Selasa, 25 Oktober 2011

Catatan Harian Hujan Pertama


By. Dofri Bone


Hujan pertama untuk kesekian kalinya sejak kepergianmu. Dan seperti hujan-hujan pertama yang telah lewat, hujan pertama kali ini mengorek lagi kerinduan yang kupendam setiap waktu dalam hitungan detik, deti-detik penuh harapan akan pemenuhan janji bahwa kau akan datang pada hujan pertama. Janji yang kau ikrarkan saat kau memutuskan untuk meninggalkanku bersama mimpi yang belum usai menjelang fajar. Kucoba merangkai hujan-hujan pertama itu, kuanyam dalam satu musim penuh rindu yang menggigit.

Hujan Pertama Tahun Pertama
Kau putuskan untuk meninggalkanku, kauputuskan untuk meninggalkan benih yang kau semaikan di lahan rahimku. Demi aku dan anak kita, katamu. Dan kebanggaan keperempuananku membuatku rela melepasmu menyeberangi lautan yang tak kubayangkan seberapa banyaknya. Tujuh, menurut dongeng masa kecil yang kudengar dari nenek. Semua orang menganggapku perempuan paling beruntung. Keberuntungan yang diukur berdasarkan keputusanmu mengais nafkah sebagai tenaga kerja illegal ke negeri jiran. Keberuntungan yang ditakar berdasarkan kurs ringgit yang bila dirupiahkan akan mengubah angka-angka di rekeningku menjadi semakin besar nilainya.

Hujan Pertama Tahun Kedua
Kau kirimkan aku sepucuk surat. Aku tetawa, sampai-sampai orang sekampung menjadi heboh. Aku punya dua alasan untuk tertawa. Pertama, kau tahu aku hanya menamatkan sekolah dasarku, dan kau tuliskan aku surat dalam bahasa yang sangat tidak kumengerti. Bahasa inggris, demikian kata anak-anak SMP. Kedua, salah satu kalimat yang dibaca diterjemahkan kepadaku adalah ai lav yu, aku cinta kau. Ingin rasanya aku terbang melayang. Aku tak kuasa menahan mendungan kebahagiaan yang meluap dari mataku. Ingin rasanya aku berlari kepadamu dan meneriakkan ai lav yu juga. Aku bukan lagi menjadi perempuan paling beruntung. Aku telah menjadi perempuan paling hebat. Dan agar kau juga bisa membayangkannya, betapa bangganya anak kita yang baru berusia belum genap setahun ini bila kelak aku menceritakan kehebatanmu, kehebatan ayahnya. Suratmu membuatku lebih hidup. Aku bisa merasakan cintamu. Aku bisa menghirup aroma keringatmu lewat surat ini. Sepanjang hari ia tak pernah kulepaskan. Kuselipkan di balik kutang, agar selalu abadi sepertimu. Selalu di dadaku, selalu di hatiku.

Hujan Pertama Tahun Ketiga
Rumah mungil yang dulu kini telah menjadi istana mini seperti yang bisaa kulihat di layar teve.. Atap alang dan dinding bebak telah kuganti dengan seng dan tembok, sesuai permintaanmu. Dipan reyot bertikar lontar kamar kita telah kubuang. Yang ada sekarang adalah busa tebal yang bisa membuatmu tenggelam. Aku berani bertaruh, kau tak akan menyadari waktu jika tubuhmu sudah kau letakkan di sana. Untuk sementara hanya aku dan anak kita yang beranjak makin bertumbuh besar. Ia sudah bisa berlari-lari kecil, dan ranjang empuk kita dijadikan arena atraksi jurus-jurus aneh seperti yang dilihatnya dalam film-film laga. Sungguh lucu dan sehat. Lebih dari itu, kau akan segera kembali sebagaimana yang kau janjikan dalam surat terakhir beberapa waktu lalu. Bahwa kau akan ada di istana kecil kita saat hujan pertama tahun berikut, tahun depan.

Hujan Pertama Tahun Keempat
Penuh rindu aku menantikan kepulanganmu. Rasa-rasanya aku tak kuasa menahan gelora rindu yang menjungkirbalikkan segenap ruang hatiku. Dan agar kau tahu, segenap diriku, ujung kaki hingga ujung rambutku menantikan kepulanganmu. Aku tak lagi butuh tambahan ringgit tang dirupiahkan. Semua yang rutin kau kirim sejak kepergianmu telah cukup untuk hidup kita, termasuk untuk anak kita sampai ia mandiri kelak. Sedangkan untuk anak-anak berikut bisa kita siasati dengan usaha yang akan kau kelola ketika kau pulang. Tambahan lagi sebidang sawah yang sementara kita sewakan untuk tetangga akan segera kita ambil kembali dan kita garap sendiri. Hujan pertama sudah lewat beberapa pekan, tetapi kau belum kunjung tiba. Rinduku berubah gelisah. Seribu satu pertanyaan menghantuiku. Apa kau tak jadi pulang? Atau kau tersesat? Atau kau kebingungan saat tiba di rumah, namun kau tak mengenali rumah ini? Ah…, kau membuatku resah gelisah tak berujung.

Hujan Pertama Tahun Kelima
Kembali aku menunggu kepulanganmu. Demam rindu dan gelisah kadang dibumbui ketakutan tak pasti. Teman-temanmu telah pulang, mendapakan istri anak mereka. Sedangkan aku hanya bisa puas dengan surat yang kau titip lagi. Seribu pertanyaan kutitipkan lewat angin. Di mana kau berada? Mengapa janji yang kau tulis dengan indah di setiap suratmu tak jua kau tepati? Aku sampai lupa kepada siapa aku mesti mengadu asa. Lututku lelah menekuk di hadapan Tuhan. Tanganku lelah mengatup sembah menyebut namamu kepada Yang Maha Kekal untuk menghantarmu pulang ke rumah ini, pulang kedalam lautan kasih dalam bejana kecil rumah kita.

Hujan Pertama Tahun Keenam
Aku lelah dalam ketakpastian. Setahun sudah angka-angka rekeningku menyusut. Setahun penuh tak ada kabar darimu. Aku masih bisa menghibur diriku dengan sekedar meyakinkan diri bahwa kau terlampau lelah untuk menyempatkan sedikit waktumu mengantri di bank. Tetapi aku tak bisa tahan dengan ketiadaan surat-surat yang mengabarkan kerinduanmu serta kata-kata ai lav yu seperti yang sudah-sudah. Kadang-kadang sisi lain batinku mengatakan bahwa kau telah melupakanku, menghantarkan aku pada celah-celah cemburu dan curiga. Ah…, mengapa kaubiarkan aku memberi kesempatan untuk pikiran-pikiran konyol seperti ini? Cinta membutuhkan materi demi keberlangsungan hidup, namun lebih dari itu cinta membutuhkan engkau. Ya, aku membutuhkanmu. Bukan hanya aku, tetapi anak kita membutuhkan jawaban akan siapa dan bagaimana wujud ayahnya. Pertanyaan-pertanyaannya terlalu mudah untuk kujawab, tetapi begitu berat untuk dirasakan.

Hujan Pertama Tahun Ketujuh
Pernikahan denganmu dan hari-hari yang kulewati telah menempatkan aku pada seutas rantai sangsi. Siapakah aku, juga siapakah kau. Mahligai yang kita bangun demi suatu mimpi akan hari esok yang bahagia hanya bisa kurasakan sebulan, lalu diterbangkan angin dan dipermainkan musim selama bertahun-tahun. Aku jenuh. Kesepian mulai menggigit, tambahan anak kita telah kumasukkan ke sekolah dasar. Aku mulai berpikir untuk mengingkarimu. Tetapi cincin yang selalu melingkar di jari ini selalu mengingatkanku akan kata-kata Pastor saat mengukuhkan perkawinan kita di gereja. Satu dan tak terceraikan. Kudus, sakral, karena diikat oleh Tuhan. Karena itu apa yang disatukan Allah janganlah diceraikan manusia. Perkawinan kita merupakan lambang kesetiaan Allah dan manusia. Sampai di sini aku ingin berteriak kepada Tuhan. Kesetiaan macam apa yang dikehendaki oleh-Nya? Aku lemah. Dan aku bukan pula Paulus yang bisa bermegah dengan mengatakan ketika aku lemah maka aku kuat.

Hujan Pertama Tahun Kedelapan
Aku membutuhkanmu saat ini. Aku membutuhkanmu. Dalam kegalauanku menghadapi ketakpastian keberadaanmu kehadiran seorang pemuda berusaha membobol benteng imanku. Aku terguncang kini. Kesepian dan kekosongan jiwa, kebutuhan akan seseorang untuk mengisi ruang kosong itu, kebutuhan akan seseorang yang dapat menampung keluh kesahku, kegalauan menghadapi hidup yang tak pernah kuketahui apa aku bisa merasakan hari esok dan ribuan pertanyaan yang terus menderaku. Segenap perhatian yang diberikan pemuda ini telah mendobrak pertahananku. Hanya saja aku masih kuat bertahan dengan satu cinta untukmu, dan itulah kekuatanku. Keyakinan akan janji bahwa kau pasti kembali. Janji yang kita ikrarkan untuk selalu bersama saaut suka dan duka, sakit ataupun sehat, untuk atau malang sekalipun. Aku tak ingin melangkahi sumpahku sendiri. Aku tak peduli lagi dengan hujan pertama, asalkan kau bisa kembali saat ini.

Hujan Pertama Tahun Kesembilan
Dalam teve aku mendengar dan menyaksikan nasib beberapa tenaga kerja illegal yang berhasil dijaring polisi diraja Malaysia. Mereka dilaporkan oleh majikannya setelah terlebih dahulu disiksa dengan kejam. Tuntutan upah yang telah ditunggak beberapa bulan dijawab dengan cambukan kawat duri, siraman air mendidih dan diseterika. Aku sempat pingsan. Tak ingin mendengar ataupun melihat bahwa kau merupakan salah satu di antara mereka. Aku tak mau mengingat bahwa aku pernah mendengar dan menyaksikan berita itu. Ingin kuhancurkan saja teve yang bertengger di ruang tengah rumah kita. Aku benci teve yang tega-teganya menyiarkan berita semacam itu. Kau tidak termasuk salah satu dari mereka. Kau tidak tertangkap, dan kau pasti segera pulang, aku menjerit. Aku bak orang kerasukan yang menjerit-jerit sekeras mungkin. Tetangga-tetangga yang berdatangan mencoba menghiburku dengan berbagai macam cara. Sebagian memberi peneguhan, sebagian memberi penghiburan dengan kata-kata yang mengatakan bahwa belum tentu itu kau. Berhari-hari berita tertangkapnya puluhan tenaga kerja illegal itu menjadi topik utama dalam surat kabar maupun siaran radio dan teve. Sampai akhirnya kepastian itu datang. Kunjungan kepala desa dengan info yang dibawanya membalikkan bumi tempat pikakku. Kau tertangkap, sekarang dalam keadaan koma dan sementara diurus oleh pihak Negara kita untuk dipulangkan. Persetan dengan segala urusan tetek bengek. Aku mau kau pulang sekarang. Dalam keadaan apapun kau masih suamiku. Suamiku tercinta. Suamiku satu-satunya. Bapak presiden, tolong pulangkan suamiku. Tepati janjimu untuk mengembalikan suamiku ke sisiku.

Hujan Pertama Tahun Kesepuluh
Kau kembali. Rumah yang bertahun-tahun tak punya ceria telah kau isi kembali dengan aura cinta. Dalam bangga aku selalu bersyukur kepada Yang Empunya Kehidupan karena menjadikan dirimu anugerah terindah untukku. Kalau beberapa waktu lalu aku pernah membenci Tuhan, kini aku sadar jika Ia begitu mencintaiku. Mencintaimu juga. Mencintai kita. Ia mendengar setiap keluh kesahku dengan cara-Nya yang sungguh tak habis kumengerti. Terlalu ajaib. Aku pun menemukan jika Tuhan menjawab doa dengan cara yang dikehendaki-Nya. Berkata Ya dan memberikan yang aku mau, berkata Tidak dan memberikan sesuatu yang lebih baik, atau berkata Tunggu dan memberikan sesuatu yang jauh lebih indah pada waktunya. Aku bisa melihat sisi lain hidupku. Hidup tak selamanya sesuai dengan apa yang kuinginkan. Aku mengharapkan fajar yang cerah, tetapi betapa sakitnya ketika aku terjaga dan mendapati langit kelam berselimut awan. Kadang terasa hampa. Aku seakan menatap langit kosong. Padahal tanpa aku sadari, langit menyimpan banyak bintang. Yang aku perlukan hanyalah menyingkapkan awan-awan yang menghalanginya, atau kalau pun itu tak dapat kubuat, aku cukup saja menunggu malam tiba. Hidup tak pernah seindah yang aku pikirkan dan tak sepahit yang aku bayangkan. Bahkan hidup tak pernah pandang perasaan, namun dengan begitu aku belajar untuk menjadikan diriku manusia yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar