by. Arky Manek
Terik mentari melayur kulit halusnya. Peluh di wajahnya yang memerah itu mengalir mengusap sisa-sisa asap dari knalpot motor-motor dan mobil-mobil yang berseliweran sepanjang hari. Ia berlarian di persimpangan-persimpangan jalan itu, tak peduli betapa sengangarnya sengatan mentari siang itu. Disekanya dengan jari-jari tangan kirinya ingus yang mengalir tanpa henti dari hidung mungilnya sambil terus mengejar mobil-mobil dan motor-motor sekadar menawarkan jasanya. Saat kendaraan-kendaraan itu berhenti sejenak mematuhi rambu lalu lintas di persimpangan jalan Eltari itu, ia menghampiri seraya melihat-lihat dan berteriak lengking,
“Koran…koran…”
“beli ko om…., ibu berita koran hari ini menarik, beli ko..?”
pinta bocah loper koran yang bertampang amburadul itu kepada setiap orang yang sempat melempar pandang kepadanya sambil menyodorkan koran-korannya kepada para pengendara motor yang ada di depannya. Karena tak menghiraukannya ia bergegas menuju kepada para penumpang mobil umum (mikrolet). Semua penumpang menggelengkan kepalanya mengisyaratkan tak ada yang membutuhkan jasanya. Ia melihat sopir mikrolet itu lagi memandangnya lewat spion mobilnya, spontan ia mendekatinya dan berdiri di samping pintu kanan mobil itu,
“mau beli ko om sopir?”
“hei…babi… pergi sana..pikir cari uang gampang ko, atau lu mau kena falungku”
hardik sopir itu dengan sebuah makian dan acuan kepalan tangannya membuat bocah itu gemetaran ketakutan. Bocah itu menjauh dari tatapan geram sopir itu dengan kekesalan di wajahnya. Tak jauh dari mikrolet itu, ia melihat ada sebuah mobil BMW silver yang menyisip di antara beberapa kendaraan di belakangnya. Dengan sisa kekesalan yang masih mencekam di dadanya dan rasa takut yang masih membuat bulu kuduknya berdiri akibat kerasnya makian dan ancaman sopir mikrolet tadi, ia mendekati mobil itu dengan penuh keraguan jangan-jangan ia mendapatkan penolakan yang setimpal seperti tadi.
“Om mau koran ko?,”
dengan nada suara yang tenggelam redam di balik kaca hitam mobil itu, ia menyapa om yang bertampang konglomerat itu. Namun suaranya tak kedengaran karena penghuni mobil itu lagi asyik komat-kamit dengan handphone blackberry yang tertempel erat di telinganya hingga menyumbat telinganya dari tanya bocah itu. Mobil itu pun bergegas pergi ketika isyarat hijau lampu itu bernyala menyisakan tawa kecil om tadi yang lenyap disapu bunyi deru mesin mobil itu.
********
Udara basah menusuk sum-sum, disambut rintikan hujan pagi yang tak mengisinkan mentari menunjukkan tampangnya, membuat orang-orang masih setia berada di balik selimutnya. Jalan raya masih sunyi sepih, beberapa penjual sayur yang membawa sayurnya dalam gerobaknya menuju pasar. Pintu pagar bank-bank dan toko-toko terdekat masih tertutup rapat. Flobamora mall, sebuah bangunan ternama di kota ini masih sepih dari pengunjung . Gedung-gedung perkantoran yang berjejer apik di dekat persimpangan jalan itu masih sunyi oleh para pegawainya. Dibalik kesunyian dan kesepian itu duduk bocah itu. Ia lagi menyandarkan bahu kecilnya pada batang pohon akasia yang rindang daunnya. Koran-koran ditaruhnya dipangkuannya. Rupanya bocah itu telah berada lagi pagi itu seperti hari-hari sebelumnya menunggu keramaian yang mulai tampak di persimpangan itu.
Dengan sebuah sobekan kardus bocah itu melindungi mercu kepalanya yang masih lunak dari renyai hujan. Masih dengan tampang belepotannya dan tetap dengan semangat yang sama, ia mulai mengejar motor-motor dan mobil-mobil yang telah ramai di persimpangan jalan raya itu. Di persimpangan jalan itulah ia menggantungkan hidupnya. Hidupnya hari itu ditentukan berapa banyak koran-koran itu terjual. Itu yang menuntutnya harus berada di tempat itu sebelum ayam-ayam turun dari pohon dan mencari makan.
Bocah itu terus mencari pembelinya dengan berbekalkan senyum kepolosannya. Saat ia berlari terburai beberapa ruas rusuknya dibalik bajunya. Baju usang penuh bercak-bercak hitam asap kendaraan berpadu keringatnya itu telah copot beberapa kancingnya entah karena ditarik kawannya saat berebutan mendapatkan pembeli atau karena benang-benang kancing itu yang telah lapuk terpanggang matahari atau karena busuk terkena keasaman hujan.
Dengan terengah-engah usai berlari, ia menghampiri sebuah mobil berplat merah sekadar menawarkan jasanya,
“ibu… koran ini hari beritanya talalu bagus-bagus, beli be pu koran do”
Bocah itu merayu-rayu seorang ibu berpakaian dinas yang duduk manis di mobil itu dengan tampang merah merona lipstik di bibir tebalnya. Alis mata yang dicukur tipis, meniru gaya beberapa artis ternama. Kepada beberapa om yang juga berada di mobil itu, dengan pakaian dinasnya, bocah itu pun menyodorkan korannya,
“om mau beli koran ko?”
Pinta bocah itu dengan suaranya yang gemetaran karena kedinginan. Dalam benaknya, ibu dan bapak-bapak itu selain memiliki uang, juga membutuhkan informasi-informasi yang lagi hangat dibicarakan oleh masyarakat di kota ini. Berita-berita yang walau telah usang namun tetap aktual karena terus berkutat seputar skandal politik, ekonomi, perselingkuhan, pembunuhan, olahraga hingga dunia entertainmen yang menampilkan perilaku-perilaku aneh dari para artis yang kadang menghipnotis beberapa penggemarnya untuk meniru modenya. Mungkin juga menjadi idola ibu berbibir tebal beralis tipis tadi. Bagi bocah itu pastilah menarik untuk dibaca oleh mereka. Tiba-tiba tukas wanita dari dalam mobil itu,
“itu berita-berita dong katong su tau”
“belum baca kok bisa tau ibu?”
sambar anak itu dengan polosnya. Tanpa menjawab bocah itu, terlanjur mobil itu pergi saat lampu hijau di pojok persimpangan itu bernyala.
Berselang beberapa menit, ketika lampu merah rambu itu menyala, sebuah mobil mentereng berplat hitam mendekat. Bocah itu berlarian lebih kencang dan berebutan mendekati mobil itu dengan beberapa temannya yang baru saja datang. Ia berpikir kalau-kalau ada seorang bersaku tebal di mobil itu yang mungkin berbaik hati membeli koran-korannya dengan tidak mengharapkan kembaliannya, namun mobil itu menyerobot tanpa memperdulikan rambu merah itu apa lagi mendengar teriakan parau bocah itu.
Sepanjang hari itu seperti hari-hari kemarin ia terus berlari dan menawarkan koran-koran yang ada di tangannya tanpa kehilangan semangatnya. Bocah itu tidak memperdulikan waktu sekolah seperti bocah-bocah lain yang diantar sopirnya dengan mobil mentereng yang sering melintas di depannya. Bocah itu tak pernah memikirkan tugas mata pelajaran sekolah yang harus diselesaikannya seperti bocah-bocah lainnya. Ia tak pernah kecap pahit manisnya dunia pendidikan. Ia juga tidak pernah tahu apakah pendidikan itu sebuah kewajiban atau hak setiap orang.Yang bocah itu tahu hanyalah bagaimana mendapatkan sedikit uang untuk membeli dua bungkus nasi dan dua gelas aqua untuk dirinya dan neneknya yang rentah. Di benaknya hanya dipenuhi tanya hari itu akan makanan apa atau makan dimana ia bersama neneknya. Tidak ada pertanyaan lain selain pertanyaan ini setelah kepergiaan ayahnya sewaktu ia masih bayi karena tragedi di Timor Leste. Ia hanya mendapatkan satu-satunya sandaran hidup pada neneknya setelah ibunya meninggal dilumat penyakit lever dua tahun lalu. Saat ini neneknyalah satu-satunya keluarganya di Timor Barat, karenanya sudah dua tahun ia yang harus menjaga neneknya yang mulai pikun akibat termakan usia dengan bekerja sebagai loper koran.
********
Mendung pagi ini tak bersahabat disambut deras hujan yang menghantam keras bodi kendaraan diiringi bunyi robekan petir yang bergelegar menggoncangkan jantung orang-orang yang ada di tempat itu. Seolah hujan pagi itu sedang mengadakan aksi protes bagi tiap kendaraan yang berhenti di perempatan itu. Seolah butiran-butiran hujan itu tidak ingin melihat dan mendengarkan suara bising di tempat itu.
Bocah itupun tak berada di tempat itu pagi ini tidak seperti biasanya. Mungkin hari ini ia lagi beristirahat dari kerjanya. Atau mungkin ia sedang sakit atau apalah yang membuat bocah loper koran itu tidak tampak batang hidupnya dengan tampangnya yang belepotan itu. Padahal pagi ini banyak motor dan mobil yang berhenti di persimpangan itu. Bahkan ada yang tetap berhenti walau lampu hijau rambu itu telah bernyala. Anehnya pagi ini banyak orang yang berkerumunan dengan suara gaduh di persimpangan jalan itu seperti kawanan semut yang lagi mendapatkan sumber gula. Gerombolan orang itu tak menghiraukan bunyi petir ataupun derasnya hujan pagi itu.
Di bawah kaki orang-orang itu meleleh cairan warna merah memenuhi badan jalan itu. Seperti cat merah atau kesumba warnanya yang bercampur dengan air hujan di permukaan aspal itu. Tapi baunya tak seperti bau cat. Baunya juga tak seperti bau kesumba. Baunya tajam menyengat. Ada segerombolan lalat berkerumunan menghisap-hisap warna itu. Apa gerangan warna itu? Itu sepertinya darah. Ya bau itu tercium seperti bau darah segar. Benar itu darah setelah didekati dan dipandang dari dekat. Itu darah manusia. Di sana ada garis putih melingkar yang mulai terhapus hujan di pagi itu. Itu garis polisi. Itu tempat kecelakaan. Siapa gerangan yang mengalami kecelakaan itu? tanya seorang wartawan kepada seorang yang berseragam polisi. Sebelum sempat dijawab pertanyaannya, ia menerobos masuk kumpulan orang-orang itu. Di sana ia menemukan seorang nenek paruh baya sedang menatang seonggok daging yang tak jelas lagi tampangnya sambil histeris dalam isaknya. Hanya tertinggal sehelai baju usang yang masih utuh tapi telah kehilangan beberapa kancingnya yang masih setia membungkus onggokan daging yang telah hancur dipenuhi darah segar sumber bau tadi.
Bocah itu pun menutup kisah pedih hidupnya tanpa ada yang mengetahuinya atau tanpa ada yang mau mengetahuinya sebagai seorang loper koran di persimpangan jalan itu dengan meninggalkan sebuah kisah akhir hidupnya di halaman depan koran yang menjadi teman setia selama hidupnya.
Inilah petikan headline koran yang mengabadikan kisah akhir hidupnya,
“seorang bocah loper koran yang dikenal dengan nama edy (9), tewas digilas sebuah mobil Avansa, kemarin pagi, 2 Maret di ruas jalan Eltari I. Ia tertabrak saat berlari melintasi jalan itu hendak mengantarkan korannya ke seorang yang hendak membeli korannya”. ***