Selasa, 25 Oktober 2011

Gadis Berambut Ikal


By. Giovanni Arum
Aku sedang berjalan menyusuri  jalanan kota yang berdebu. Alkitab masih tergenggam erat di tanganku. Ya, aku baru saja mengikuti misa kudus di gereja. Aku berjalan di tengah kerumunan manusia. Mulai dari para lansia sampai bocah ingusan tersenyum lebar, berserakan keluar dari pintu Gereja. Aku berjalan sendiri menyusuri lorong sempit, tepat di samping pagar gereja megah. Rumah Tuhan, begitulah yang kutahu sejak masa kecilku.
Saat  kakiku menjejaki genangan-genangan air; jejak hujan semalam, aku mulai menyulut sebatang rokok. Maklum, udara berkabut seperti menelanjangiku. Pikiranku mulai liar berlari pada padang-padang kisah senyumku di masa lalu. Aku tiba-tiba teringat saat dimana ibu memelukku hangat, ketika dingin menyiksa tubuh mungilku waktu itu. Dan aku tersenyum.
Tiba-tiba saat aku masih berada dalam masa lalu, aku terperanjat. Sesosok tubuh kecil baru saja menabrakku. Rokok yang menggantung di bibirkupun terjatuh akibat tabrakan itu. Tapi tubuh mungil itu segera sirna dari hadapanku. Saat kupalingkan kepalaku, aku melihatnya lari terbirit-birit, menjauh, mengecil dan akhirnya menghilang di ujung persimpangan jalan menuju ke gereja.
Aku hanya terpaku di tempat, menatapnya pergi dalam diam. Aku ingin mengejarnya, bocah nakal yang melemparkan aku kembali dalam dunia nyata yang kejam ini. Ya, aku ‘dipaksa’ kembali dari dunia kecilku yang indah dan hangat. Jujur, aku membenci bocah kecil pengganggu itu. “Setan kecil!”, ujarku dalam hati. Tapi aku sempat memotret sosoknya dalam mataku. Ia adalah bocah perempuan berambut ikal yang berlari tanpa mengenakan sandal.
“Pengemis sialan! Pasti dia kedapatan mencuri sesuatu dan dikejar oleh pemiliknya.”
Jadi tepatlah bahwa aku membenci dunia nyata ini. Dunia yang lebih kejam dari neraka. Bocah-bocah kecil yang ‘seharusnya’ berwajah malaikat, kini menjelma setan-setan pengacau. Manusia tak lagi seperti manusia. Mungkin iblispun malu, melihat kelakuan anak-anak manusia yang justru lebih kejam darinya.
Kemudian aku berjalan lagi. Amarahku masih meletup-letup di kepala.
“Tenang, Fian!” pintaku pada diri sendiri.
Aku menarik nafas panjang. Kutahu, tarikan nafas dapat memompa banyak oksigen ke dalam paru-paruku, dan memperlambat detakan jantung yang dipicu oleh kemarahanku tadi. Aku menyukai cara ini. Kutahu jiwa dan tubuh itu menyatu. Psikosomatis. Aku tak mau masalah emosi menyebabkan tubuhku menjadi sakit.
Ketika sampai di kamarku, aku menaruh Alkitab kembali di meja doaku. Dan aku bergegas mengambil sebuah buku dan membalut tubuh dinginku dengan selimut tebal. Aku menyenangi aktivitas membaca di tempat tidur. Walau kutahu, hal itu tidak baik bagi kesehatan mataku. Namun, sensasi kenikmatan yang ditimbulkannya membuat hal itu menjadi kebiasaan yang sulit diubah. Hal ini dapat saja diibaratkan dengan menghentikan peradaban masyarakat Mesir Kuno untuk berkorban nyawa di altar suci demi keselamatan semua orang. Sudah mendarah daging. Seburuk apapun kenyataan yang ditimbulkan oleh sesuatu tak pernah mampu menepis sebuah nilai kepercayaan. Maka, aku memilih ‘membunuhnya’ dalam tidur. Semoga aku melupakannya ketika kubuka mataku nanti.
                                                                       ***
“Maafkan aku, Kak!”, pinta gadis berambut ikal itu.
“Aku tak mau. Kaulah orangnya. Ya, kau orang yang menabrakku waktu itu.”
“Maafkan aku, Kak! Aku tak sengaja”, ia terisak.
Stop! Hentikan air mata buayamu. Kau pasti baru saja selesai mencuri.”
“Tidak, Kak!”
Plak. Aku menamparnya.
                                                                         ***
Huuufff... Hanya mimpi!”, aku tersentak.
Kutarik napasku dalam. Di luar masih berkabut. Kulayangkan pandanganku pada jam dinding yang tergantung di tembok kamarku.
Ah... jam empat sore. Aku harus bergegas mandi.”
Setelah selesai mandi, aku kembali duduk pada meja belajarku. Kulekas mengambil sebuah buku. Kebiasaan rutinku. Books are friends. Buku-buku adalah teman. Tanpa sengaja kuambil sebuah buku berjudul “Menafsir Mimpi; Bahasa Sandi Tuhan”, karya Wolfgang Bock.
Mimpi bukanlah bunga tidur semata. Ia adalah bahasa sandi Tuhan...
‘Aku harus menemukannya!’, batinku.

Minggu, 12 Mei  2011
Seperti biasa aku mengikuti misa pertama di gereja. Bacaan Injil hari ini mengisahkan tentang Lazarus dan orang kaya. Pemimpin misa berkhotbah dengan begitu indah. Kucuri pandangan ke sekitarku. Para tua-tua hanya menganggukan kepala. Entah itu gerakan mengamini atau sekedar gestikulasi rasa kantuk akibat malam minggu jahanam. Sedang di sudut sana, sepasang ibu-ibu sedang bergosip ria. Mungkin membahas tentang artis baru di sinetron kesayangan mereka atau tentang harga cabai yang melambung tinggi.
Perbedaan kontras antara Lazarus dan orang kaya adalah pada namanya. Lazarus memiliki nama, sedang orang kaya tidak. Nama adalah jati diri. Bagi orang kaya, jati dirinya melekat pada apa yang dimilikinya. Kekayaan. Dan itulah yang justru berujung sengsara... Marilah saudara sekalian, kita mulai berusaha memandang dan membantu ‘Lazarus’ dewasa kini...Orang-orang malang yang membutuhkan. Semoga. Amin.
Setelah Pastor selesai berkhotbah, aku terhentak. Pikiranku masih saja berada pada kisah dua orang itu.
‘Dimana Tuhan?’, batinku.
Kucermati cerita itu. Tidak pernah ada satu kalimat bahkan satu kata yang menunjukkan kehadiran-Nya.
“Apakah Tuhan tidak menolong Lazarus, oarang yang sangat membutuhkan-Nya?”
Setelah menjejakkan kaki keluar pintu gereja, aku masih saja bertanya pada diriku sendiri.
“Apakah Tuhan bersembunyi?”, tiba-tiba saja aku terhentak.
“Bukan. Bukan. Ini adalah sebuah permainan kata. Lazarus adalah versi Latin dari kata Ibrani, Eleazarus. Eleazarus berarti Tuhan yang menolong. Tuhan bukannya tidak ada. Ia tidak bersembunyi. Ia adalah Lazarus. Tuhan adalah ‘orang yang menderita itu’. Orang yang menderita adalah ‘Tuhan’.”
Aku tersenyum.
Lalu kulangkahkan kaki melewati lorong gereja yang sama. Aromanyapun tetap sama. Berbau pesing, hasil urine para pemabuk yang kalah berjudi. Di belakangku begitu banyak orang tertawa. Ibu-ibu bergosip tentang pakaian baru mereka. Anak-anak berlari, memegang uang seribuan di tangan. Kulihat pedagang kaki lima tersenyum puas menatap dagangannya laku, seperti seekor kucing yang menanti  tikus masuk ke dalam mulutnya.
 “Persis, ketika Tuhan ‘marah’ saat orang-orang berdagang di kenisah Allah. Hidup adalah perulangan! Mungkin Tuhan ‘harus’ mati lagi.” Aku terdiam.
Namun di kejauhan sana, di sudut lorong itu. Kulihat wajah mungil berdandan debu itu lagi. Melerok kanan-kiri dan akhirnya ia berhenti pada sasarannya. Tumpukan sampah di sudut sana.
 “Apa yang dilakukannya?”. Aku hanya menatap tajam.
Ia lalu dengan sigap seperti anak petir memungut sisa-sisa roti yang dibuang oleh orang-orang. Ia memungutnya. Gadis berambut ikal itu. Ia berlari. Bersembunyi di balik pohon beringin yang cukup besar untuk menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya tak bisa ia sembunyikan dariku. Aku berlari mendapatkannya. Dan aku hanya menatapnya. Ia sadar akan keberadaanku. Aku tak berkata-kata, sebab lidah ini kelu, tercekat di langit-langit mulutku. Kutatap tajam mata mungilnya. Mata sebening embun pagi  yang tersembunyi di balik kulit wajah berdebunya. Namun perlahan, mata itu berubah. Berkaca. Lalu meneteslah air bening itu dari pelupuk. Dan ia menangis.
Kutarik nafasku dalam-dalam. Alkitab masih tergenggam erat di tanganku. Aku salah. Ia bukanlah seperti yang  kusangka. Kutahu alasan ia lari terbirit-birit setiap misa usai. Ia menunggu adanya remah-remah yang dibuang oleh anak-anak kecil. Ia kelaparan. Dan aku tak tahu.
Tiba-tiba detik berdetak lambat. Pikiranku jauh melayang. Lalu Alkitabku basah. Kusadar, aku menangis. Kupeluk tubuh mungil itu erat. Kami menangis bersama. Air matanya meresap, menusuk ke dalam pori-pori hatiku. Di sela-sela tangis kami, dari jauh terdengar sayup-sayup khotbah pastor pada misa kedua.
 Bantulah orang-orang yang susah dan kelaparan . Sebab Tuhan ada dalam diri mereka.”
Aku heran dengan dunia. Manusia mengklaim dirinya beragama. Mereka mengikuti ibadat setiap minggu. Bahagia setiap keluar dari pintu gereja itu. Mereka memuji Tuhan. Mereka berkata; “Pujilah Tuhan di tempat yang tinggi.” Tapi sungguh sangat ironis. Lazarus. Eleazarus. Tuhan yang menolong. Tuhan ada pada orang  yang menderita. Orang yang menderita adalah ‘Tuhan’.
                Aku pandang gedung megah_Rumah Tuhan itu, dan kutatap gadis berambut ikal ini. Sejenak aku tertawa dalam batin. Kutemukan kenyataan yang janggal. Sangat janggal. Tuhan menjadi asing di Rumah-Nya sendiri. Di dalam sana, manusia beragama, bernyanyi dengan perut membuncit kenyang. Tapi di sini, di bawah langit ini, Tuhan sedang kelaparan. Mereka mengenakan pakaian yang indah-indah. Tapi di sini Tuhan telanjang. Mereka memoles wajah mereka dengan bedak-bedak bermerek, tapi di sini Tuhan berdandan debu.
Kemudian angin membawa getaran-getaran suara manusia itu. Mereka tersenyum dan tertawa bahagia, telah menguduskan hari Tuhan. Tapi di sini, di bawah pohon ini gadis ini masih terisak. Tangisnya semakin pilu. ‘Tuhan’ menangis.
“Lazarus. Eleazarus. Manusia tertawa tapi Tuhan menangis”.
Aku menangis dan tertawa.
 “Dunia memang gila!”
            “Apa yang kaulakukan untuk saudaraKu yang paling hina ini, engkau lakukan untuk-Ku...”, Sabda TUHAN.

Untuk semua makhluk beragama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar