Kamis, 22 September 2011

Elegi Anak-Anak Darah

Giovanni A.L. Arum


Kami adalah anak-anak darah
Mengerang dengan teriakan pecah
Meniup luka kami yang bernanah
Dengan sendat nafas lelah

Kami lahir dari rahim berdarah
Merangkak dengan tulang-tulang patah
Menatap kalian yang megah
Di atas keringat kami yang membuncah

Kalian mengerang mendesah
Meminum darah kami pada cawan tercerah
Anak kalian berjingkrak terpapah
Meninjak-injak tangisan bayi kami yang berserah

Kalian mencongkel mata kami dengan pisau terasah
Dan menyuapkannya pada bayi-bayi lebah
Berharap melegakan ujung-ujung lidah
Dengan air mata darah

Kami akan tetap berdarah
Namun kami tak akan pernah kalah
S’bab kalian pun membunuh Tuhan kami dengan darah
Yang setelah mati, bangkit tercerah











SAAT TERAKHIR


Derry Saba 


Dan ia tersenyum,lalu menyuruhku untuk ikut tersenyum. Tapi aku terdiam. Bagaimana mungkin aku tersenyum di saat hatiku menangis. Tapi lalu ku pasang senyum simpul di bibir. Dia bilang, dia suka senyumku. Ya! Hanya senyumku. Bukan hati dan cintaku. Akh….sudahlah! Yang penting aku mencintainya dan selalu berusaha membuat dia cinta padaku. Sulit memang, tapi aku akan terus mencoba.
“ Aku punya pacar baru, “ katanya di suatu malam ketika kepalanya ia sandarkan di bahuku. Mudah sekali kalimat itu ia ucapkan.
“ Baguslah! “ singkatku. Tetapi di dalam sana, hati sedang menguraikan berjuta-juta kata makian padaku dan pada cinta. Hati tak bisa memaki dirinya. Entah mengapa.
“ Kau tidak marah? “ ia mengangkat kepalanya dan menatapku.
“ Tidak.”
“ Kenapa? “
“ Karena menurutku, lebih baik mencintai daripada memarahi. “
Dan ia terdiam. Keteduhan malam menguasaiku dan akupun ikut diam. Aku sempat mengira, ia akan bilang bahwa ia suka diamku. Tapi ternyata tidak. Ia hanya suka senyumku. Tidak diamku. Karena memang dalam diam, ada cinta yang diam namun sebenarnya ia sedang menangis. Dan tiba-tiba saja aku benci pada diriku sendiri dan pada diamku. Ingin aku berteriak sekeras mungkin, biar malam tahu bahwa hatiku lebih pekat daripada kegelapanya. Ingin aku memaki angkasa yang penuh bintang. Ingin ku hujat kenyataan. Tetapi hati berkata : “ Diam saja. Cinta tidak buta. “ Dan aku menurut. Aku diam saja dan menyadari bahwa cinta memang tidak buta. Ia hanya tak bisa melihat. Bukankah itu sama saja? Akh… entahlah. Hanya hati yang paham semua itu.


“ Maafkan aku, “ katanya sesaat setelah mataku ia tatap.
“ Aku tak menyalahkanmu. “
“ Tapi aku salah.”  Ku rasa ini kalimat sudah hampir seribu kali ia ucapkan. Sudah terlalu tawar di telingaku. Dan biasanya aku hanya memilih untuk tidak berkomentar karena aku tahu, akan ada lagi berjuta kata penyesalan yang nantinya berhujung pada perseligkuhan…lalu menyesal..dan selingkuh…menyesal lagi….dn selingkuh lagi. Tapi bagaimanapun juga, hati tetap menginginkannya dan jiwa tetap betah di bawah kepakan sayap-sayap kasihnya.
Aku mencintainya sampai aku lupa kalau hatiku ia sakiti. Hati memang sakit tetapi cinta tetap dalam prinsipnya; mencintai sampai terluka. Namun, akankah luka di hati bisa disembuhkan? Aku tidak tahu, namun aku yakin cinta bisa pahami itu. Pikiran sempat protes, tetapi cinta lebih kuat. Cinta yang punya kuasa atas hati. Cinta yang bisa menentukan kapan pikiran boleh ikutcampur  urusan hati.
“ Boleh aku bertanya? “sergahnya ketika kata pamitan nyaris ku ucapkan.
“ Boleh,” jawabku sekenanya.
“ Kenapa kamu mencintaiku? “  Matanya berkaca-kaca.
“ Karena tak ada alasan untuk tak mencintaimu. “
Dan ia membisu. Ada isak yang tertahan di bibirnya. Ada sendu yang ingin dia nyanyikan. Tak ingin ku dengar. Aku selalu tak kuat tiap kali melihatnya bersedih. Cukup aku saja yang bersedih; bersedih untuk bahagianya.
Air matanya pun jatuh. Wajahnya basah dan matanya berkaca-kaca. Belum pernah ku lihat matanya seperti ini. Jernih dan lugu. Tapi aku sempat belum yakin bahwa itu tangis kesedihan. Semoga bukan; karena aku tak ingin ia bersedih. Ku layangkan tanganku lalu melabuhkannya di atas kepalanya. Ku tarik kepalanya dan memeluk tubuhnya. Hangat sekali perasaanku. Di kedalaman sana, hati sedang tenang dalam kehangatan. Tapi kehangatan itu tak bertahan lama. Ia mendorong tubuhku untuk berlari dan tenggelam dalam pekat malam setelah sebelumnya ku bisikkan kalimat ini di telinganya; Aku sungguh mencintaimu. Aku salah bicara rupanya. Tapi apakah aku sungguh saalah? Tidak mungkin dia yang salah karena tak pernah dia mau salah. Dan aku biar saja salah, salah untuk mencintai cinta yang mungkin saja salah.
Hari-hari setelah malam itu, ada yang aneh ku lihat darinya. Dia lebih sering meninggalkan kampus hanya untuk menemaniku di bengkel. Dia lebih banyak tenang, menatap kebingunganku. Aku hanya bisa menyimpulkan bahwa dia sungguh telah berubah dan bahwa aku bingung pada perubahan itu. Dia makin sering duduk di sampingku, dan selalu memilih untuk hanya mendengarkan saja ketika aku berbicara. Handphone-nya mulai jarang dipakai; dan itu artinya semua selingkuhannya tidak lagi ia hubungi. Aku bahagia dan akhirnya paham bahwa cinta memang tidak buta. Aku paham bahwa cinta tak mungkin menelantarkan hati yang menyayanginya.
Namun bahagia di hati tak begitu lama ku rasakan.
Suatu malam, di pertengahan November 2005, tragedi hati terjadi. Malam itu, hujan turun ketika aku tiba di kost setelah beberapa jam menikmati senja bersama Tessa. Aku tak langsung makan karena roti cokelat butan mamanya masih mengenyangkan perutku. Ku raih novel, lalu menghempas tubuh ke ranjang untuk mulai membaca. Hujan makin deras tapi tak sedikitpun aku terusik. Baru beberapa halaman novel ku lewati, ketika pintu kamarku di ketuk. Aku tengadah dan melirik jam dinding. Pukul 23.45. Aku bangkit lalu perlahan dekati pintu. Novel ku buang ke belakang, entah kemana jatuhnya. Tanpa banyak ragu, ku raih gagang pintu, menekan sedikit ke bawah hingga ada bunyi klik halus lalu pintu ku buka. Sesosok perempuan berdiri tepat di depanku. Tubuhnya basah kuyub. Itu dia. Itu Tessa, kekasihku.
Aku bingung, dan ketika ku masih dalam kebingungaanku, dia memelukku. Tubuhku ikut basah. Tubuhnya bergetar, entah karena isakannya atau kedinginan.
“ Aku sayang kamu, “ bisiknya dengan suara getarnya yang tenang. Tidak mungkin aku tak mencintaimu, batinku. Tapi aku belum bisa menebak alasan ia menangis. Aku diam saja dan coba selami keanehan dalam dirinya. Yang aku dapat adalah sebuah kejelasan bahwa ia sungguh telah berubah. Perubahan yang aneh.
Ku lepas pelukanku, ketika ia berkata : “ Aku kedinginan. “  Ku raih handuk dan memberikan padanya. Ia menarik halus lalu tanpa suara menuju kamar tidurku. Pintu kamar ia tutup. Aku diam saja di tempat tanpa banyak aksi. Ku biarkan kebingungan menari-nari liar seiring irama detik yang berdetak. Hati biar dalam kegirangannya yang aneh. Jiwa ku biarkan mati dalam kehidupannya yang sempurna. Dan dalam kesempurnaan, ku bisikkan dalam hati; terima kasih cinta.
Gerimis mengakhiri derasnya hujan. Tessa masih belum keluar dari kamar. Suaranya tak ku dengar, dan memang tak ingin ku dengar apapun. Aku hanya ingin memeluknya, menikmati keharumannya. Aku hanya ingin merasakan apa yang sudah lama ingin ku rasakan. Tapi, mengapa lama sekali dia. Beberapa detik setelah aku berdiam, handphone-ku berdering singkat. Aku meraihnya di kantong jeans-ku lalu ku hadapkan ke depan mataku dan membaca isi pesan itu. Kata-kata itu mengerikan : “ Tessa tewas dalam kecelakaan mobil tadi sore. “  
Aku tertawa. Lelucon yang tak lucu. Tawaku mengalahkan gerimis malam itu. Aku tertawa meski tiba-tiba ku rasakan ada kekhawatiran di jiwa. Ku tatap pintu kamar. Masih tertutup. Masih tak ku dengar apapun dari dalam sana. Tawaku berhenti tanpa ku perintah.
Langkah tiba-tiba diatur maju mendekati pintu. Ku panggil nama Tessa. Tak ada jawaban. Hanya ada suara dalam hati yang menjawab : “ Tenanglah. “   Ya! Aku harus tenang. Tetapi hati tak bisa diam. Ia menjerit tanpa pikiran tahu apa alasannya. Lalu pikiran ikut menjerit. Tapi tidak jelas. Sedikitpun tidak menarik jeritannya. Ku panggil lagi nama Tessa. Masih tak ada jawaban. Tenanglah! Takkan ada apa-apa. Ku tarik nafas panjang, lalu pintu kamar ku buka. Kosong! Tak ada orang. Tessa tidak ada. Handukku basah kuyub di lantai. Di mana dia? Sudah mati. Benarkah? Dia sudah pergi? Pergi meninggalkanku. Pergi untuk tak kembali. Ia sungguh sudah pergi? Pergi untuk menjadikanku pria kesepian. Pergi untuk menjelaskan pada dunia bahwa cinta memang tidak buta tetapi ia sangat kejam.  Ku tenangkan hati…… Tapi aku bahagia. Setidaknya ia sempat mengucapkan sayang padaku sebelum ketiadaannya.
Dan aku terdiam. Lalu dalam diam aku bertanya : “ Bolehkah aku menangis? “ Cinta tidak menjawab tetapi menertawakanku. Akupun ikut tertawa, menertawakan hari itu dan menertawakan cinta yang tertawa.
Hidup memang penuh lelucon karena hidup memang sebuah lelucon. Tetapi lelucon itu hanya untuk ditertawakan dengan kebencian dan air mata. Hidup hanyalah untuk kita sadari bahwa tak akan ada yang selalu tertawa. Akan ada tangis, meski itu tangisan ada dalam tawa. Sejak saat itu, aku lebih senang tertawa bahkan selalu tertawa karena aku mulai mengerti bahwa cinta itu Brengsek!!!
Dan kini, aku duduk di sini, di samping sebuah nisan. Di situ ada satu nama. Nama itu cantik; nama itu tidak hanya ada di situ tetapi ada di nisan hatiku juga; nama yang tiap kali ku ucapkan, ada rindu di hati, tapi juga ada sakit di jiwa yang selalu memaksa untuk menertawakan hidup dan cinta. Nama itu; Tessa, selalu ada di hati……..untuk selamanya………


SETANGKAI MAWAR UNTUK BUNGA


Chanel Dorotheus Odjan Soge

Bagiku hidup adalah bingkisan senyum di bibirmu, mati demi ikatan persahabatan kita adalah hal terindah yang akan kugoreskan pada buku harianku dikeabadian, ijinkan aku mengantikan mu, menyalakan lilin didepanNya, sebagai akhir sebuah pelayaran dengan sampan kita.
Pagi itu sudah kurasakan bahwa Suasana tak bersahabat, matahari seakan ragu untuk memulai persiaraannya yang sudah lasim dilakukannya. Sedikit kegelisahan bergejolak mengikis setiap denyut nadi yang ada padaku.  Firasat apa ini Tuhan ku, gumanku. sembari mempercepat langkahku menuju bangunan tua itu, bangunan tua yang terletak dipingiran kota itu.
Banyak tawa dan senyum yang kudapatkan ketika aku ada dalam balutan bangunan tua itu, sejuk senyumnya senantiasa menghiasi perjuanganku meraih sesuatu yang gemilang dihari nanti, aku dan dia dalam balutan pitih abu-abu yang merupakan kekhasan dari gedung tua ini.
Akhirnya aku tiba digedung tua itu, yang sudah sepi. Siswa dan siswi telah berada dalam kelas mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian, yang dilaksanakan pada hari itu, entah ujian itu  sudah berlangsung atau belum, aku tak tahu, yang kutahu pasti bahwa hari ini aku terlambat.
Mampus aku, ketika kutatap raut penjaga sekolah yang seakan ingin menelanku hidup-hidup sial, unluckly day for me. oh my God, hatiku. Jalan satu-satu yang dapat kuambil saat itu adalah malas tau dan seakan tak pernah tahu dengan apa yang sedang kualami saat  itu, kuputuskan untuk berlari dan meninggalkan seraut wajah pemangsa manusia itu, untuk cepat tiba dikelasku.
‘keluar lubang buaya masuk lubang ular”, lepas dari penjaga sekolah, dan kemudian bertemu pengawas yang raut wajahnya tak berbeda dengan penjaga sekolah, Tuhan kenapa kau ciptakan manusia-manusia dengan potongan seperti ini. Gumanku.
Perdebatan yang berakhir dengan sedikit dispensasi terjadi, akupun bergerak perlahan ketempat ku diiringi hujanan tatapan aneh. yang dilempahkan padaku dari penghuni kelas itu. kini aku telah berada ditempatku dan mulai mengerjakan butir demi butir soal ujian itu. aku begitu serius dengan soal yang ada didepanku, membuat aku tak sadar bahwa tempat disebelahku juga kosong. Dimana sahabatku ini? apakah dia juga terlambat namun kupikir tidak, rumahnya tidak begitu jauh dari rumah, dan pernah kutemui bibit-bibit kemalasan dari pribadinya, sejak masa taman kanak-kanak. Kucoba kuatkan hatiku dengan pemikiran bahwa ia terlambat, karena  sesuatu yang lain kurasakan dalam hati ketika aku tahu, bahwa bangku disebelahku belum berpenghuni, kegelisahan semakin memuncak dalam hatiku ketika lonceng dibunyikan sebagai tanda bahwa waktu ujiannya telah berakhir dan bangku disebelahku juga belum berpenghuhi, karena hari itu hanya ada satu bidang studi yang diujikan, maka kami sudah di ijinkan utuk pulang, dengan hati yang mulai gelisah aku kuraih tasku. Dan mulai untuk menghimpun data tentang ketidakhadiran Bunga pada hari  ini,  apalagi hari ini ada perlombaan meraih tiket masa depan, siap yang layak dan siapa yang tidak memperoleh tiket itu, kurasa Bunga layak memperolehnya, namun walaupun layak tapi kalau tak ikut perlombaan sama saja dengan kalah,kesimpulannya sangat jelas. Teman seperjalan ku dalam menamkan benih pengetahua dibangku pendidkan sekaligus teman seperjalanaku kesekolah dan kekatedral tak bersamaku hari ini kenapa ? tanyakku dengan kapsitas kegelisahan hati yang semakin meningkat.
 Ditengah hiruk pikuknya manusia dengan berbalut busana putih abu-abu, ditengah hiruk pikuknya daya kerja otak yang memikirkan kenapa Bunga tak masuk. Dengan samar kudengar ada yang mengaumkan namaku dari kejauhan, kupikir bunga yang memangilku namun ternyata ada sesuatu tentang bunga yang mau disampaikan kepadaku.  Sesutu tentang bunga ini semakin memperkuat rasaku bahwa kegelisan dan firasat itu mulai bergerak menuju sebuah kebenaran yang mutlak. Data tentang sahabatku telah kuperoleh, jawaban atas kegelisanku kutemukan, yang membuatku harus menyusun sebuah perposal untuk bergerak kerumah sakit dan mencari ruangan tempat dimana sahabat ku itu dibaringkan.
Hati kosong pikiranku tak bekerja dengan baik, jantungku seakan tak mampu melaksanakan tugasnya untuk mengalirkan darah kesetiap sudut bilik tubuhku ini. Ketika kujumpai sekujur tubuh mungilmu yang berbaring kaku dipembaringan itu, kudekati pembaringanmu, kutatap wajahmu, tak kujumpai senyum itu, tak ada kegirangan, tak ada canda tawu, hanya kebisuan yang ada saat itu, kucoba gengam tanganmu, berharap ada keajaiban saat itu
Apa yang menimpahmu, kucoba bersua pada sosok tubuh yang terbaring didepanku ini, dan berharap ada balasannya, namun sayangnya tak ada balasa atas sua ku itu, sua ku seakan mati dibunuh keheningan saat itu. Tuhan… sua ku selanjutnya ketika aku sadar bahwa kehenigan masih menjadi pemenang.
Kutingalakan kamar itu dan berlari sekuat tenaga  menuju ke katedral, tempat dimana aku bersamamu biasanya berdoa sebelum pulang kerumah,ketika aku tahu bahwa  hanya satu alternative kesembuhan untukmu saat itu.  kaki ku tak kuat lagi untuk melangkah ketika aku tiba didepan katedral itu, kukumpulkan kemampuan ku, berlangkah masuk kedalam  katedral itu, berlutut dihadapaNya dan mulai berdoa untukmu. Tuhan jangan biarkan dia berlalu dariku. Doa singkat ku dan selanjutnya air mata yang melanjut menerjemahkan doa hatiku.
                                               Beberapa hari setelah operasi………….
Bunga terjaga dipagi itu, mencoba bergerak kedepan jendela kaca,  menabrak cahaya fajar yang menyelinap masuk kedalam kamar itu, hari itu, adalah hari pertama bunga terjaga dari tidurnya yang cukup panjang. Dirasakan kembali udara pagi yang menabrak kulitnya, membuang pandang ke jalan yang sudah dipenuhi,civitas manusia dengan balutan putih abu-abu, berharap ada Mawar disana. sahabat  akrabnya. Rambutnya yang panjang tak diikat seakan dibiarkan untuk dipermaikan angin basah dipagi itu. senyuman lama yang pernah mati kini hidup kembali dibibrnya Bunga,
Namun dirasakan ada yang kurang lengkap dari senyum itu, senyuman mawar yang dituntunya untuk melengkapai senyuman itu, dimana Mawar? Hatinya merindukan sahabatnya itu, Bunga meraih ponselnya, dan menghubungi nomor sahabatnya itu,
Sms singkat ku kirimkan untuk mawar. Yang isinya tak lain adalah menyuruhnya agar ia datang menemaniku, namun pesan ku tertundah lalu kucoba untuk menelphonenya, namun sial
Bukan suara mawar yang kudengar melainkan suara sumbang yang datang dan memerintahku untuk mengcek kembali nomor yang kutuju, ku coba untuk mengikuti perintah itu, mungkin aku salah, atau ganguan sinyal, atau pemilik suara sumbang itu yang salah, kucoba lagi untuk menghubungi mawar, lagi-lagi suara sumbang itu yang datang, kulihat indeks sinyal yang ada di layar handphone ku tak ada ganguan, kucoba lewat telephone rumahku pun sama.  Nomornya tak dapat dihubungi, aneh bin ajaib. Ada apa  ini, dimana Mawar?  Pertayaanku bersama kerlingan kegelisahan hati, tak seperti biasanya ia tak mengabariku kalau nomor handphonenya diganti, kupejamkan mata di senja itu, berharap ada sesuatu tetang bunga di handphone ku, ketika aku hampir terbawa kealam mimpiku, pintu kamarku diketuk oleh mamaku,
Mawar ada surat buat mu dari Bunga,kata mama kepadaku ketika pintu kamar kubuka
 Firasat yang tak biasa datang kini datang dan begitu kuat mengikat hatiku , panorama senja berubah seketika, membuatku takut membaca surat itu, ada apa ini, ada apa dengan bunga? Pikirku. Sebelum kulemparka pandanganku,ke surat bisu yang memuat sua Bunga untukku.
Bunga sahabatku,,,,,,,,,,
Selamat bunga, kau sudah menang atas penderitaan mu yang kau alami, dan aku tahu betapa bahagianya hatimu, aku turut berbahagia bersamamu bunga, kerena kebahagiaan mu adalah kebahgiaan ku juga, kita adalah sahabat.
Hari itu aku sangat menyesal karena tak dapat kegedung tua itu bersama dengan mu seperti yang biasa kita lakukan. Hari itu ada ujian aku terlambat karena cemas aku langsung mengerjkan soal yang sudah ada dimeja ku, aku panik sampai-sampai akupun tak sadar kalau bangkumu juga belum berpenghuni, penghuni yang adalah dirimu yang belum menghuni bangku itu membuat rasa cemas dan panik datang dan menghuni seluruh pikiranku,dan hati ku,, ku terus bertanya dan terus bertanya sembari melangkahkan kakiku menuju katedral yang menjadi tempat persingahan kita, sebelum pulang kerumah, sakitnya aku melangkah tanpa lagkah kaki mu, terus ku berpikir dan terus ku berpikir,, dimana ragamu dimana kegiranganmu,dimana senyum mu hari itu,senyum yang biasanya melengkapi senyumku.
Tanyaku mendapatkan jawaban ketika seoran teman memberitahukanku dimana keberadaanmu saat ini sampai membuat bangku dan diriku sepi hari inu. Panik ku, nyatalah sudah. Ku urung niatku kekatedral kita dan memutuskan untuk berlari menuju keruangan dimana kau dibaringkan dirumah sakit itu, kutemui dirimu berbaring kaku diatas pembaringan itu, hatiku sakit, tak kujumpai senyum itu diwajahnya, lebih sakitnya lagi ketika ku tahu kau harus mendapatkan hati untuk mengantikan hati mu yang hampir sudah tak berfungsi sebelum esok pagi datang, sakit sekali rasanya, duniaku gelap seketika
Kuberlari lagi kekatedral tanpa mu. Kuberdoa pada tuhan,agar tuhan takmengambil dirimu dari padaku. Setelah itu aku langsung kembali ketempatmu dan dengan senyum kukecup keningmu, kukatakan dikupingmu,,
Kunanti dirimu digerbang surga, sepeti saat kunanti dirimu didepan katedral itu. ku ingin suatu saat nanti kau datang dan membawakan aku sebingkis senyummu, yang tak sempat kulihat saat ini, dari sekarang aku akan merinduhkan senyummu.
Waktu itu bangkumu tak berpenghuni, namun kini kau akan jumpai bangku-kulah yang tak berpenghuni,  ragaku tak akan lagi bersama ragamu,menemaimu disaat pergi maupun pulang dari gedung tua itu atau pun kekatedral  namun hatiku sudah ada bersama denganmu untuk hari ini dan selanjutnya.sedetikpun aku  tak akan bergerak dan meninggalkanmu.ditidur dan bangunmu aku selalu ada
Ku iklaskan hatiku untuk untuk hidupmu,, setangkai mawar kehidupan kuberikan untuk mu bunga.
Bagiku hidup adalah bingkisan senyum di bibirmu, mati demi ikatan persahabatan kita adalah hal terindah yang akan kugoreskan pada buku harianku dikeabadian, ijinkan aku mengantikan mu, menyalakan lilin didepanNya, sebagai akhir sebuah pelayaran dengan sampan kita.
Sahabatmu Mawar
Teriakan bunga memecah senja itu,, surat itu terjatuh seiring jatuhnya airmata bunga.Terimakasih untuk mawar itu,,, guman bunga sembari berlari menuju makamnya mawar

MENGGORES LALU PERGI


SADDAM HP
1
            Tahukah kau bahwa aku tak bisa tidur malam ini karenamu? Waktu terus berjalan, tapi mataku tak kunjung terpejam. Mungkinkah ini penyakit ataukah aku sedang jatuh cinta? Bila ini penyakit, aku harap  kaubisa menyembuhkannya. Meski kau bukan dokter, namun aku yakin penawar sakitku ini ada padamu. Tapi, mungkinkah ini cinta? Sebab, kemanapun mataku tertuju selalu ada wajahmu, setiap lidahku berujar hanya dirimu, setiap jantungku berdenyut kusebut namamu. Bila ini benar-benar cinta, lantas mengapa aku tersiksa?
            Aku tak menyalahkanmu karena membuatku tersiksa. Aku hanya menyesali diri kenapa aku terlalu dan selalu merindukanmu. Menyesalkah aku karena mencintaimu? Tidak. Bahkan, aku bersyukur karena aku dapat merasakan kekuatan cinta yang dapat membuatku takluk pada pandangan pertama karena dirimu. Kaupun mengajariku betapa berharganya kesabaran. Bersabar untuk meredam debar-debar rindu yan tak pernah diam meski namamu terus kuucap.
            Aku percaya bahwa bila lidahku tergigit tanpa alasan berarti ada seseorang yang sedang mengucapkan namaku. Atau bila sebelah kelopak mataku berkedip tanpa sebab, tentulah seseorang sedang merindukanku. Demikianpun aku yakin bahwa kini kaupun akan terus-menerus menggigit lidahmu sendiri karena akupun masih terus mengucapkan namamu dalam tiap tarikan napasku. Sebelah kelopak matamupun tak berhenti berkedip karena aku akan merindukanmu setiap kali jantungku berdetak.
            Lalu kau, karena merasakan keganjilan itu berusaha mengingat-ingat orang yang berkenalan denganmu. Mulai dari teman-teman sefakultasmu yang memang belum kaukenal semuanya sampai dengan calon-calon mahasiswa dari fakultas lain yang kelihatan aneh mendengar namamu. Dan ingatanmu akan berhenti pada seorang gadis yang berkenalan denganmu di aula ketika rektor universitas  sedang memberikan pengenalan kampus pada kalian. Kau akan mengingatnya karena gadis itu terus melihatmu sejak dimulai upacara pembukaan sampai kalian berada di kelas itu. Kaupun berusaha untuk berkenalan dengannya. Lalu gadis itu membalas uluran tanganmu dengan genggaman yang tak ingin dilepasnya dan dengan tatapan yang dalam. Sehingga kau akan menghubungi gadis itu berbekal nomor telepon yang ditinggalkannya padamu. Ketika mendengar suaramu, gadis itu akan berjingkrak-jingkrak karena rindu yang ia kabarkan pada langit telah sampai di bulan. Ah, betapa menyenangkan, aku membayangkannya. Karena gadis itu adalah  aku.
            Sebenarnya kau tak perlu mengucapkan namamu di depanku ketika berkenalan di kelas kita, karena jauh sebelum itu aku telah lebih dahulu mengetahui namamu. Melihatmu di lapangan di antara barisan calon mahasiswa seperti menemukan oase di gersangnya gurun pasir. Setelah yakin bahwa itu bukanlah fatamorgana, aku mulai berusaha mencuri-curi pandang pada papan nama berwarna hijau yang tergantung di saku bajumu. Akupun memberanikan diri untuk bertanya tentangmu pada teman-temanmu. Bahkan, seorang panitia terus menerus memergoki aku yang selalu memandang ke arahmu. Ternyata tak ada gengsi bila berhadapan dengan cinta. Sehingga kau tak usah heran bahwa aku akan banyak bicara di hadapanmu, bukan hanya agar kau tahu siapakah diriku yang telah mengenalmu tapi karena ada sensasi lain dalam hatiku yang semakin meletup-letup saat berhadapan mata denganmu.
Ternyata OSPEK* tak terlalu menjengkelkan bahkan menakutkan seperti yang diceritakan kakakku. Tak ada rambut yang dikepang dengan tali. Tak ada tas karung. Tak ada kaus kaki yang dipasang berlainan. Tapi itu bukanlah alasanku untuk gembira mengikutinya. Satu-satunya alasan untukku adalah kau. Betapa bahagia bisa mengenalmu di antara ribuan calon mahasiswa. Aku tak dapat membayangkan betapa menjengkelkan bahkan menakutkannya OSPEK itu bila tanpamu. Alangkah lebih baik bagiku untuk mengepang rambut, mengenakan tas karung dan sepasang kaus kaki yang berlainan daripada tak ada kau di sana. Maka setelah mengenalmu di hari pertama ini, aku semakin yakin bahwa aku dapat mengikutinya selama dua hari ke depan dengan bahagia dan hati berbunga-bunga.
2
Jarum jam seperti sekarat, tak mampu bergerak. Aku masih juga belum bisa tertidur. Betapa waktu berjalan terlalu lamban malam ini. Aku masih terus merindukanmu seperti malam kemarin. Bila ruang kita hanya dibatasi kabut, maka aku ingin agar secepatnya meretas getas yang membatasi kita, walaupun hanya sekedar untuk melihat wajahmu. Itu sudah cukup untuk meredam sementara rindu yang sedari tadi tak ingin menyepi. Namun, ruang kita dibatasi rindu. Betapa jauhnya jarak yang dibatasi rindu. Mengapa pula harus ada waktu bila hanya untuk memperlama hujaman rindu di jantungku?
Apakah di sana kaupun merindukanku? Kelopak mataku yang sebelah belum juga berkedip tanpa sebab. Begitupula lidahku yang tak tergigit tanpa alasan. Aku sempat berpikir untuk mengigit sendiri lidahku sembari menghibur diriku bahwa kau masih mengucap namaku. Atau sengaja mengedipkan sebelah kelopak mataku sembari berharap kaupun merindukanku seperti aku merindukanmu. Berharap kau mencintaiku seperti aku mencintaimu. Mungkinkah kau telah melupakanku? Ah, semakin malam larut, semakin pikiranku karut.
Esok adalah hari ketiga, hari terakhir bagi kita sebagai calon mahasiswa. Mungkin aku tak bisa lagi melihatmu lagi disini. Kita berbeda fakultas, bukan? Aku berjanji untuk membawakanmu ember dan sapu lidi. Aku akan menepati janjiku. Mungkin tak akan berguna di hari terakhir. Namun, bukankah menurutmu lebih baik punya dari pada tidak sama sekali? Lagipula menurut kakakku, kesempatan semua fakultas untuk berkumpul seperti ini hanya pada awal dan akhir, saat OSPEK ini dan ketika diwisuda nanti. Maka akan kuberikan apapun yang kaubutuhkan. Meskipun karena itu aku harus berjalan kaki sepulang kampus menuju pasar.
Aku mungkin tak menawarkan jasaku padamu kalau saja kemarin panitia tidak memarahi sekelompok calon mahasiswa di fakultas kalian yang tidak membawa satupun alat kerja. Dan kaupun termasuk dalam kelompok itu. Harusnya mereka bisa mengerti kalau kelompok kalian belum bisa menyiapkannya. Lagipula, menurut cerita seorang temanmu kalian baru diberitahukan sehari sebelum kegiatan itu sehingga tak ada waktu untuk membelinya. Begitupula dengan kejadian pagi tadi. Kegiatan yang berlangsung sampai malam hari membuat kalian harus kuat dan sabar untuk dimarahi lagi pagi hari. Karena kita semakin akrab, maka aku tak ragu-ragu untuk menyampaikan niat baikku padamu. Tapi tahukah kau bahwa ketika mengatakannya padamu tubuhku gemetar jantungku berdebar?  
Semua yang indah selalu gampang menarik perhatian. Begitupula dirimu. Aku tak ingin mataku terlepas dari sosokmu. Sekembalinya aku dari barisanmu, aku masih tetap melihat ke arahmu. Aku berharap kaupun berbalik ke arahku dan sekedar melemparkan senyum padaku. Tapi sebelum itu terjadi, seorang panitia berambut gondrong justru bergerak menuju kearah barisan kalian sambil membawa gunting hitam. Aku yakin ia akan menggunting rambut kalian meski sudah kelihatan pendek. Namun, aku  harus berterimakasih pada seorang temanmu.. Karena ketika mahasiswa berambut gondrong itu hendak memberondong rambutmu dengan guntingnya, dengan berani temanmu menepis tangannya dari belakang. Betapa aku kagum pada kekompakkan kelompok kalian.
