Minggu, 28 Agustus 2011

BOCAH LOPER KORAN (cerpen)


by. Arky Manek

Terik mentari melayur kulit halusnya. Peluh  di wajahnya yang memerah itu mengalir mengusap sisa-sisa asap dari knalpot motor-motor dan mobil-mobil yang berseliweran sepanjang hari. Ia berlarian di persimpangan-persimpangan jalan itu, tak peduli betapa sengangarnya sengatan mentari siang itu. Disekanya dengan jari-jari tangan kirinya ingus yang mengalir tanpa henti dari hidung mungilnya sambil terus mengejar mobil-mobil dan motor-motor sekadar menawarkan jasanya. Saat kendaraan-kendaraan itu berhenti sejenak mematuhi rambu lalu lintas di persimpangan jalan Eltari itu, ia menghampiri seraya melihat-lihat dan berteriak lengking,
“Koran…koran…”
“beli ko om…., ibu berita koran hari ini menarik, beli ko..?”
pinta bocah loper koran yang bertampang amburadul itu kepada setiap orang yang sempat melempar pandang kepadanya sambil menyodorkan koran-korannya kepada para pengendara motor yang ada di depannya. Karena tak menghiraukannya ia bergegas menuju kepada para penumpang mobil umum (mikrolet). Semua penumpang menggelengkan kepalanya mengisyaratkan tak ada yang membutuhkan jasanya. Ia melihat sopir mikrolet itu lagi memandangnya lewat spion mobilnya, spontan ia mendekatinya dan berdiri di samping pintu kanan mobil itu,
mau beli ko om sopir?
hei…babi… pergi sana..pikir cari uang gampang ko, atau lu mau kena falungku
hardik sopir itu dengan sebuah makian dan acuan kepalan tangannya membuat bocah itu gemetaran ketakutan. Bocah itu menjauh dari tatapan geram sopir itu dengan kekesalan di wajahnya. Tak jauh dari mikrolet itu, ia melihat ada sebuah mobil BMW silver yang menyisip di antara beberapa kendaraan di belakangnya. Dengan sisa kekesalan yang masih mencekam di dadanya dan rasa takut yang masih membuat bulu kuduknya berdiri akibat kerasnya makian dan ancaman sopir mikrolet tadi, ia mendekati mobil itu dengan penuh keraguan jangan-jangan ia mendapatkan penolakan yang setimpal seperti tadi.
Om mau koran ko?,
dengan nada suara yang tenggelam redam di balik kaca hitam mobil itu, ia menyapa om yang bertampang  konglomerat  itu. Namun suaranya tak kedengaran karena penghuni mobil itu lagi asyik komat-kamit dengan handphone blackberry yang tertempel erat di telinganya hingga menyumbat telinganya dari tanya bocah itu. Mobil itu pun bergegas pergi ketika isyarat hijau lampu itu bernyala menyisakan tawa kecil om tadi yang lenyap disapu bunyi  deru mesin mobil itu.
********
Udara basah menusuk sum-sum, disambut rintikan hujan pagi yang tak mengisinkan mentari menunjukkan tampangnya, membuat orang-orang masih setia berada di balik selimutnya. Jalan raya masih sunyi sepih, beberapa penjual sayur yang membawa sayurnya dalam gerobaknya menuju pasar.  Pintu pagar bank-bank dan toko-toko terdekat masih tertutup rapat. Flobamora mall, sebuah bangunan ternama di kota ini masih sepih dari pengunjung . Gedung-gedung perkantoran yang berjejer apik di dekat persimpangan jalan itu masih sunyi oleh para pegawainya. Dibalik kesunyian dan kesepian itu duduk bocah itu. Ia lagi menyandarkan bahu kecilnya pada batang pohon akasia yang rindang daunnya. Koran-koran ditaruhnya dipangkuannya. Rupanya bocah itu telah berada  lagi pagi itu seperti hari-hari sebelumnya menunggu keramaian yang mulai tampak di persimpangan itu.
Dengan sebuah sobekan kardus bocah itu melindungi mercu kepalanya yang masih lunak dari renyai hujan. Masih dengan tampang belepotannya dan tetap dengan semangat yang sama, ia mulai mengejar motor-motor dan mobil-mobil yang telah ramai di persimpangan jalan raya itu. Di persimpangan jalan itulah ia menggantungkan hidupnya. Hidupnya hari itu ditentukan berapa banyak koran-koran itu terjual. Itu yang menuntutnya harus berada di tempat itu sebelum ayam-ayam turun dari pohon dan mencari makan.
Bocah itu terus mencari pembelinya dengan berbekalkan senyum kepolosannya. Saat ia berlari terburai beberapa ruas rusuknya dibalik bajunya. Baju usang penuh bercak-bercak hitam asap kendaraan berpadu keringatnya itu telah  copot beberapa kancingnya entah karena ditarik kawannya saat berebutan mendapatkan pembeli atau karena benang-benang kancing itu yang telah lapuk terpanggang matahari atau karena busuk terkena keasaman hujan.
Dengan terengah-engah usai berlari, ia menghampiri sebuah mobil berplat merah sekadar menawarkan jasanya,
ibu… koran ini hari beritanya talalu bagus-bagus, beli be pu koran do
Bocah itu merayu-rayu seorang ibu berpakaian dinas yang duduk manis di mobil itu dengan tampang merah merona lipstik di bibir tebalnya. Alis mata yang dicukur tipis, meniru gaya beberapa artis ternama. Kepada beberapa om yang juga berada di mobil itu, dengan pakaian dinasnya,  bocah itu pun menyodorkan korannya,
om mau beli koran ko?”
Pinta bocah itu dengan suaranya yang gemetaran karena kedinginan. Dalam benaknya, ibu dan bapak-bapak itu selain memiliki uang, juga membutuhkan informasi-informasi yang lagi hangat dibicarakan oleh masyarakat di kota ini. Berita-berita yang walau telah usang namun tetap aktual karena terus berkutat seputar  skandal politik, ekonomi, perselingkuhan, pembunuhan, olahraga hingga dunia entertainmen yang menampilkan perilaku-perilaku  aneh dari para artis yang kadang menghipnotis beberapa penggemarnya untuk meniru modenya. Mungkin juga menjadi idola ibu berbibir tebal beralis tipis tadi. Bagi bocah itu pastilah menarik untuk dibaca oleh mereka. Tiba-tiba tukas wanita dari dalam mobil itu,
“itu berita-berita dong katong su tau”
“belum baca kok bisa tau ibu?”
sambar anak itu dengan polosnya. Tanpa menjawab bocah itu, terlanjur mobil itu pergi saat lampu hijau di pojok persimpangan itu bernyala.
Berselang beberapa menit, ketika lampu merah rambu itu menyala, sebuah mobil mentereng berplat hitam mendekat. Bocah itu berlarian lebih kencang  dan berebutan mendekati mobil itu dengan beberapa temannya yang baru saja datang. Ia  berpikir kalau-kalau ada seorang bersaku tebal di mobil itu yang mungkin berbaik hati membeli koran-korannya dengan tidak mengharapkan kembaliannya, namun mobil itu menyerobot tanpa memperdulikan rambu merah itu apa lagi mendengar teriakan parau bocah itu.
Sepanjang hari itu seperti hari-hari kemarin ia terus berlari dan menawarkan koran-koran yang ada di tangannya tanpa kehilangan semangatnya.   Bocah itu tidak memperdulikan waktu sekolah seperti bocah-bocah lain yang diantar sopirnya dengan mobil mentereng yang sering melintas di depannya. Bocah itu tak pernah memikirkan tugas mata pelajaran sekolah yang harus diselesaikannya seperti bocah-bocah lainnya. Ia tak pernah kecap pahit manisnya dunia pendidikan. Ia juga tidak pernah tahu apakah pendidikan itu sebuah kewajiban atau hak setiap orang.Yang bocah itu tahu hanyalah bagaimana mendapatkan sedikit uang untuk membeli dua bungkus nasi dan dua gelas aqua untuk dirinya dan neneknya yang rentah. Di benaknya hanya dipenuhi tanya hari itu akan makanan apa atau makan dimana ia bersama neneknya. Tidak ada pertanyaan lain selain pertanyaan ini setelah kepergiaan ayahnya sewaktu ia masih bayi karena tragedi di  Timor Leste. Ia hanya mendapatkan satu-satunya sandaran hidup pada neneknya setelah ibunya meninggal dilumat penyakit lever dua tahun lalu. Saat ini neneknyalah satu-satunya keluarganya di  Timor Barat, karenanya sudah dua tahun ia yang harus menjaga neneknya yang mulai pikun akibat termakan usia dengan bekerja sebagai loper koran.
********
Mendung pagi ini tak bersahabat disambut deras hujan yang menghantam keras bodi kendaraan diiringi bunyi robekan petir yang bergelegar menggoncangkan jantung orang-orang yang ada di tempat itu. Seolah hujan pagi itu sedang mengadakan aksi protes bagi tiap kendaraan yang berhenti di perempatan itu. Seolah butiran-butiran hujan itu tidak ingin melihat dan mendengarkan suara bising di tempat itu.
Bocah itupun tak berada di tempat itu pagi ini tidak seperti biasanya. Mungkin hari ini ia lagi beristirahat dari kerjanya. Atau mungkin ia sedang sakit atau apalah yang membuat bocah loper koran itu tidak tampak batang hidupnya dengan tampangnya yang belepotan itu. Padahal pagi ini banyak motor dan mobil yang berhenti di persimpangan itu. Bahkan ada yang tetap berhenti walau lampu hijau rambu itu telah bernyala. Anehnya pagi ini banyak orang yang berkerumunan dengan suara gaduh di persimpangan jalan itu seperti kawanan semut yang lagi mendapatkan sumber gula. Gerombolan orang itu tak menghiraukan bunyi petir ataupun derasnya hujan pagi itu.
Di bawah kaki orang-orang itu meleleh cairan warna merah memenuhi badan jalan itu. Seperti cat merah atau kesumba warnanya yang bercampur dengan air hujan di permukaan aspal itu. Tapi baunya tak seperti bau cat. Baunya juga tak seperti bau kesumba. Baunya tajam menyengat. Ada segerombolan lalat berkerumunan menghisap-hisap warna itu. Apa gerangan warna itu?  Itu sepertinya darah. Ya bau itu tercium seperti bau darah segar. Benar itu darah setelah didekati dan dipandang dari dekat. Itu darah manusia. Di sana ada garis putih melingkar yang mulai terhapus hujan di pagi itu. Itu garis polisi. Itu tempat kecelakaan. Siapa gerangan yang mengalami kecelakaan itu? tanya seorang wartawan kepada seorang yang berseragam polisi. Sebelum sempat dijawab pertanyaannya, ia menerobos masuk kumpulan orang-orang itu. Di sana ia menemukan seorang nenek paruh baya sedang menatang seonggok daging yang tak jelas lagi tampangnya sambil histeris dalam isaknya. Hanya tertinggal sehelai baju usang yang masih utuh tapi telah kehilangan beberapa kancingnya yang masih setia membungkus onggokan daging yang telah hancur dipenuhi darah segar sumber bau tadi.
Bocah itu pun menutup kisah pedih hidupnya tanpa ada yang mengetahuinya atau tanpa ada yang mau mengetahuinya sebagai seorang loper koran di persimpangan jalan itu dengan meninggalkan sebuah kisah akhir hidupnya di halaman depan koran yang menjadi teman setia selama hidupnya.
Inilah petikan headline koran yang mengabadikan kisah akhir hidupnya,
“seorang bocah loper koran yang dikenal dengan nama edy (9), tewas digilas sebuah mobil Avansa, kemarin pagi, 2 Maret di ruas jalan Eltari I. Ia tertabrak saat berlari melintasi jalan itu hendak mengantarkan korannya ke seorang yang hendak membeli korannya”. ***


PENYESALAN (cerpen)


by. Arky M



SAAT kelopak mataku terkatup erat, sayup sapa menghampiriku. Lemah nafas mengeja kata “Jesen.!! masih ingat aku?”.
Lengking jauh teriakan jengkrik beradu suara yang menyapa namaku menerobos gendang telingaku. Lolongan anjingpun menghardik pergi sayu bisikan itu saat kuterjaga. Pelan-pelan kuangkat kedua kelopak mataku yang tertindih berat rasa kantukku. Radar telingaku mencari mulut pemilik suara yang kukenal itu. Fokus retinaku menangkap gerakan bayangan yang sedang menempel pada kaca jendela rumah dinding itu. Samar terlihat sepotong bayangan mirip bayangan manusia. Bayangan itu beku menatapku. Aku bisa melihatnya saat secercah binar rembulan malam menyisip tirai jendela yang telah sobek..
aku tercengang saat mataku memelototi lambaian tangan bayangan hitam itu. Lambaian yang sulit ditaksir. Tanya bergejolak di kepalaku, entakah lambaian itu pertanda perjumpaan ataukah perpisahan. Gejolak rasa kembali merebak dalam batinku saat tangan itu melambai. Memori laluku kembali hadir membawaku kembali kepada luka lama yang pernah kuciptakan dulu. Kini luka itu kembali ternganga. Luka duka malam ini bercampur rasa takut yang memenjarakan keberanianku.
Badanku merinding mendengar lolongan anjing yang mungkin mencium aroma hadir bayangan itu. Bayangan yang kukenal walau dalam gelita malam.
Apakah aku sedang bermimpi?”
Kugigit daging tanganku untuk memastikannya.
“Ahkkk....”
gigi taringku mencabik sepotong kulit tanganku.
“Ini kenyataan, bukanlah bunga tidur”,
tensi denyut jantungku melonjak.
“Mengapa bayangan itu datang menggangguku?”
batinku mengadu.
“Apakah karena aku membayangkan wajahnya kala aku membaringkan kepalaku tadi?”
Smirna gadis blasteran Thionghoa-Timor yang telah mengisi hatiku enam tahun lalu. Ia hadir dalam memoriku senja tadi. Entah mengapa aku kembali memutar episode demi episode kisah lalu. Wajahnya tidak pernah terhapus dari benakku. Aku masih mengingat secara rinci gurat-gurat wajahnya. Lesung pipinya kala ia tersenyum. Bias aura kecantikannya saat terburai rambut ikalnya. Keceriaannya tak mengenal duka. Semangat hidupnya. Semua kelebihannya itu telah mengurung aku dalam rasa cintaku padanya. Cinta yang membuat aku sulit melupakannya. Tetapi juga cinta yang pada tepiannya menjelma menjadi dukalara. Kehangatan rasa yang dulunya membakar jiwa berujung pada kematian jiwa.
Ia datang malam ini hanya dalam rupa bayangan. Mungkin ia hanya mengirimkan bayangannya untuk menyampaikan pesan kepadaku. Atau mungkin juga ia tak sudih menampakkan wajah aslinya yang bersembunyi di balik tiarai itu.
Bayangannya itu membangkitkan lagi kenangan masa silam. Membongkar kembali kisah duka yang mulai mengering. Mulut-mulut luka kembali ternganga. Ingatan kisah pedih mengeruak dari tumpukan hiburan kosong yang coba menguburnya.
Episode duka kembali berputar, membangkitkan amukan hati yang terpendam. Hati yang berusaha bertahun-tahun belajar untuk melupakannya. Pigura wajahnya yang sengaja kutelungkupkan sekedar  mempercepat lupaku, dibaliknya lagi pada dinding yang mulai jenuh menyaksikan deritaku.
 “Smirnaaaaa………..!!!”
Kuteriaki namanya sekuat tenaga untuk memuntahkan rasa takutku. Terasa seluruh energi dan rasa penyesalanku terhempas ke luar. Suaraku malam itu mengagetkan se-isi kampungku. Anjing-anjing yang lagi pulas tertidur pun terkejut setentak melolong menyambar teriakanku.
Ku merengek agar bayangan itu jangan lekas lenyap, bak anak kecil yang minta disusui ibunya. Aku hendak bersujud dibawah telapaknya seraya memohon ampunnya. Kuteriaki namanya berulang kali, namun bayangannya pergi sebelum lenyap gaung suaraku. Entah ia takut padaku atau sekedar mau menakut-nakutiku. Kepergian bayangannya itu meninggalkan aroma parfum cazablanca dan bau amis yang masih tercium.
Aku masih dapat mengenal bau amis itu. Bau amis darah yang menempel ditubuh Smirna ketika terjadi tabrakan maut di depan sebuah Kapel yang sering kami kunjungi enam tahun lalu. Kapel yang menjadi tempat awal rasa kami saling terpaut. Tempat dimana gejolak rasa terungkap dan jalin cinta kami berpadu. Tempat dimana kami betekuk lutut memohon restu Sang Khalik.
Kapel itu juga yang menjadi saksi kematian tragisnya. Smirna dan motor legendanya digilas sebuah mikrolet. Entah mengapa terjadi kecelakaan itu. Aku masih mengingat sejam sebelum kecelakaan itu terjadi pertengkaran aku dan dia di senja itu.
Kala itu ia menghampiriku dan ia berkata lirih,
Sayang aku hamil
Aku terkejut bagai disambar halilintar di siang bolong kala mendengarnya.
“kamu harus bertanggungjawab. Kita harus segera menyampaikannya kepada kedua orang tuaku dan orang tuamu. Sesegera mungkin juga kita mengurus pertunangan dan pernikahan kita” katanya lirih.
“aku belum siap…!” tukasku.
“Mengapa belum siap? Aku tidak mau tahu. Kamu dan aku harus menerima semua konsekuensi dari hubungan kita selama ini”
Ia memegang erat tanganku sambil terus menghujani telingaku dengan pertanyaan yang sama. Bahuku  diguncang-guncangnya. Aku menepis kedua tangannya. Badanku mulai gemetaran. Dentuman jantungku mengencang. Urat-urat nadiku mengembang. Kepalaku terasa pening. Kesadaranku mulai surut. Emosiku memuncak dan tak terasa tanganku mendarat di wajahnya,
Prakkk…
“segera gugurkan anak itu, aku tidak mau tahu”.
“gugurkannnn…..!!!!”,
Teriakanku melengking sambil bunyi keras bantingan pintu menutup pertengkaran kami. Aku keluar meninggalkannya sendiri yang masih terisak-isak mendengar kata-kataku.
Kini aroma parfum dan darah itu hadir, menggores lagi rasa bersalahku. Ia tidak akan pergi jika aku tidak bersihkeras menyuruhnya menggugurkan janin hasil paduan nafsu kami. Nafsu yang tak bernutrisi cintaku. Semua ini salahku. Itu bukan sebuah kecelakaan murni. Akulah penyebab kematiannya. Ia mengalami tekanan antara nurani keibuannya dan vonis kehidupan yang bakal mencaci-maki dirinya sebagai perempuan jalang.  Mungkin ia ke Kapel itu hendak memohon ampun pada Tuhan atas dosaku. Atau pula ia memilih tewas di depan rumah Tuhan untuk mengaduh nasipnya lantaran tak sudih menanggung derita. Derita ulah laki-laki keparat seperti aku yang telah menidurinya lantas tak siap menikahinya.
Akulah penyebab kematiannya. Ia mati karena nuraniku telah mendahului kematian ragaku. Mungkin ia datang kembali malam ini untuk menuntut pertanggungjawabanku.
Setelah kepergiannya baru kusadari kalau sebagian jiwaku telah mati. Menghirup nafas kehidupan tak ada gairah rasanya. Setiap tarikan nafas bak menelan racun. Setiap sentakan detik jam dinding terdengar bagaikan palu vonis sang hakim.
Luka salah itu telah membekas di dalam sejarah yang tak bisa kuhapus. Sempat memori masa silam itu ingin kulenyapkan. Namun disaat aku berusaha melenyapkannya, justru memoriku semakin tajam mengingatnya. Tak sedikitpun kisahku dan dia dapat kuusir. Kenangan itu terus hadir, seolah kembali terulang. Bayangan kematiannya terus mencabik-cabik rasa sesalku. Aku laksana terjebak dalam lingkaran waktu. Waktu yang tak memberi ruang agar aku dapat menebus kesalahanku. Kini aku terpenjara dalam ruang penyesalan.

TAU BETA TOW (Humor)


 by. Yansen Koi



Arao Lesek yang baru berumur tiga tahun sangat dimanjakan oleh ba’inya, Ba’i Baba . apa saja yang yang dimintanya selalu diberikan kepadanya.
Pada suatu kesempatan Arao Lesek bertanya kepada ba’inya.
Arao Lesek : “Ba’i…..! satu tambah satu hasilnya berapa?”. (Tanya Arao penuh rasa ingin tahu)
Ba’i Baba :  “ow… dulu waktu ba’i dong sekolah, satu tambah satu hasilnya dua. Tapi sekarang ba’i kurang tahu. Mungkin satu tambah satu hasilnya su tiga atau sekitar empat dong.”
Arao Lesek : “weeee….., ternyata ba’i pintar ju ew.!”
Ba’i Baba : “ Tau beta tow….. ko beta na.!”

HATI-HATI DI JALAN (humor)


by. Yansen Koi

Suatu hari Pak Tinus jalan-jalan di sekitar kampung Batas Babatu Mangan. Ia merasa heran karena hari itu tak seorangpun yang ada di kampung itu. Tiba-tiba ia bertemu dengan Pak Talo yang baru pulang dari tempat gali batu mangan. Keduanya saling bertegur sapa, namun keduanya sama-sama mengalami gangguan pendengaran (tuli telak), percakapanpun dimulai;
Pak Tino : “lu mau pimana brow??” (disertai gerakkan tangannya)
Pak Tinus : karena mengerti maksud gerak tangannya ia menjawab “saya mau jalan-jalan dow brow. Trus brow mau pi mana?” (tanpa ada gerak tubuh).
Pak Tino : aiiiiii…….. saya malas, brow.!!
Pak Tinus : “okey brow. Hati-hati di jalan.” 







Semoga Bisa Datang Pagi (puisi)


by. Umbu Tibu


Kidung ini hadir, tatkala gerimis baru saja redah
Sepoi berhembus mengusap ranting patah
Dedaunan tua luruh membelai bumi yang basah
Senyap melambai sisakan gerimis yang indah

Iapun hadir saat kalbu lagi kau miliki
Menerawang diatas hamparan rumput teki
Saat kau melintasi zaman kepedihan
Pada ranting pohon kau beri salam
Berharap dedaunan jangan terus berguguran
Agar keteduhan tak segera kalam

Kau memang putera bangsa
Tapi terusir dari kedamaian jiwa tanpa harapan
Bola mata letih memandang sabana
Yang nyaris tak kenal kasihan

Hidupmu kini hanya mengernyitkan dahi
Rencana besar di kepala menguap
Kembang adat engkau raup
Moga malam hari hidupmu cepat membawamu pergi
Semoga bisa datang pagi