Kamis, 22 September 2011

MENGGORES LALU PERGI


SADDAM HP
1
            Tahukah kau bahwa aku tak bisa tidur malam ini karenamu? Waktu terus berjalan, tapi mataku tak kunjung terpejam. Mungkinkah ini penyakit ataukah aku sedang jatuh cinta? Bila ini penyakit, aku harap  kaubisa menyembuhkannya. Meski kau bukan dokter, namun aku yakin penawar sakitku ini ada padamu. Tapi, mungkinkah ini cinta? Sebab, kemanapun mataku tertuju selalu ada wajahmu, setiap lidahku berujar hanya dirimu, setiap jantungku berdenyut kusebut namamu. Bila ini benar-benar cinta, lantas mengapa aku tersiksa?
            Aku tak menyalahkanmu karena membuatku tersiksa. Aku hanya menyesali diri kenapa aku terlalu dan selalu merindukanmu. Menyesalkah aku karena mencintaimu? Tidak. Bahkan, aku bersyukur karena aku dapat merasakan kekuatan cinta yang dapat membuatku takluk pada pandangan pertama karena dirimu. Kaupun mengajariku betapa berharganya kesabaran. Bersabar untuk meredam debar-debar rindu yan tak pernah diam meski namamu terus kuucap.
            Aku percaya bahwa bila lidahku tergigit tanpa alasan berarti ada seseorang yang sedang mengucapkan namaku. Atau bila sebelah kelopak mataku berkedip tanpa sebab, tentulah seseorang sedang merindukanku. Demikianpun aku yakin bahwa kini kaupun akan terus-menerus menggigit lidahmu sendiri karena akupun masih terus mengucapkan namamu dalam tiap tarikan napasku. Sebelah kelopak matamupun tak berhenti berkedip karena aku akan merindukanmu setiap kali jantungku berdetak.
            Lalu kau, karena merasakan keganjilan itu berusaha mengingat-ingat orang yang berkenalan denganmu. Mulai dari teman-teman sefakultasmu yang memang belum kaukenal semuanya sampai dengan calon-calon mahasiswa dari fakultas lain yang kelihatan aneh mendengar namamu. Dan ingatanmu akan berhenti pada seorang gadis yang berkenalan denganmu di aula ketika rektor universitas  sedang memberikan pengenalan kampus pada kalian. Kau akan mengingatnya karena gadis itu terus melihatmu sejak dimulai upacara pembukaan sampai kalian berada di kelas itu. Kaupun berusaha untuk berkenalan dengannya. Lalu gadis itu membalas uluran tanganmu dengan genggaman yang tak ingin dilepasnya dan dengan tatapan yang dalam. Sehingga kau akan menghubungi gadis itu berbekal nomor telepon yang ditinggalkannya padamu. Ketika mendengar suaramu, gadis itu akan berjingkrak-jingkrak karena rindu yang ia kabarkan pada langit telah sampai di bulan. Ah, betapa menyenangkan, aku membayangkannya. Karena gadis itu adalah  aku.
            Sebenarnya kau tak perlu mengucapkan namamu di depanku ketika berkenalan di kelas kita, karena jauh sebelum itu aku telah lebih dahulu mengetahui namamu. Melihatmu di lapangan di antara barisan calon mahasiswa seperti menemukan oase di gersangnya gurun pasir. Setelah yakin bahwa itu bukanlah fatamorgana, aku mulai berusaha mencuri-curi pandang pada papan nama berwarna hijau yang tergantung di saku bajumu. Akupun memberanikan diri untuk bertanya tentangmu pada teman-temanmu. Bahkan, seorang panitia terus menerus memergoki aku yang selalu memandang ke arahmu. Ternyata tak ada gengsi bila berhadapan dengan cinta. Sehingga kau tak usah heran bahwa aku akan banyak bicara di hadapanmu, bukan hanya agar kau tahu siapakah diriku yang telah mengenalmu tapi karena ada sensasi lain dalam hatiku yang semakin meletup-letup saat berhadapan mata denganmu.
Ternyata OSPEK* tak terlalu menjengkelkan bahkan menakutkan seperti yang diceritakan kakakku. Tak ada rambut yang dikepang dengan tali. Tak ada tas karung. Tak ada kaus kaki yang dipasang berlainan. Tapi itu bukanlah alasanku untuk gembira mengikutinya. Satu-satunya alasan untukku adalah kau. Betapa bahagia bisa mengenalmu di antara ribuan calon mahasiswa. Aku tak dapat membayangkan betapa menjengkelkan bahkan menakutkannya OSPEK itu bila tanpamu. Alangkah lebih baik bagiku untuk mengepang rambut, mengenakan tas karung dan sepasang kaus kaki yang berlainan daripada tak ada kau di sana. Maka setelah mengenalmu di hari pertama ini, aku semakin yakin bahwa aku dapat mengikutinya selama dua hari ke depan dengan bahagia dan hati berbunga-bunga.
2
Jarum jam seperti sekarat, tak mampu bergerak. Aku masih juga belum bisa tertidur. Betapa waktu berjalan terlalu lamban malam ini. Aku masih terus merindukanmu seperti malam kemarin. Bila ruang kita hanya dibatasi kabut, maka aku ingin agar secepatnya meretas getas yang membatasi kita, walaupun hanya sekedar untuk melihat wajahmu. Itu sudah cukup untuk meredam sementara rindu yang sedari tadi tak ingin menyepi. Namun, ruang kita dibatasi rindu. Betapa jauhnya jarak yang dibatasi rindu. Mengapa pula harus ada waktu bila hanya untuk memperlama hujaman rindu di jantungku?
Apakah di sana kaupun merindukanku? Kelopak mataku yang sebelah belum juga berkedip tanpa sebab. Begitupula lidahku yang tak tergigit tanpa alasan. Aku sempat berpikir untuk mengigit sendiri lidahku sembari menghibur diriku bahwa kau masih mengucap namaku. Atau sengaja mengedipkan sebelah kelopak mataku sembari berharap kaupun merindukanku seperti aku merindukanmu. Berharap kau mencintaiku seperti aku mencintaimu. Mungkinkah kau telah melupakanku? Ah, semakin malam larut, semakin pikiranku karut.
Esok adalah hari ketiga, hari terakhir bagi kita sebagai calon mahasiswa. Mungkin aku tak bisa lagi melihatmu lagi disini. Kita berbeda fakultas, bukan? Aku berjanji untuk membawakanmu ember dan sapu lidi. Aku akan menepati janjiku. Mungkin tak akan berguna di hari terakhir. Namun, bukankah menurutmu lebih baik punya dari pada tidak sama sekali? Lagipula menurut kakakku, kesempatan semua fakultas untuk berkumpul seperti ini hanya pada awal dan akhir, saat OSPEK ini dan ketika diwisuda nanti. Maka akan kuberikan apapun yang kaubutuhkan. Meskipun karena itu aku harus berjalan kaki sepulang kampus menuju pasar.
Aku mungkin tak menawarkan jasaku padamu kalau saja kemarin panitia tidak memarahi sekelompok calon mahasiswa di fakultas kalian yang tidak membawa satupun alat kerja. Dan kaupun termasuk dalam kelompok itu. Harusnya mereka bisa mengerti kalau kelompok kalian belum bisa menyiapkannya. Lagipula, menurut cerita seorang temanmu kalian baru diberitahukan sehari sebelum kegiatan itu sehingga tak ada waktu untuk membelinya. Begitupula dengan kejadian pagi tadi. Kegiatan yang berlangsung sampai malam hari membuat kalian harus kuat dan sabar untuk dimarahi lagi pagi hari. Karena kita semakin akrab, maka aku tak ragu-ragu untuk menyampaikan niat baikku padamu. Tapi tahukah kau bahwa ketika mengatakannya padamu tubuhku gemetar jantungku berdebar?  
Semua yang indah selalu gampang menarik perhatian. Begitupula dirimu. Aku tak ingin mataku terlepas dari sosokmu. Sekembalinya aku dari barisanmu, aku masih tetap melihat ke arahmu. Aku berharap kaupun berbalik ke arahku dan sekedar melemparkan senyum padaku. Tapi sebelum itu terjadi, seorang panitia berambut gondrong justru bergerak menuju kearah barisan kalian sambil membawa gunting hitam. Aku yakin ia akan menggunting rambut kalian meski sudah kelihatan pendek. Namun, aku  harus berterimakasih pada seorang temanmu.. Karena ketika mahasiswa berambut gondrong itu hendak memberondong rambutmu dengan guntingnya, dengan berani temanmu menepis tangannya dari belakang. Betapa aku kagum pada kekompakkan kelompok kalian.
Setelahnya kelompok kalian diejek di depan umum. Pikir mereka, kalian adalah pembangkang dan harus dipandang sebelah mata. Kaupun mulai tak suka untuk mengikuti beragam kegiatan yang dilaksanakan. Sehingga aku harus sabar memintamu untuk berdiri menyambut seorang dosen yang masuk ke kelas kita. Kaupun harus sabar. Waktu bagi mereka hanya tersisa hari ini dan esok. Bukankah kita harus menerima sertifikat OSPEK yang katanya akan berguna saat diwisuda nanti? Bila itupun tak penting lagi bagimu, aku hanya ingin kau mengikuti semua ini demi aku. Ah, siapakah aku ini sampai memintamu untuk mengikuti ucapanku?  
Cinta memang membingungkan. Karena aku mencintaimu, maka aku bingung mungkinkah kaupun mencintaiku? Bila cintaku hanya bertepuk sebelah tangan, maka ulurkanlah tanganmu bagi cintaku supaya kau tahu bahwa cintaku padamu  telah menancapkan akarnya yang kuat di hatiku. Aku tak ingin kau mencabutnya dan membuat hatiku berdarah. Memang kau tak sadar bahwa kau sedang menyiksaku dengan cintamu, namun kau harus tahu bahwa aku mencintaimu.Aku mencintaimu dengan segala rindu dan kesepian. Betapa aku ingin secepatnya menemuimu esok hari untuk menyatakan semua ini.
3
            Tahukah kau bahwa aku tak bisa tidur malam ini lagi karenamu? Waktu terus berjalan, tapi mataku tak bisa terpejam. Mungkinkah ini penyakit ataukah aku sedang jatuh cinta? Bila ini penyakit, aku harap  kaubisa menyembuhkannya. Meski kau bukan dokter, namun aku yakin penawar sakitku ini ada padamu. Tapi, aku yakin inilah cinta. Sebab, kemanapun mataku tertuju selalu ada wajahmu, setiap lidahku berujar hanya dirimu, setiap jantungku berdenyut kusebut namamu.
            Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta. Sungai-sungai terdalampun tak dapat menghanyutkannya. Semakin dirimu berkelebat di benakku, cinta ini semakin berkobar. Bila kuumpamakan dengan api, cintaku padamu adalah nyala api abadi yang menggemeretakkan gigiku sembari menahan ratapan kerinduan. Bila arus waktu adalah sungai, maka derasnya tak akan menyeret dan menenggelamkan cintaku padamu yang abadi.  Aku tak kuasa menahannya. Cengkeraman rindu ini semakin dalam. Karena itu pagi ini aku melesat lebih awal dari biasanya. Aku ingin segera menjumpai dirimu.
Aku menunggumu di lapangan dengan sebuah ember dan sapu lidi. Tidak seperti kemarin, ketika selesai upacara dan dengan mudahnya kudapati dirimu. Seperti gadis yang kehilangan satu dinarnya, aku berusaha mencari dirimu. Meski banyak orang di sampingku, namun tak ada yang bisa menggantikan kehadiranmu. Karena tak kujumpai dirimu, maka aku berharap dapat menemukanmu di kelas.
Semua calon mahasiswa dan mahasiswi telah berada di kelas masing-masing. Banyak yang gembira, mereka akan melalui tahap inisiasi ini. Tapi aku masih terpuruk tanpa dirimu, meski kulihat teman yang membelamu kemarin mempersembahan sebuah acara. Kau tentu menyaksikannya pula. Walau aku tak melihatmu, namun aku tahu kau ada. Aku masih ingat kata-katanya: semakin kau ingin melupakan seseorang, kau akan semakin mengingatnya. Apakah untuk mengingatmu, aku harus melupakanmu?
Matahari ada di kaki langit. Kita telah resmi menjadi mahasiswa. Penderitaan selama tiga hari ini akan berakhir. Tapi aku masih menunggu untuk mengucapkan sesuatu padamu. Ember dan sapu lidi ada di hadapanku. Aku tak akan pergi. Aku akan tetap disini Aku masih menggenggam cinta yang tergores dengan ketiadaanmu lengkap dengan debar-debar rinduku. Tapi dimanakah dirimu hari ini, Sayang?
                                                                                                                                                                                                                                                            Kupang, Agustus 2011
*OSPEK: Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar