aku akan segera dibebaskan dari penjara akibat kekerasan dalam rumah tangga. Aku dipanggil petugas bersama kelima tahanan lainnya yang salah satunya adalah Aris. Wajah kami berseri-seri, merasa senang karena tinggal sebulan lagi kami akan menghirup udara segar tepat pada tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan RI kami pun dibebaskan. Dari kelima tahan itu hanya aku yang tidak dijemput oleh keluarga. Aku tahu bahwa keluarga hari ini tak mengetahui kalau aku dibebaskan dari penjara.
Aku kembali sedang Ibu serta Ayahku sedang menantiku di depan teras rumah. Aku tak menyangka mereka tahu bahwa hari ini aku dibebaskan. Aku sadari bahwa keluargaku pasti malu memiliki anak sepertiku yang mengotorkan nama baik keluarga. Aku bahagia dapat kembali berkumpul bersama keluargaku namun betapa sedihnya aku ketika mengetahui istriku Elma dan anakku Natalia telah pergi tanpa diketahui kemana arah mereka.
Aku bebas tapi tak sebebas sepenuhnya. Kerinduanku untuk bertemu Istri dan Anakku menjadi kenangan yang mungkin akan terjawab setelah mereka kembali nanti. Bulan berlalu dan aku tetap menanti mereka. Satu keputusan salah telah aku ambil dengan menjual rumah yang pernah aku bangun untuk keluargaku. Harapanku pupus. Menanti dan menanti tanpa ada satu berita yang memberiku harapan. Aku ingin mencari namun tak tahu harus dimana. Aku mencoba menghubungi nomor hand phone milik Elma namun tak pernah tersambungkan. Aku ingat bahwa aku pernah mengirimkan kartu natal buat Natalia dan aku yakin mereka telah membacanya karena saat Elma dan putriku Natalia masih menghuni rumah tempat dimana kami membina rumah tangga kami. Aku ingin melupakan tapi tak bisa akhirnya dengan kekuatan tersisa aku mengambil album kenangan saat pesta pernikahanku. Aku membalik dan menemukan satu bait puisi yang ditulis oleh Elma istriku yang berbunyi;
Diamlah hatiku tetaplah diam sampai pagi.
Siapa yang menanti pagi dengan kesabaran
Akan menemukan pagi dengan keceriaan.
Diamlah hatiku aku ingin bicara.
Maafkan atas kesalahanku.
Istrimu Elma.
Mengapa aku harus menemukan kata ini. Aku serasa ingin mati ditelan cobaan ini. Aku mengambil secarik kertas dan menulis buat anakku Natalia “ Maafkan Ayah Natalia anakku karena ayah tak dapat bersamamu saat kebahagianamu dihari natal dan saat usiamu bertambah. Maafkan Ayah”. Kartu itupun kulanyangkan bersama arus lautan dibulan Oktober. Aku tetap menantikanmu istri dan Anakku.

Saint Michael December 2007
Untuk yang menanti tulisan ini.
MEMOAR PENGGALI MANGAN

HERMAN BAU RUA’

Kampungku terkurung batu berbentuk ceruk tubuh, semacam lekuk pinggang perempuan tujuhbelasan, tentunya perempuan batu. Lekuk tubuh itu kini sudah penuh borok dan coreng sana-sini. Karena di situlah kami menghujani linggis, mengayun palu, mempertaruhkan urusan perut, rokok, garam, dan uang sekolah anak walau harus mencederai kemolekan tubuh alam kami. Tebing yang tegak menantang menggerakkan kami seisi kampung untuk tegak bergulat sebagai si penantang-meski tak pernah memberi pendapatan yang cukup. Maklumlah kami hanya pekerja, meski pula batu-batu itu kami yang punya namun untuk membuatnya laku kami butuh juragan batu dari kota. Soal harga entalah. Kami tak terlalu tahu, mungkin tak peduli, kalau pun peduli tak cukup berguna, hanya menambah kecewa dan sakit hati. Di kota pasti harganya melipat empat kali ketimbang di sini.
Tapi kami mesti berpasrah diri, sebagaimana kami memasrahkan lekung punggung kami dan isteri kami terbakar sinar matahari, tangan kapalan tak pernah berhenti meruntuh dan memalu. Dan tangan-tangan kami pun kasar-kasar, kulit kami keras seperti hidup ini yang memang begitu keras, keras seperti batu. Bahkan perempuan-perempuan kami juga teramat tahan menghadapi kerasnya batu. Setiap batu yang runtuh, mereka pecah menjadi kerikil-kerikil kecil hingga bak truk terbuka berderak-derak mengangkutnya ke kota, meninggalkan lenguh debu di jalan tanah berbatu.
