Kamis, 28 April 2011

FIKSI MINI

Carlos Conceicao
 
Pulang
Ia berjuang merakit nasib ibarat manusia ditawan dalam gua. “kau tak pantas mendapat warisan orang tua”. Begitu balasan suratnya yang diterima dari balik rasa cemasnya. Pilihannya untuk merantau , terlampau disesali keluarga.
“Huh….!!!! Aku akan membuktikan, kalau aku anak mereka”. Niatnya; “Aku akan pulang”.

Rintihan Pohon
Cendana yang saban hari menaruh dahan-dahannya untuk dihinggapi burung pipit seketika menangis tersedu-sedu. Batang-batangnya yang meranggas menunjukkan air mata yang tak henti mengalir. Lalu burung pipit turun dan bertanya “kenapa kau menangis?” Cendana masih malu-malu mengakui perasaannya pada sahabatnya ini. Ia lalu menitipkan pesan itu pada karang yang selalu menatapnya. Ketika karang itu dihinggapi burung Pipit, karang itu berbisik, “Cendana menginginkan kau pergi saja”.

Benteng Diri
“Namanya Dody? Kasihan bagaikan manusia tak memiliki Tuhan”. Ya. Hidupnya tak bermoral. Begitu ia diolok-olok masyarakat sekampung. Keras musik di kamar kosnya mengelabui perhatian setiap orang. Pratanda bahwa ia ada. Namanya selalu disebut-sebut “buaya darat yang ganas”. Suka keluyuran malam hari mencari mangsa. “setiap orang tak kan pernah merasa puas dengan prinsipku”. Akunya. “burung tak pernah menanam, tetapi bisa menuai”. Tetapi hidup dari kemurahan hati.

Sungai Emas

(Carlos Conceicao)
Suaranya menggemah gaung memecah belah kemegahan gunung yang berdiri megah di tepi kampung itu. Terasa muak mendengar pekikan sorak orang-orang sekampung menuntut keadilan dan kesejahteraan. Teriaknya sekedar mengelabui kebosananya. Hamparan alam yang mempesona tak sedikit pun mengundang kekagumannya. Ia merasa terkungkung bak tawanan dalam gua. Suaranya berpadu bersama kicauan burung yang meriangi alam. Kerinduannya tercekam oleh situasi sekampung. Jiwanya seakan berada di balik tirai tabir dunia raja Azlan di suku Narnia. Terlihat tabir air yang membentang tegak membatasi setiap kerinduan yang hendak mengunjungi dunianya. Jika memasuki dunia raja Azlan maka tak ada jalan untuk pulang.
Ia terus berteriak. Sauaranya menukik tajam menembus sorakkan rakyat. Apa yang harus dibuatnya? Termakan oleh kerinduannya yang besar, ia pun berlari mencari apa yang pernah diceriterakan dan dijanjikan ayahnya belasan tahun lalu, ketika masih hidup. Rindu menagih janji. Akankah suatu ketika aku dapat menggapai gunung itu? Gumamnya kala itu. Aku pasti akan mampu menemukan bukti ceritera sang ayah, kalau ia menggapai lereng gunung tinggi di kampung itu. Ia mengambil jarak dari orang-orang sekampungnya. Jalan mulus tak dihiraukan. Melewati semak belukar dan batu karang di kampung itu. Dengan semangat ,ia pun terus berlari. Orang-oarang sekampungnya terus saja berteriak, seakan tak pernah tahu apa yang harus dibuat. Ya. Keberaniannya penuh keyakinan.
Lereng gunung yang hijau dan indah di tepi perkampungan, membuatnya terpesona. Rasa letihnya seakan terobati. Matanya berbinar cerah melihat kemegahan ciptaan alam yang dashyat. Sungguh berbeda ketika ia berada di tengah kampung halamannya. Langkahnya semakin pasti. Segumpal harapan datang silih berganti, menyapa kerinduan jiwa yang sedulu dipendam. Hentakan kaki kian manja, menuruni lembah kecil di lereng gunung itu. Sesekali ia menengok ke atas mengagumi kemegahan gunung yang selama ini dilihatnya dari jauh. Ia terus mendekat ke lereng gunung itu. Dicarinyalah apa yang pernah dijanjikan ayahnya. Sungai emas. Ya, sungai emas itulah yang pernah dijanjikan ayahnya. Ia terus mencari di mana persis sungai itu. Sungai yang katanya tak terjangkau hulu, dan hilir yang tak berakhir. Rasa penasarannya menggiringnya untuk menebar semua kisah ayahnya dalam ingatan. Kata ayahnya kala itu, sungai itu telah membuatnya cerdas. Ia yakin akan menjadi cerdas seperti ayahnya kalau ia menyentuh sungai itu. Sungai yang penuh dengan emas dan kekayaan. Terlepas oleh lamunan itu, ia melanjutkan pencarian. Diterobosinya belukar hijau, dilemparnya pandangan ke segala arah. Sudah lama mencari, belum juga ditemukan.
Semangatnya mulai terancam oleh rasa lelah. Matanya terpanah oleh sebuah gubuk di lereng gunung itu. Asap api terlihat mengepul dari bubungan gubuk itu. Ia sontak teringat akan percikan kisah ayahnya, kalau di lereng gunung itu terdapat gubuk yang di dalamnya selalu ada api yang bernyala-nyala. Dan seingatnya, ayah pernah berkisah kalau-kalau di gubuk itu ada seorang kakek yang akan membantunya menemukan sungai emas itu. Lalu, ia berkeputusan dengan berani untuk menghampiri gubuk itu. Semakin mendekat. Dengan hati-hati ia menyingkap tirai alang-alang tinggi yang mengelilingi gubuk itu. Suasana sepi menyelimuti tempat itu saat sinar senja benar-benar memudar. Sang surya di ufuk barat sebentar lagi akan pamit pergi.
“Hai anak muda…!!!”. Ia Tersentak kaget oleh sebuah suara yang diikuti dengan tepukkan tangan mengenai bahunya. Ia merasakan bentangan telapak tangan yang besar, namun tersanjung oleh gemah suara sapaan itu. Perlahan tapi pasti, ia membalikkan badan. Serentak ia bertatap muka dengan kekek yang berjenggot putih itu. Di dapatinya senyum yang anggun dari sang kakek.
“Antonius….!” sapa kakek itu. Ia tertegun heran mendengar sapaan itu. Dari mana ia mengenal namaku?, gumamnya dalam hati.
“Jangan takut, aku memanggil kamu dengan namamu”. Lanjut kekek yang melihat wajah Antonius nampak heran. Tony, (begitu sapaanya) mengangguk setuju dengan sapaan kakek tadi. Kakek melanjutkan pembicaraannya sekedar memuaskan hati Tony.
“Nak’….! Kakek sudah mengenal kamu semenjak kecil. Bahkan namamu sendiri aku yang mengusulkannya kepada ayahmu ketika kamu masih dalam rahim ibumu. Aku sudah sering mengunjungi rumahmu ketika ayahmu masih hidup. Namun kamu belum mengenal kakek karena waktu itu kamu masih kecil. Ayahmu juga adalah teman baik kakek dan pernah mengunjungi gubuk ini”. Kisah singkat sang kakek seakan merenggut semua rasa lelahnya yang setadi mencari. Namun wajahnya masih menampakkan bias-bias rasa penasarannya yang masih tersisa.
“Aku tahu apa yang sedang kamu cari. Semangatmu sudah kukenal ketika aku membayangkan janji ayahmu. Namun janganlah patah semangat anak muda. Kakek akan membantumu. Mari kita beristirahat sebentar di dalam gubukku, karena hari sudah mulai malam”. Kata kakek sembari menguatkan niat Tony. Sang kakek merangkulnya dan menghantarnya memasuki gubuk itu. Didapatinya isi gubuk itu penuh dengan hasil panen. Api yang selalu berkobar, sesuai ceritera ayahnya, dengan maksud mengawetkan gabah yang ada dalam gubuk itu. Diajaknya duduk dekat api itu. Nyala api yang berkobar-kobar, memberi kehangatan tersendiri dalam gubuk itu. Lalu mereka menikmati hidangan makan malam. Tony merasa disanjung dan dimanja oleh sang kakek. Hatinya menggebu-gebu, menanti apa yang akan dikatakan kakek tentang apa yang sedang dicarinya. Dengan tenang sang kakek mengajaknya menikmati hidangan yang tersaji. Tak tanggung-tanggung sang Kakek mulai berkisah;
“Nak, benarkah kamu ingin menggapai sungai emas yang pernah dijanjikan ayahmu?” Tanya sang kakek.
“Ia”. Jawab Tony.
“Ayahmu sudah menceriterakan itu padaku, kalau nanti anaknya akan menemukan sungai emas itu sesuai apa yang sudah dijanjikan. Nak, kamu sudah benar. Kamu sudah berjuang untuk mencari dan ingin mengagapainya. Namun kakek hanya meminta satu hal darimu. Kamu harus semangat seperti ayahmu dulu. Nah… sekarang kakek ingin menunjukkan padamu, di mana sungai emas itu berada”. Diajaknya Tony keluar gubuk itu. Di lereng gunung itu. Di bawah terangnya bulan purnama, dan gemerlapnya kunang-kunang, sang kakek menunjuk ke arah gunung yang menjulang tinggi itu sembari berkata
“Nak, sungai emas yang kamu cari, ada di balik gunung itu. Kita akan bisa memandangnya dan akan menggapainya, manakala kita berani dan mampu mendaki ke puncak serta menuruni lereng gunung itu”. Mendengar itu, hatinya luluh termakan asa. Harapannya seakan pupus, terhempas, berceceran bagai jerami meranggas, tak kenal kompak. Perjuangannya sedari tadi sulit diajak berdamai. Masih butuh perjuangan yang jauh. Wajahnya murung. Berulang kali ia menarik napas dalam-dalam. Rasa sabar sebagai pemuda seakan tak tertahankan. Hendak meledak. Ia memandang wajah ramah sang kakek. Sontak ia teringat akan kisah perjuangan ayahnya dulu. Melihat tanggapan ekspresifnya, sang kakek melanjutkan arahannya;
“Nak, kakek yakin kamu pasti kelelahan. Tetapi kakek juga yakin kamu punya semangat. Kamu punya potensi yang kuat seperti ayahmu. Bahkan kakek sudah pernah bersama ayahmu sudah menggapai sungai itu”. Akhirnya dalam hati, Tony berani mengambil keputusan untuk menggapai sungai emas dimaksud.
“Kakek, apapun yang terjadi, aku harus menggapai sungai emas yang dijanjikan ayahku”. Ujar Tony dengan berani.
“Terima kasih nak, kamu anak yang berani”. Puji sang kakek. Karena sudah larut malam, setelah banyak bertualang kisah, kakek mengajak Tony untuk beristirahat agar esok mereka bisa bertapak daki, menjangkau sungai yang dimaksud.
Paduan bunyi jangkrik di malam yang pekat menemani pembaringan sang kakek dan Tony. Tidur beralaskan tikar, tak sedikitpun merenggut niat Tony untuk terus memimpikan sungai Emas itu. Malam hari sudah jauh beranjak. Bunyi ngorok darah muda, sang calon petualang itu keras bergelombang, bak semangatnya yang menggebu-gebu, hendak cepat mengantar pergi malam itu. Ia nampak tidur nyaman, seakan sangat bersahabat dengan malam itu.
Keesokkan harinya, setelah sarapan, sang kakek mengajak Tony mulai berakit ke hulu gunung. Sebelum beranjak, sang kakek menunjukkan strategi daki yang perlu diketahui oleh Tony. Saking semangatnya, Tony mengikuti semua yang disarankan oleh sang kakek. Telapak kaki mungil yang lembut berayun pacu mengimbangi semangatnya. Nafasnya yang terengah-engah tak mengurungkan semangatnya untuk menanyakan keunikan-keunikan alam gunung yang dikagumi. Ia merasa didukung oleh sang kakek yang sudah sejak dulu hidup sebagai petualang itu.
Bersiul lirih, berpandang kagum, dan beristirahat sejanak, turut mewarnai pendakian mereka. Ada saat di mana membutuhkan tongkat pengimbang, ada saat di mana membutuhkan akar penyagga untuk digenggam, dan sejenisnya. Seberapa langkah lagi tiba di puncak. Pesona alam puncak makin terasa. Setelah melewati tapak liku pendakian, alhasil, mereka tiba di puncak gunung itu.
“Wah…!!!! betapa indah dan menakjubkan. Benarlah kata ayahku”. Gumamnya kagum. Hamparan sungai di balik gunung itu, berkilat kilau warnanya mempesona, turut menjanjikan sejuta doa memuji kebesaran dan kebijaksanaan Sang Pencipta. Melihat Tony yang tertegun kagum, sang kekek pun mulai berkisah panjang lebar tentang Sungai Emas itu, sembari mengarahkan pandangan Tony ke seluruh arah yang mengintari arah aliran sungai. Pucuk-pucuk dedaunan hijau di pinggir sungai itu, berpancar silau dipandang mata. Air yang mengalir berkilau-kilau mengundang setiap hati yang terpesona, larut hanyut terbawa arus Sungai Emas itu. Sang kakek berjuang menggiring seluruh perhatian Tony agar memahami rahasia di balik semuanya itu. Sungai yang tak terjangkau hulu oleh pandangan, dan hilir yang tak berakhir pula, ternyata menyimpan banyak rahasia kekayaan manusiawi. Banyak hal yang diperolehnya dari keanggunan sungai emas itu.
“Nak, kamu sudah kubawa dan melihat bagaimana sungai emas ini. Sekarang putusan ada di tangan kamu. Beranikah kamu menuruni lereng dan menyentuh sungai itu? Jika kamu telah mengalaminya nanti, kembalilah dan kisahkanlah kepada orang-orang sekampungmu, apa yang kamu dapat. Ceriterakanlah kebesaran dan kebijaksanaan Sang Pencipta kepada mereka, dan milikilah kebijaksanaan yang kamu peroleh itu. Ajaklah mereka untuk turut mengalami apa yang kamu alami. Katakan kepada mereka bahwa hidup adalah perjuangan. Jika ingin berpekik menuntut keadilan, berjuanglah memiliki apa yang wajib kamu miliki sebagai manusia. Selamat berjuang anak-ku” pesan sang kakek.