Setelahnya kelompok kalian diejek di depan umum. Pikir mereka, kalian adalah pembangkang dan harus dipandang sebelah mata. Kaupun mulai tak suka untuk mengikuti beragam kegiatan yang dilaksanakan. Sehingga aku harus sabar memintamu untuk berdiri menyambut seorang dosen yang masuk ke kelas kita. Kaupun harus sabar. Waktu bagi mereka hanya tersisa hari ini dan esok. Bukankah kita harus menerima sertifikat OSPEK yang katanya akan berguna saat diwisuda nanti? Bila itupun tak penting lagi bagimu, aku hanya ingin kau mengikuti semua ini demi aku. Ah, siapakah aku ini sampai memintamu untuk mengikuti ucapanku?  
Cinta memang membingungkan. Karena aku mencintaimu, maka aku bingung mungkinkah kaupun mencintaiku? Bila cintaku hanya bertepuk sebelah tangan, maka ulurkanlah tanganmu bagi cintaku supaya kau tahu bahwa cintaku padamu  telah menancapkan akarnya yang kuat di hatiku. Aku tak ingin kau mencabutnya dan membuat hatiku berdarah. Memang kau tak sadar bahwa kau sedang menyiksaku dengan cintamu, namun kau harus tahu bahwa aku mencintaimu.Aku mencintaimu dengan segala rindu dan kesepian. Betapa aku ingin secepatnya menemuimu esok hari untuk menyatakan semua ini.
3
            Tahukah kau bahwa aku tak bisa tidur malam ini lagi karenamu? Waktu terus berjalan, tapi mataku tak bisa terpejam. Mungkinkah ini penyakit ataukah aku sedang jatuh cinta? Bila ini penyakit, aku harap  kaubisa menyembuhkannya. Meski kau bukan dokter, namun aku yakin penawar sakitku ini ada padamu. Tapi, aku yakin inilah cinta. Sebab, kemanapun mataku tertuju selalu ada wajahmu, setiap lidahku berujar hanya dirimu, setiap jantungku berdenyut kusebut namamu.
            Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta. Sungai-sungai terdalampun tak dapat menghanyutkannya. Semakin dirimu berkelebat di benakku, cinta ini semakin berkobar. Bila kuumpamakan dengan api, cintaku padamu adalah nyala api abadi yang menggemeretakkan gigiku sembari menahan ratapan kerinduan. Bila arus waktu adalah sungai, maka derasnya tak akan menyeret dan menenggelamkan cintaku padamu yang abadi.  Aku tak kuasa menahannya. Cengkeraman rindu ini semakin dalam. Karena itu pagi ini aku melesat lebih awal dari biasanya. Aku ingin segera menjumpai dirimu.
Aku menunggumu di lapangan dengan sebuah ember dan sapu lidi. Tidak seperti kemarin, ketika selesai upacara dan dengan mudahnya kudapati dirimu. Seperti gadis yang kehilangan satu dinarnya, aku berusaha mencari dirimu. Meski banyak orang di sampingku, namun tak ada yang bisa menggantikan kehadiranmu. Karena tak kujumpai dirimu, maka aku berharap dapat menemukanmu di kelas.
Semua calon mahasiswa dan mahasiswi telah berada di kelas masing-masing. Banyak yang gembira, mereka akan melalui tahap inisiasi ini. Tapi aku masih terpuruk tanpa dirimu, meski kulihat teman yang membelamu kemarin mempersembahan sebuah acara. Kau tentu menyaksikannya pula. Walau aku tak melihatmu, namun aku tahu kau ada. Aku masih ingat kata-katanya: semakin kau ingin melupakan seseorang, kau akan semakin mengingatnya. Apakah untuk mengingatmu, aku harus melupakanmu?
Matahari ada di kaki langit. Kita telah resmi menjadi mahasiswa. Penderitaan selama tiga hari ini akan berakhir. Tapi aku masih menunggu untuk mengucapkan sesuatu padamu. Ember dan sapu lidi ada di hadapanku. Aku tak akan pergi. Aku akan tetap disini Aku masih menggenggam cinta yang tergores dengan ketiadaanmu lengkap dengan debar-debar rinduku. Tapi dimanakah dirimu hari ini, Sayang?
                                                                                                                                                                                                                                                            Kupang, Agustus 2011
*OSPEK: Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus