Senin, 21 Maret 2011

cerpen Mungil

GAYA RENANG

Setelah berlatih renang di sebuah kolam melalui bantuan buku-buku renang, Sony dan Agus bersiap-siap pergi ke laut. Mereka membawaserta ban dalam dan empat butir kelapa tua. Sesampai di sana mereka meletakkan ban dalam dan kelapa-kelapa di pasir pantai dan Sony diminta Agus memprakatekkan gaya katak yang baru saja dipelajari. Tanpa pikir panjang Sony langsung terjun ke dalam air dan mulai berenang dengan gaya katak. Melihat bahwa Sony sudah sangat trampil maka Agus memberi perintah lagi. Kali ini Sony di suruh mempraktekkan gaya udang. Udang itu artinya mundur dengan menggunakan belakang. Karena mendengar perintah itu dua kali, maka Sony terus memacu dayanya sesuai gaya udang. Setelah berhasil dengan gaya itu. Agus memberi tepukan tangan kemudian meminta Sony untuk kembali. Saat mau kembali Agus melihat Sony menggunakan gaya yang tidak dipelajari mereka dari buku teori renang. Agus bertanya-tanya, gaya apakah itu? Agus keheranan dengan Sony. Gaya ini luar biasa, begitu kata Agus. Setelah menunggu beberapa lama Agus terus memberi pujian. Agus terheran-heran dan karena itu pujian tak pernah berhenti dari mulutnya. “Wow, ini benar-benar gaya seorang yang ahli”. Seketika Agus melihat lagi Sony muncul dengan gaya yang lebih fantastis lagi. Ternyata ini membuat decak kagum Agus bertambah. Agus tak henti-hentinya memuji Sony yang kali ini mempraktekkan gaya telungkup. Agus tak tahu darimana Sony mempelajari gaya-gaya itu; menghilang begitu lama, kemudian muncul lagi dan seperti tertidur santai di atas air dengan tangan terentang tanpa harus tenggelam. Ini luar biasa buat Agus yang tak mempelajarinya di buku teori renang.
CERPEN CHRISTO NGASI

SANDAL jepit itu masih tersusun rapi bersama beberapa sepasang sepatu. Rak sepatu yang sudah mulai kusam, tetap berada pada tempatnya di sudut kiri ruangan tamu. Usia rak sepatu dan sandal jepit itu sudah cukup tua. Aku selalu bertanya kepada ibuku mengapa sandal jepit itu tidak digunakan? Ibu tak pernah menjawab sepatah katapun, kecuali tangisan. Kakak pertamaku yang saat ini study di negeri kincir angin juga tak mengetahui mengapa sandal jepit itu tak digunakan. Aku terkadang nakal dan mencoba sandal jepit itu saat ibu berbelanja ke pasar. Aku tak merasakan sesuatu yang berarti dari sandal jepit itu selain rasa penasaran yang terus kusimpan dalam hatiku. Pernah satu kali sandal jepit itu dibawa oleh anjing kesanyangan kami mopi, namun ibu dengan cepatnya merampas dan meletakkan kembali. Ibu bahkan mencuci dan meletakkan pada plastik. Sandal jepit itu berwarna putih polos dengan dasarnya berwarna hitam kecoklatan. Sandal jepit itu berbeda dengan sandal-sandal yang lain, model dan bentuknya bisa dikenakan saat perjalanan, tamasya atau ke pasar.

***

Ketika bulan april tiba, ibu selalu mempersiapkan sesuatu yang istimewa dalam rumah kami, bulan april menjadi sejarah tersendiri dalam keluarga kami. Semua penghuni rumah berulang tahun dibulan april hanya berbeda tanggal dan tahun. Kami selalu sepakat merayakan pada tanggal 15 april, tanggal yang berada pada titik keadilan antara 1 dan 30. Ibu mempunyai ujud kusus di tahun ini, kakak Diana juga demikian dan aku memiliki permohonan yang tak pernah surut dalam hidupku “semoga Laura dapat menerima cintaku”. Mataku masih tertutup dan tanganku terkatub pada dadaku sementara ibu dan kakak Diana setia memandangiku dan tertawa kecil.

“Hahaha…, bu coba lihat anak ibu yang satu ini, doanya membuat Tuhan bosan karena memohon hal yang sama”. Kakak Diana menggangu konsentrasiku, seketika mataku terbuka dan Ibu tak lagi menahan tawanya. “ jangan begitu Diana…, lihat muka adikmu murung saat hari bahagian ini” Ibu menasehati ka Diana sambil memelukku. “Sory…sory!!! Hari gini cengeng….kasihan deh lho” canda ka Diana kepadaku dengan meniru gaya artis. “Oooo…tapi adikku ini orang paling ganteng di dunia” puji ka Diana membuat akar jiwaku yang mulai layu seketika tumbuh subur dan menghasilkan buah. “ Rony tadi kamu memohon apa kepada Tuhan di usiamu yang ke-19 tahun ini???” Tanya Ibu penasaran. “Aku berdoa semoga dapat bertemu Laura” jawabku dengan penuh semangat. “ Laura sudah tidak ada lagi di sini orang tuanya sudah pindah ke Surabaya” jawab Ibu meyakinkanku. “Aku sudah tahu Ibu…, tapi tak ada salahnya jika harapanku tak pernah mati seperti harapan ayah supaya aku seperti anak-anak lain yang normal!!!” Suasana seketika berubah dengan suara tertahan pada tenggorokan. Aku mencairkan suasana dengan mengoleskan mentega kue pada pipi ibu dan ka Diana. Hahaha…suasana kembali ceriah bak burung-burung Gereja menyambut pagi.

Dari kedua saudaraku, akulah yang paling banyak menderita dengan sakit yang menderaku selama bertahun-tahun. Aku tahu bahwa aku lahir sebagai bayi prematur dengan rentang sakit yang tinggi. Terakhir kali aku masuk rumah sakit tempat dimana ka Diana bekerja, di sana aku menempati satu ruangan yang bernama flamboyan. Di kamar itu terdapat dua tempat tidur yang sejajar. Awalnya hanya aku sendiri yang menempati, setelah dua hari berlalu, sesosok gadis cantik juga menempati kamar itu. Namanya Laura. Aku selalu mengingat Laura walau dua tahun telah berlalu, ia selalu memberikan kekuatan bagiku saat aku sakit. Senyumannya seakan menghapus semua sakit yang kualami. Aku serasa ingin sakit kembali supaya dapat menempati ruangan itu. Ka Diana pernah memberitahukan kepadaku bahwa Laura anak dari dokter I Made telah pindah ke Surabaya bersama ayahnya. Tak pernah aku gubris pemberitahuan itu tapi selalu ada harapan bahwa Laura akan kembali. Laura pernah berucap bahwa kami akan bertemu nanti setelah keluar dari rumah sakit.

Bunga mawar milik bu Monika tetangga kami sudah bermekaran dan memberikan aroma kesejukan jiwa, tampak kupu-kupu berterbangan dengan wariasi jenis dan warna yang menyerupai puluhan warna baju milik pak Muklis penjual sayur keliling. Sudah dari kemarin ibu membereskan rumah dan aku membersihkan kloset WC serta membersihkan sarang laba-laba sementara ka Diana mengganti gorden lama dengan yang baru. Satu hal yang tidak pernah berubah dari tempatnya yakni rak sepatu dan sandal jepit itu. Siang tepat pukul 13:00 kakakku Andre datang dari negeri kincir angin. Tak lama berselang ka Andre tampak dihadapan kami ia mencium ibu dan memintah berkat, ka Andre memelukku erat dan menitihkan air mata. Ia tak menyangkah aku sudah tumbuh dewasa. Sejak ayah meninggal sepuluh tahun lalu, ka Andre langsung menuju negeri kincir angin untuk menimbah ilmu atas behasiswa yang diraihnya. Ka Andre sudah menetap dan bekerja di negeri kincir angin sejak lima tahun lalu. Ka Andre menuju rak sepatu dan mengangkat sandal jepit itu, ia membuka sepatunya dan mengenakan sandal jepit itu. Tatapanku tak terpejamkan, aku ingin melihat reaksi ibu. Ibu tampak kaget. Ibu menarik tangan ka Andre dan memeluknya erat dan tangisan jelas tergambar dari hujan air mata.

“Duduk…, dulu ka” Ajak ka Diana.” Sebentar saya buatkan minum. Kakak pasti capek”.

“Ibu mengapa menangis…,harusnya kita bahagian karena kakak datang.” Ka Andre menarik tanganku dan duduk disampingku. Ibu tertunduk tanpa memadangiku. Ka Andre ingin mengisahkan sesuatu yang sudah ia ketahui dari teman ayah. Ada sesuatu dibalik sandal jepit itu. Ibu tak tahan dan seketika menjauh. Ka Diana mendampingi ibu dan kembali kami bersama dan Ka Andre mengisahkan. Sandal jepit ini adalah sandal pembelian ayah. Ayah membelinya saat kamu sakit dan tak sadarkan diri. Waktu itu usia kamu sepuluh tahun….,seketika cerita terhenti. Ibu terus menangis. Ayah meninggal untuk memenuhi keinginanku memiliki sandal jepit yang sama dengan yang dikenakan ayah. Ayah harus pergi dengan cara yang tak diinginkannya. Ayah meninggal di gilas mobil tepat berada di depan rumah sakit. Ibu adalah saksi pertama yang melihat ayah terkapar. Satu pesan ayah sandal ini dijaga. Aku tak tahu bahwa ayah meninggal karena kejadian itu. Selama ini yang kuketahui bahwa ayah celaka saat mengendarai mobil. Ka Diana sendiri baru mengetahui bahwa ayah meninggal karena digilas mobil. Ibu menyimpan semuanya ini dalam hatinya dan selalu sedih ketika melihat sandal jepit itu. Aku sendiri tak tahu bahwa aku pernah memintah ayah membeli sandal jepit itu. Ukurannya besar dan jika aku kenakan saat usia sepuluh tahun tidaklah pas. Ayah membeli dalam keadaan terburu-buru karena aku sudah mendapat sakramen terkhir dari Pastor. Sandal jepit dengan ukuran kaki ayah. Inilah kisah dibalik sandal jepit yang baru kuketahui. Aku berdoa setiap malam untuk ayah. Sandal pembeliannya seakan menandakan kepergiannya yang jauh dan membutuhkan alas kaki.

***

Kebahagiaan sebulan bersama ka Andre sungguh terasa. Ibu kembali menitihkan air mata saat ka Andre berpisah bersama kami di bandara. Untuk menghapus kesedihan ibu saat memandang sandal jepit itu, ka Andre mengambilnya dan membawa ke negeri kincir angin. Ibu merelahkan. Kali ini ujud doaku bertambah, doa buat ibu dan saudaraku, doa mohon kehadiran Laura dan doa buat ayah. Malam diawal bulan November, ibu tidur mendampingiku, saat itu badanku mulai panas dan kakiku kejang-kejang. Ka Diana mengobatiku dan aku tenang. “ Bu kalau besok ibu ke pasar tolong belikanku sandal seperti yang ayah beli”. Pintahku. “ Sandal itu sudah tidak dijual lagi, yang ada hanya bentuk lain”. Jawab ibu “ Coba ibu tanya saja pasti masih ada”. “Baiklah…., besok ibu belikan kalau ada”. Janji ibu membuat aku tersenyum dan memujinya” Ibu orang terbaik di dunia. Bu sebelum tidur kita doa bersama, aku mengangkat doa. Dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus…., Tuhan terimakasih Engkau sudah menjaga kami semua, diakhir hari ini kami hendak beristirahat lindungilah mama, ka Diana, ka Andre, aku dan jagalah Ayah di Surga supaya mendoakan kami. Tuhan semoga Laura kembali kepadaku. Terimakasih Tuhan. Amin.

Pagi datang bersama gerimis, dari kaca jendela kupandang ke luar, bu Monika sedang mengangkat pot bunganya. Seperti biasa aku bangun dan mandi, kali ini aku tampil rapi dengan kemeja putih lengan panjang. Ka Diana sudah menyiapkan susu dan roti untukku santap. Tak lupa obat yang rutin aku minum sejak usia lima tahun. Hari ini ka Diana mendapat tugas sore hari. “ Ibu Pulang agat lambat dari hari biasanya, dengan menenteng keranjang, tampak ibu membawa sandal jepit permintaanku “ Ini Rony sandal kamu”. “ ternyata masih ada juga sandal jepit model ini” sambung ka Diana. “ tinggal sepasang saja terselib dari ratusan pasang sandal”. “terimakasih Ibu” Aku menerima dan mengenakan. Ini permintaan terakhirku kepada Ibu. Badanku kembali panas dan kakiku kejang-kejang. Ka Diana memanggil mobil rumah sakit. Ruangan flamboyan menantiku. Aku masih sadarkan diri saat tetangga datang menjengukku. Mataku sayup dan berharap Laura berada di sampingku. Harapan dan doaku selama ini tak terkabulkan terkecuali sandal jepit pembelian ibu. Terakhir kali kawanku Christo dan pak Muklis penjual sayur datang menjengukku. Christo mengangkat sandal jepit kesayanganku dan meletakkan di samping kepalaku sesuai permintaanku. Aku meminta Christo mendoakanku, ibu datang bersama ka Diana. Dalam Nama Bapa, Putera dan Roh Kudus…,Amin. Dia yang aku harapkan hadir memberikan kekuatan tak kunjung datang. Laura…Laura nama yang aku sebut sebelum Pator datang memberikan minyak suci. Aku memandang para malaikat datang, beterbangan di sekelilingku, aku mencoba untuk teriak tapi tak bisa, mataku melotot namun aku tenang saat menghadapi sakrat maut. Di hadapan Pastor, ibu, ka Diana, perawat dan beberapa suster serta temanku Christo, aku bertemu sang Khalik. Tangisan kesedihan dari seorang ibu yang menangung duka memecahkan kesunyian ruang flamboyan. Bunda Maria…,tolong…tolong kami…Suara permohonan dari ka Diana. “Selamat jalan kawan” salam terakhir Christo. Sandal jepit mengalasi kaki Rony dalam perjalanan ke Rumah Bapa, semoga sandal jepit dapat menghalau duri-duri dunia sana….,( Semoga Laura Membacanya)

Komunitas Sastra Saint Mikhael

Fakultas Filsafat Agama

CERMUN (CERPEN MUNGIL)

OMONG KOSONG PADAMU
Januario Gonzaga

Sebelum makam yang kau tiduri mengeluarkan ampas-ampas makanmu semalam, aku ingin kau biarkan sejenak saat untuk aku bisa membawaserta anjing-anjing malas yang sejak siang tadi belum juga mendapat remah-remah dari meja kemiskinanku. Kau tak perlu kaget dengan lalakan mata mereka sebab busa-busa kelaparan sudah melilit seperti kaleng sarden tak mau keluar dari mulut dan hidung anjing berminggu-minggu lamanya. Tinggallah sejenak dengan perutmu yang kata orang saat kau mati sebagai lambang kemakmuran, padahal itu ampas babi yang kali ini lebih suka kusebut ampas anjing sebab memang anjingku suka ampas perutmu setelah kuberitahu tadi dan mereka mengangguk setuju karena lapar menderu-deru tanpa malu. Malam ini juga kami menuju kuburmu yang sudah tercium bau-bau ayam goreng, ikan rebus, babi guling, gule, bakso, usus ayam, juga tahimu. Anjing-anjingku melompat dari belakangku menerkam kuburmu lebih dulu, menghantam dengan kepalanya nisan yang basah sampai mencungkil-cungkil biji matamu, tanganmu, rambutmu tak ketinggalan juga otakmu. Sebelum kusampai kau sudah telanjang dengan sisa tulang yang masih kukenal itu kau. Aku memarahi anjing-anjing malasku sebab mereka belum mendengar perintahku ini, ‘makanannya ada di pinggir kubur’ mereka sudah ceroboh menghabisi tanah liat basah dan daging matimu. Aku kasihan padamu dan kupungut saja apel dari pinggir kuburmu yang tadi ditumpuk orang-orang berkerudung hitam sebagai tanda omong kosong padamu.