Seperti yang ku katakan tadi. Hidup kami begitu keras, seperti batu ini, batu mangan yang katanya batu yang paling keras dari sekian banyak batu di muka bumi, batu yang menjadi cikal-bakal biji besi dan baja. Sudah begitu kami lantaran dicap masyarakat miskin maka harta bergelimang mungkin bukan dunia kami. Dari lahir sampai dalam liang kubur pun cap ini tak pudar-pudar. Padahal kalau mau dibilang alam kami kaya dan indah. Banyak barang mentah, kayu, marmer, jagung, padi, dan terkahir ini mangan. Kini akan ku ceritakan kepadamu kenapa hidup kami tak kenal lembut. Kenapa kami terus dicakar jemari kasar kemiskinan.
Pertama-tama aku hendak katakan kami ini kaya, hanya kami tak tahu urus harta, maka kami diperbodoh dan harta bumi kami terus digerus tanpa apa-apa yang kami dapat. Yah bahasa kasarnya kami dirampok. Walaupun tahu, kami hanya bungkam karena lidah kami telah kelu bagaimana cara merangkai bahasa hukum, bisnis, apalagi politis. Kadang dengan kelelahan yang luar biasa tapi tidak diutarakan, tidak dikeluhkan. Kami terbiasa diam. Hal yang paling penting harus bekerja. Sebab kalau tidak kami miskin, kalau miskin kami diperlakukan bukan sebagai manusia. Bahwa setelah bekerja pun tetap miskin, tak apa-apa, kita mengisi hari-hari dengan berbuat sesuatu.

***
Dulu kami tak kenal mangan. Kalaupun kenal itu hanyalah batu yang paling tak berarti. Batu-batu itu berserakan begitu saja tanpa seorangpun peduli. Kami mulai kenal mangan berkat jasa seorang juragan. Waktu itu hari masih buta. Sebuah pick-up berwarna hitam memasuki halaman kampung kami. Gembala memapah ternak ke padang. Ibu-ibu sibuk menimba air untuk masak makan, biasanya ubi, jagung, dan beras kalau masih ada raskin-beras miskin. Aku duduk menanti siapa yang turun dari balik pintu mobil itu. Ternyata seorang juragan, bercelana pendek yang digantung saja di bawah perutnya yang buncit besar.
“Bapak!!” kata sang bos sambil menunjuk sampel sebongkah batu mangan. Lanjutnya, “selama ini kalian tak tahu ternyata batu ini bisa menghasilkan uang. Di kampung ini banyak kandungan mangan. Ayo sekarang kalian mengumpulkan mangan dan saya yang membelinya.“ Tak sampai siang datang seorang lagi. Kali ini dengan sebuah truk besar. “Kalian akan kubayar dengan harga lebih tinggi.“ Truk itu berlalu dan datang lagi seorang juragan lain. Begitulah kira-kira sampai lima calon pembeli dengan potongan harga dan janji yang berbeda. Ini persaingan kapitalis. Tandanya kampung kami cukup potensial soal mangan, ibarat bunga bersari madu yang menarik banyak lebah berdatangan.
Masyarakat kami termakan umpan. Bukan termakan tapi begitulah seharusnya kami, setiap ada kesmpatan kerja yang mendatangkan duit kami ladeni. Menggali mangan ibarat tak lagi menabur, menyiangi, tapi langsung menuai. Kepincut mendapat rupiah, berhari-hari kami mencari mangan. Kami beralih profesi dari petani musiman menjadi penambang. Ini lahan kerja menjanjikan. Kami menghujam linggis di dada bumi kami berpijak, hingga sedalam kubangan besar. Memburu mangan di mana saja terselib di tanah penuh gairah. Sekilo kami dapatkan setelah memeras keringat berulang kali. Dari hasil penjualan kami membeli kebutuhan dasar, garam dan sedikit ikan kering.
Berhari-hari dari matahari terbit sampai terbenam kami bekerja keras, jemari kami terus saja mengais-ngais seperti induk ayam mencari makan. Kalau pulang ke rumah itu hanya untuk istrahat malam. Isteri-isteri yang seharusnya di rumah memasak, dan mengurus anak tak kalah ngototnya seperti suami-suami mereka sehingga otot-otot mereka yang sejatinya lembut dan ranum ikut membatu. Kalau pulang malam, mungkin suami dan isteri tak tahu lagi bercinta. Apa daya hasrat, sekujur tubuh lelah, sakit, memar, nanar. Gairah telah kami tumpah untuk pecahkan batu. Kami ini penggali mangan. Hamparan bukit yang seharusnya indah kami corengi, luka oleh hujaman besi penggali. Perut bumi kami tak kosong-kosong seakan ia muak akan tingkah kami sehingga tak habisnya memuntahkan mangan. Kami senang tanah kami kaya. Untuk kesejahteraan kamilah bumi ini tercipta. Tanah kami pijaki ini pasti menangis ditikam, digerogoti, namun syukur ia tetap dermawan.
Mangan tak lebih dari bencana bagi kami. Alih-alih mengurangi kemiskinan, kami malah semakin terjerabab dalam kubangan maut yang kami gali dengan sepuluh jari kami sendiri. Kami buat kubur sendiri, dengan tangan sendiri. Hingga akhirnya banyak nyawa laki-laki dan perempuan terenggang lemas oleh himpitan reruntuhan tanah dan batu. Setiap hari selalu ada korban, sekurang-kurang luka atau memar di otot. Tak ada obat, paling banter kami memamah daun lamtoro, kunyit dan beras mentah mereda nyeri. Hidup kami keras, keras seperti batu tapi tak pernah mengalah, kami lawan dengan otot kami sendiri. Biarpun darah kami tumpah, urat-urat putus dan terlepas, tulang-tulang kami remuk, kami tetap berotot melawan. Kami memar tapi tak pernah mekar.
Bertahun-tahun kami mengali mangan. Berton-ton terjual tapi kami tak pernah terbit sejahtera. Lalu kami bekerja untuk siapa? Perut bumi kami semakin tak berisi seperti perut kami yang tetap keroncong, ternak-ternak kamipun mengurus, hanya anak-anak kami yang buncit, mungkin busung lapar. Sory tak cukup makanan untuk tubuh mereka karena telah dirampas cacing-cacing dalam perut. Di perut siapakah mangan-mangan itu termakan. Lalu cacing macam apakah ini yang tak tahu kenyang menghisap sari-sari tubuh kami dengan serakah?
Kemarin masih saja ada nyawa yang melayang Lala dan Moy-Suami dan isteri sekaligus. Kasihan anak mereka hanya menangis meratap ayah dan ibu ditelan bumi sendiri dengan darah yang merembes dari balik permukaan tanah. Tragis! Banyak yang sudah menjadi martir, yah martir mangan. Bukankah demikian? Urat nadi kami pecah dan darah kami harus tumpah barang menyejukkan hati oranglain? Tapi apa ada manusia yang haus darah. Akhh mereka itu bukan manusia, mereka dracula, mereka vampir dalam kisah klasik film-film holywood, atau paling tidak mereka seperti suster ngesot yang terus meminta tumbal.
Hidup kami akan tetap keras bila terus begini. Sampai orang sekampung ini matipun darah mereka tak bisa melunakkan hidup ini. Kami terpaksa menengak realitas bertuba ini sampai liang lahat. Maaf kami jangan terus diperbudak. Kami sudah muak. Kami tidak sudi lagi. Tolong dengarkan suara rintihan kami yang berseru dari hamparan ladang-ladang kering, suara kami yang nyaris lenyap di alur-alur terowongan penggalian. Kalau kalian masih bertelinga. Kenapa diam saja? Ataukah hati kalian juga telah membatu, membatu seperti mangan-mangan ini?
Akhirnya kusadari hidup kami akan terus keras, keras seperti mangan-mangan ini. Bila dihantam besi sekalipun hanya pecah, menyisahkan kerikil terlepas dan deru debu hitam yang menelusup ke dalam paru-paru. Mustahil bermimpi jadi lunak apalagi encer. Kami para penggali mangan hanya menyerukan nadar ini, “ami foti netik liman” (Kami hanya mengangkat tangan), dan “kaliuk ami atu tanis hodi tutur liman, ami mos hatene, ami atu hamara ami kan lun du’uk” (Jika suatu waktu kami terpaksa menangis sambil menjunjung tangan di kepala, kami pun tahu bahwa kami akan mengeringkan air mata kami sendiri).* Ini nadar yang telah kami patri di putih tulang-tulang kami dari nenek moyang mungkin sampai anak-cucu.
*Kata-kata adat Belu, disadur dari Cerpen Gerhana Cinta di Besak Manis karya Rosindus Tae dalam Mendaur Badai Menepis Resah. Yogyakarta: Pustaka Nusatama. 2006. hal. 60.
Komunitas Sastra St. Mikhael Penfui –Kupang
(Unit Gloria)

Cerpen

MENUNGGU

Fr. Deo Parera dan Fr. Adnan Berkanis

Remang senja makin karam. Saban hari yang lusuh telah pergi bersama sejuta aktivitas. Dan kini pekat mengganti segala. Mengganti lelah, mengganti sepi dan mentari pula. Sebab, masih ada hari esok. Agar dengan gairah baru, boleh menempuh lagi tugas lain. Memang tak seberapa untuk hari ini. Tapi tak apalah. Tenaga pun butuh dibarui. Perlu ditambatkan.
Seorang ibu tampak lusuh menjejakkan kakinya di halaman depan rumahnya. Walau belum senja umurnya namun keadaan dan situasi kampung kumuh itu memaksanya demikian. Bilang saja, kampung yang keadaannya jauh dari kota, penuh kekolotan, jaringan sinyal tak terjangkau, terisolasi karena banyak alasan menjadi alasan kuat untuk menjadikannya ketuaan. Semuanya sederhana. Katakan saja, sarana di desa yang belum memadai. Bukan saja ibu itu, bahkan penghuni lain di kampung itu pun terlihat tua sama hal sepertinya. Sayang, kampung kumuh di zaman postmodern ternyata ini bukanlah hal yang mentereng.
Reringkik jangkrik perlahan terdengar memanjakan. Ibu itu terlihat sedih dari roman keriputnya seolah masa lalu terkuak. Entahlah apa yang dipikirkan. Bersamaan waktu yang mengulur memaksanya menikmati kelelahannya bersama hari. Bias-bias matanya terlihat polos. Polos pada sebuah keputusan. Pada buah-buah hatinya yang harus direlakan untuk pergi. Pergi mencari sebuah tujuan, sebuah kemapanan, sebuah cita-cita. Kini semuanya akan pergi meninggalkannya seorang diri hanya demi mengais ilmu. Kelak yang menjadi impiannya pula dicapai. Itulah sedikit alasan. Bagaimana mencintai. Mencintai anak-anaknya sampai harus merelakan mereka untuk pergi.
Senja makin mekar. Malam pun menguntit mengikuti. Ia masih sendiri di sebuah rumah mungil bangunan kusam sejak zaman penjajahan Belanda. Dengan tatapan kelam, ia seakan berterus terang untuk mengingat mereka satu persatu.
Roy. Ya, anak lelaki keduanya. Delapan tahun yang lalu hendak pergi. Dipikirnya inilah jalan terbaik yang ditempuh untuk sebuah tujuan, sebuah kemapanan, sebuah cita-cita.
“Bu, maaf ya. Mungkin ini terlalu membebankan keluarga kita. Tapi apa masih boleh saya sebagai laki-laki harus terus tinggal di rumah? Atau saya harus pergi dari rumah? Saya pikir jalan terbaik yang ditempuh untuk membantu keluarga kita hanya dengan keharusan saya pergi”
“Roy, apa maksudmu?” sela ibunya mendecak kalut dengan raut wajah dingin ingin memastikan apa yang sebenarnya Roy maksudkan.
“Ah, ibu. Saya kan sudah besar. Tidak baik kalau saya harus tetap nganggur di rumah saja. Bisakah ibu mengizinkan saya untuk pergi mencari kerja di tanah orang. Kan lebih baik. Daripada harus terus di sini. Ibu kan tahu kita tak punya apa-apa. Makanan saja susah, urusan biaya keluarga apa lagi. Bu, aku harap ibu mengerti. Aku tak memaksa. Terserah apa keputusan ibu. Aku terima” jelas Roy penuh harap. Mudah-mudahan ibunya mengerti dan mengabulkan permintaannya. Karena tak ada jalan lain selain jalan satu-satunya menjadi perantau. Ia bersepakat bukan paksaan walau sifatnya terpaksa. Tapi itulah tekadnya demi Bunda, keluarganya dan dia.
“Roy, kamu belum bisa jadi perantau. Karena kamu masih terlalu muda. Ingat Roy, orang yang merantau itu karena tak punya tanah untuk tinggal apa lagi untuk hidup. Makanya mereka merantau. Tapi sayang, kita tidak seperti mereka. Kita punya tanah. Tanah yang bisa menghasilkan sesuatu yang berguna untuk keluarga kita. Kau tahu itu kan. Hanya sekarang bagaimana kita mengolahnya dengan baik”
“Ibu.......”
“Roy, ibu tahu apa yang kau mau. Yang mungkin demi masa depan keluarga kita. Ibu hanya takut kau menderita di tanah rantau. Tapi ibu tak melarangmu. Hanya saja kalau itu maumu ibu setuju. Asalkan ingat selalu keluarga kita kalau pergi. Menjadi perantau bukan barang biasa. Coba kau lihat tetangga-tetangga kita di sini yang pergi dan kembali tiada bedanya. Sama saja. Ini bukan berarti ibu memaksamu supaya pulang bisa bawa apa-apa. Tapi, ibu hanya berpesan, jaga dirimu baik-baik anakku. Ini maumu jadi pergilah dengan kehendakmu dan kembali pun demikian”
Roy tak mengira ibunya sebijak ini. Maklumlah orangtua. Hidup di usia senja seperti telah tiba di puncak keabadian. Punya takdir tersendiri dalam mengambil langkah. Tetesan keringat masa lalu dan keriput di wajahnya membuat mereka seolah dedaunan yang menguning di atas pohon. Ia telah menerima semua pada apa yang dinamakan mahkota kehidupan. Sejauh ia masih hidup petuah-petuahnya lahir sebagai sumber yang memberi gairah. Dan sejauh itu bagian dari kekuatan.
“Terima kasih ibu. Aku jamin apa yang ibu katakan. Aku janji !!!” tutup Roy lekas pergi dari ibunya.
Pandangannya tak terelakan sedikit pun. Hanya untuk melihat anaknya terakhir kali. Perlahan-lahan figur kesayangan itu hilang ditelan kejauhan. Tak sanggup terjangkau mata yang kian peluh. Tetesan kristal berjatuhan membasahi pipi sang ibu. Tangisannya mengiringi kepergian anak kesayangannya. Pergi demi sebuah kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan yang masih bayang-bayang semu. Ia tak menyangkal rasa sayangnya kepada anak-anaknya itu. Tak juga sampai hati harus merelakan.
Delapan tahun sudah. Tak ada kabar dari Roy semenjak kepergiannya. Tak ada selembar surat pun yang beralamatkan buat ibu tercinta. Namun, ia percaya bahwa anaknya Roy bukan anak sembarangan. Atau apalah yang lain. Roy hanya anak kampung yang tahu adat di mana pun ia berada. Biar jauh sekali pun.
Tak dinyana, anaknya Ria pun demikian. Ia pun pergi ke kota. Alasan yang sama hanya demi sebuah cita-cita. Memang bukan sebuah keputusan yang gampang. Bagaimana mungkin buah hati dari rahimnya direlakan pergi hanya karena kebutuhan keluarga memaksa. Logis. Tapi itulah keluarganya. Tanpa apa-apa. Sama sekali hampa. Sebagai seorang ibu bagaimana pun satu hal yang pasti yaitu memperjuangkan masa depan anak-anaknya. Itulah alasan yang paling tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Ria pergi dari rumah tujuh tahun kemudian setelah kepergian kakaknya, Roy. Waktu yang sangat lama bagi seorang yang sangat disayangi. Setelah berada di Kupang, kota Karang tempat ia mengenyam pendidikan. Ia pun mendengar kabar tentang Roy, kakaknya. Syukurlah Roy masih mengabarkan keadaannya tanpa beban selain baik-baik saja.
Bagi Ria, harapannya selama ini ternyata tercapai. Dengan handphone yang dimilikinya entah dari mana kakaknya tahu nomornya. Roy pun menginformasikan bahwa ia telah berkeluarga dan sekarang sudah memiliki satu anak. Ria begitu bahagia saat mendengar kabar yang demikian mengejutkan.. Mumpung niat baik selalu mendatangkan harapan. Dan harapan selalu berpilihan. Tentang masa depan atau sebuah kesuksesan. Baik Ria maupun Roy masa depan dan kesuksesan itulah tujuan. Demi membuat bunda kembali tersenyum.
Sebuah liburan panjang tiba, sebagaimana biasa Roy selalu menelepon Ria, adiknya. Bercanda seadanya dan bercerita panjang lebar bagaimana nantinya bertemu bunda. Tentang masa lalu di kampung bersama bunda yang agak lucu dan tentang semua yang pernah terjadi. Bagi Roy pulang ke kampung halaman adalah pilihan pertama dan terakhir. Tak ada lain. Sebab, yang ia impikan telah ia capai. Kepada Ria, adiknya ia selalu berpesan untuk pulang. Dan Ria dengan senang hati mengiyakan maksud hati kakaknya.
Ternyata liburan panjang tahun ini pun ceritanya agak lain. Bunda sendiri juga telah mengetahui kabar tentang Roy. Bunda senang bukan kepalang. Membayangkan anaknya, Roy yang sukses di negeri orang. Tapi, ibu yang tampak lusuh itu seolah menyembunyikan sesuatu di wajahnya. Ria tak pernah tahu kalau-kalau ibunya telah berfirasat akan terjadi sesuatu pada diri kakaknya.
“Kakak, kebetulan sekali. Ibu sekarang ada di Kupang. Kak bicara dengan Bunda saja ya.....” pinta Ria dengan girang bisa mempertemukan kembali Bunda dan Roy. Pertemuan yang meski tanpa tangan berjabat, peluk memeluk, wajah saling bertatap. Syukurlah. Sembari menyerahkan handphone kepada Bunda yang sedari tadi menunggu gilirannya untuk berbicara dengan Roy, anaknya itu. Perlahan terdengar suara kerinduan dari kejauhan. Sang Bunda tersenyum kecil berbangga. Pembicaraan hangat yang hampir-hampir tanpa akhir. Pembicaraan tampak mengasyikkan. Seolah mutiara dari Bunda ditemukan kembali. Selama beberapa jam Bunda Ria menghabiskan suara dan derainya hanya pada Roy. Ia menangis karena telah menemukan kembali anaknya yang lama termakan jarak. Sembari bercerita, sang Bunda meminta Roy agar kembali ke kampung halamannya di waktu liburan mendatang. Roy dengan senang hati membalas Bundanya dengan berjanji bahwa ia akan pulang.
****
Liburan di bulan Desember pun tiba. Sebuah liburan yang ditunggu-tunggu oleh keluarga Roy. Sesuai rencana, Ria dan Bunda harus menunggu Roy di Kupang. Namun, sudah seminggu hujan masih mengguyur dan tak mengenal kata berhenti. Keadaan di kampung justru lebih parah lagi. Kondisi inilah yang membuat Bunda dan Ria tidak bisa ke Kupang. Hujan tahunan yang memperparah jalan ke kota yang masih beraspalkan tanah. Mobil tak bisa ke kampung. Kondisi seperti ini biasa. Sejak zaman Indonesia merdeka.
Bunda dan Ria menunggu di kampung saja. Di saat makan malam Ria bertanya kepada bundanya kapan Roy, kakaknya akan datang. Berselang beberapa menit kemudian terdengar suara sebuah sepeda motor dari arah kejauhan yang sempat mengejutkan ibu dan anaknya itu. Tiba-tiba sepeda motor itu berhenti di depan halaman rumah mereka. Siapa yang datang malam-malam begini, pikir Ria.
“Bu, siapa mereka?”
“Sepertinya motor pegawai kecamatan” pinta ibu yakin. Deru mesin motor seperti ini hanya milik pegawai kecamatan.
“Kenapa mereka datangnya malam-malam begini?” tanya Ria ingin tahu. Kemudian bunyi pintu diketuk.
“Ria, buka pintunya. Mungkin ada tamu”
“Eh... Pak. Silahkan masuk!! Minta maaf kami sementara makan. Silahkan Pak, langsung kita sama-sama makan saja” ajak Ria setelah dilihatnya seorang pegawai Kecamatan Pak Rony, namanya.
“Ah, maaf Ibu. Saya sedikit mengganggu” imbuh Pak Rony. Pak Rony melanjutkan “ada berita yang harus saya sampaikan. Kami baru saja mendapat telepon dari keluarga yang berada di Kupang. Ah,......” Pak Rony tidak bisa melanjutkan.
“Memangnya ada berita apa Pak?” tanya Bunda penuh penasaran.
“Maaf Bu mungkin ini menyakitkan. Tapi, saya harus sampaikan bahwa anak Ibu, Roy telah meninggal dunia. Meninggal tadi pagi, jam 08.00”
“Anak saya??? Roy??? Meninggal??? Tidak mungkin!!!” suara Bunda ingin memastikan. Namun suaranya perlahan meredah tak kedengaran. Sontak Bunda jatuh terpekur. Pingsan. Ria pun demikian. Pak Rony segera memanggil tetangga-tetangga di sebelah rumah. Mereka pun datang membantu. Tak lama kemudian, Ria yang lebih dahulu sadar dengan parahnya berteriak histeris. Sambil menangis, ia memanggil-manggil nama kakaknya itu. Bunda pun demikian. Beberapa saat sebentar, kembali sadar. Lalu menangis. Malam itu adalah malam kelabu di kampung itu. semua keluarga berdatangan setelah mendengar berita tentang kematian Roy di negeri seberang, Bali. Tempat rantau Roy sejak delapan tahun lalu.
Tak ada yang perlu ditangisi lagi. Bagi Bunda apa yang telah terjadi dirasakan kini betul terjadi. Getaran hatinya telah lebih jauh membahasakan masa suram Roy, anaknya. Dan bagi Ria, bersama siapa lagi untuk membahagiakan Bunda? Buat Bunda tersenyum. Jalan akhir yang ditempuh adalah menunggu kedatangan jenazah Roy tercinta. Ternyata, akhir bukan jejak akan berganti tapi menjejakkan kaki pada jejak yang sama. Menunggu adalah babak terakhir dari jejak itu. Sialan.
Ia tak tahu harus memulai kisahnya dari mana dan berakhir di mana. Remang-remang makin memekar. Itukah ia sebagai seorang ibu? Yang mencintai sampai merelakan? Yang setia menunggu? Ia berdiri mengusap air matanya lalu pergi.

Saat ret-ret; ketika ia membisikkannya pada kami.
Sint Mikhael 2011
PELATIHAN BINA IMAN ANAK DI SEMINARI TINGGI ST. MIKHAEL PENFUI
BIARKANLAH ANAK-ANAK ITU DATANG KEPADA-KU…

Oleh:
Fr Arky Manek & Fr Amanche Franck Oe Ninu

Pagi gerimis, Kamis 20 Januari 2011. Cuaca pagi ini tak menghalangi suasana hati kami, frater-frater teologan Seminari Tinggi St. Mikhael untuk tetap bergembira ria. Kami bergembira dalam nada dan gerak saat mengikuti pelatihan Bina Iman Anak (BIA) oleh Tim utusan Sekolah Bina Iman Shekinah dan Pembaharuan Karismatik Keuskupan Agung Jakarta di Aula Seminarii Tinggi St. Mikhael Penfui Kupang.
Romo Subroto Widjojo,SJ, ibu Rosa Untadi, kakak Lia Susanti dan kakak Sinta Soerio. Inilah nama-nama manis tim pendamping yang kami kenal di awal perjumpaan. Mereka memiliki semangat juang yang tinggi sebagai pewarta.
Lautan nan luas mereka sebrangi dan deretan pulau-pulau mereka lintasi. Mereka meninggalkan kota Jakarta menuju kota karang ini guna meningkatkan semangat, kreativitas dan kualitas kami sebagai pewarta sabda Tuhan kepada anak-anak.
Usai perkenalan, kami buka kegiatan ini dengan perayaan ekaristi. Romo Subroto yang memimpin perayaan ini. Di usia senjanya, Romo Subroto tetap semangat ketika memimpin perayaan ini. Semangatnya turut merasuki kami semua hingga kami tak menghiraukan aksi protes perut kami yang berkeluh-kesah karena rasa lapar.
Sore, pukul 16.30. Setelah beristirahat sejenak, kami semua kembali berkumpul di Aula untuk memulai kegiatan pelatihan.
Lima, empat, tiga, dua, satu. Terdengar suara manis kak Lia mengisyaratkan semua peserta harus sudah berada di tempat duduknya masing-masing.
Inilah hitungan yang terus kami dengar setiap kali, ketika hendak mulainya kegiatan guna menghindari korupsi waktu (Jam karet) yang sudah menjadi kebiasaan buruk kita yang turut menghambat kemajuan negeri ini.
Dalam hitungan detik beberapa teman yang masih mengayun lamban langkah kakinya sudah berada di kursinya dengan nafas yang ngos-ngosan. Kegiatan pelatihan sore itu pun dimulaii hingga malam hari.
Selama hampir seminggu kami tenggelam dalam dinamika kegiatan ini dari pukul 08.00 pagi hingga malam pukul 21.30. Banyak materi yang kami dapatkan, permainan dan lagu yang kami pelajari dari keempat pendamping kami.
Romo Subroto mengajarkan kami akan pentingnya pastoral anak, bagaimana mengenall potensi diri, bagaimana mengenal perkembangan jiwa anak dan kitab suci sebagai sumber bina iman anak. Kak Lia mengajarkan kami akan motivasi dan spiritualitas pembina, teknik bercerita, serta bagaimana mengelolah bina iman yang baik. Kak Sinta memberi penjelasan tentang tanggung jawab seorang pembina, gerak dan lagu, serta praktek membuat permainan. Oma Rossa mengajarkan kami tentang alat peraga dan praktek pembuatannya, bagaimana memimpin permainan serta cara membuat program yang kreatif dan inovativ.
Banyaknya materi yang diberikan ini tidak membuat kami jenuh. Hujan yang terus mengguyur selama seminggu dengan lebatnya siang dan malam pun tak menjadi halangan bagi kami. Sebab selain materi-materi yang sarat nilai ini kegiatan selalu diselingi dengan yel-yel, aneka macam tepukan, permainan, lagu-lagu dan pantun.
Ada yel-yel hoe kaka hoe adik, senyum do, penting ko ala flobamora. Ada tepuk diam, tepuk ubi kayu bakar, tepuk sate, tepuk salut, tepuk cinta, tepuk taat, tepuk anak domba, tepuk kesaksian. Ada permainan susun huruf dan gambar, menulis bahasa cinta, cahaya Kristus, mengusung balon, dan estafet karet tangan. Ada pula lagu-lagu dan pantuan hasil kreativitas kami untuk anak-anak.
Enam hari ini pun menjadi istimewa bagi kami anak-anak Seminari Tinggi St. Mikhael. Kami bermain, bernyanyi, dan menari layaknya anak-anak. Animasi-animasi ini membuat kami semua tertawa ria bercampur rasa lucu. Ada yang tertawa geli ketika bernyanyi seperti anak-anak. Ada juga yang terlihat kaku ketika meniru suara dan gerak-gerik anak-anak.
Seorang teman kami di penghujung kegiatan ini sempat berceloteh
“Sulit ya menjadi pembina anak-anak. Kita harus seperti anak-anak walau bukan kekanak-kanakan seperti kata kak Sinta. Saya pun spontan menjawabnya,
“Sulit su ma. Tapi jang lupa, tadi katong su ucap janji setia ko mau jadi pelayan yang paduli sama anak-anak”.
Celoteh teman kami ini ada benarnya. Banyak orang tua, pendamping, ataupun pengasuh kesulitan untuk membina-anak-anak mereka. Sulit karena tidak mampu memahamii dunia anak-anak.
Memang gampang-gampang sulit menjadi pembina atau pengasuh anak-anak. Dunia mereka harus dikenal, psikis dan phisik mereka harus dipelajari. Agar kita bisa tahu apa maunya mereka. Dengan cara ini kita terbantu untuk mengenal dunia mereka, masuk lewat pintu mereka dan membawa mereka keluar lewat pintu kita.
Kami bergembira karena selama hari-hari ini kami dilatih untuk mampu masuk melalui pintu anak-anak dan mengeluarkan anak-anak lewat pintu pewartaan kita.
Kami teringat kotbah Romo Subroto pada perayaan ekaristi pembuka. Anak-anak adalah pilar masa depan Gereja dan bangsa. Anak-anak harus diajarkan dan dihantar sejak dini untuk mengenal Tuhan.
Perkataan Romo ini mengingatkan saya akan amanah Injil; “Biarkanlah anak-anak itu datang kepadaKu, jangan menghalangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya kerajaan Allah” (Mrk. 10:14).
Sayangnya kenyataan kadang bersaksi lain. Banyak anak yang tidak diarahkan kepada Tuhan sejak dini. Mereka terhalang oleh hiburan-hiburan duniawi, ada yang tersesat karena barang-barang teknologi hasil pemberian orang tuanya. Ada pula anak-anak yang diterlantarkan orang tuanya tanpa rasa iba, ada yang dibunuh tanpa disesali sejak masih dalam rahim ibunya, ada yang menjadi korban traffiking lantaran tekanan ekonomi, ada yang menjadi korban kekerasan di rumah oleh orang tuanya, ada pula yang dihajar di sekolah oleh gurunya yang sering diekspose surat kabar.
Masa anak menjadi kelabu lantaran dirusakan oleh hasil teknologi yang salah digunakan serta berbagai tindak kekerasan yang dialaminya. Masa indah hidupnya sekarang dan kelak sirnah ulah tangan-tangan yang tak bertanggung jawab.
Anak-anak butuh pertolongan orang tuanya, pembinanya, gurunya dan kita semua. Sudah menjadi tugas kita untuk sejak dini menghantar mereka mengenal Tuhan. Kita-kitalah yang ditugaskan Tuhan untuk menjalankan misi keselamatan Tuhan bagi anak-anak.
Waktu terus berjalan, anak-anak akan terus bertumbuh. Ke arah mana pertumbuhan iman mereka ada di tangan kita. Kita punya andil besar untuk menjadikan siapa diri mereka di masa depan. Anak-anak adalah pemilki masa depan sabagaimana masa depan adalah milik mereka. Kita tak boleh sedikitpun lupa akan anak-anak, seperti bunyi sebait pantun kami;
Anak SEKAMI di Gereja kami
Suka Bernyanyi lagu Bapa kami
Ingat Selalu anak SEKAMI
Harapan Gereja dan bangsa kami