Selasa, 25 Oktober 2011

Cinta yang Menggugat


By. Carlos DS Conceicao

Di bulan juli, saat masuk liburan sekolah.Dalam pelukan mesrah, terdengar sayu bisikan cinta. Percikan buih-buih asmara yang tersembur dari mulut, tak hengkang menari-nari di atas wadas perjanjian “Aku sangat sayang sama kamu”. Terasa di bahu hentakkan jantung yang berdebar. rasa cinta yang tak sudi ditinggalkan. Kebisingan malam di Pelabuhan Tenau itu menjadi saksi.
Beralaskan sepotong tikar yang  teranyam dari daun lontar. Kami duduk terhimpit di tengah kerumunan penumpang yang tak sabar lagi menanti Kapal yang hampir berlabuh. Terang sinar bulan malam itu bertaji silau dengan gemerlapnya lampu kapal yang berkedip makin jelas. Kapal makin mendekat. Hati rasanya dihakimi situasi. Semua penumpang sudah bersiap-siap. Tiada lagi yang duduk. Berdiri berhimpitan, lazimnya di pelabuhan. Aku masih merangkulnya erat dalam pelukkanku yang mesrah. Kami masih terus saja duduk. Tak peduli, sebagian ujung tikar yang kami duduki, sudah diinjak-injak orang. Posisi kami menghadap ke dermaga. Dari sela-sela kerumunan orang, nampak merkuri lampu kapal yang sangat mempesona. Dengan pasti kapal mulai mengampil posisi haluan untuk bersandar. Beberapa menit kemudian, nampak di depan kami tabir body kapal yang besar. Membentang menghalau pandangan ke samudera luas. Kapal sudah bersandar di dermaga. Situasi sangat bising. para penumpang yang mau pergi pun bersiap-siap untuk naik ke  kapal. Tak ketinggalan pula penumpang yang hendak turun dengan kesibukannya sendiri. Tak kalah saing juga dengan teropong informasi yang tiada putusnya berkoar-koar dengan informasi-informasi.
Aku terlena dengan situasi. Aku  masih saja memelukknya erat, sembari menyelami kebisingan malam itu. Ia terbuai dalam pelukkanku yang mesrah itu. Aku seakan lupa kalau ia akan segera pergi. Giliran para penumpang untuk naik ke kapal. Sontak aku tersadar, ia  harus terlepas dari rangkulanku. Berulang kali memandang wajahnya. Dengan tenang jemariku menyibak tirai rambutnya yang sempat romol, karena cukup lama dalam rangkulan manjaku. Mengelus-elus pipinya yang mulai berderai air mata. Aku pun tak urung menahan rasa sedih. Aku berusaha untuk tidak menangis. Hatiku sangat tersiksa. Aku mulai bungkam. Dalam  kebisuan itu, aku mengharapkan suaranya. Adakah yang  ingin diungkapkan? Mungkinkah dia akan pulang ke Jogya dengan perasaan malam ini yang dipendam? Spontan ia memelukku erat. Tanpa terasa bahuku basah oleh deraian air matanya. Aku berusaha untuk menikmati pelukkan mesrahnya yang terakhir. Ia mendaratkan pipinya pada bahuku. Dari sana terdengar bisikan
 ka’ Riko, rasanya aku tak ingin pergi sendirian.  aku sangat sayang sama kaka’. Aku menginginkan kehadiran ka’ Riko  dalam hidupku. Aku membayangkan ka’Riko layaknya ayahku yang pernah aku dambakan, namun sudah meninggal sejak aku masih kecil. Aku   tahu ka’ Riko sudah mengetahui hal itu. Aku sangat senang karena kamu sangat mengerti sama aku”.
 Bisikannya itu seakan mengingatkan aku tuk membuka lembaran kisah-kisah hidupku di masa silam. Ayahku juga sudah meninggal semenjak aku masih kecil. Ayah meningal ketika ibuku sedang mengandung adikku yang bungsu. Semenjak aku keluar merantau dan kini menjadi Polisi, aku tak pernah tahu keberadaan ibu dan adikku. Dalam dekapan cinta, pikirannku melalangbuana jauh, entah kemana.
Klakson kapal mulai menggema. Tanda kapal hengkang pergi. Para penumpaang suda siap dia atas kapal.  Dalam gandengan cinta, aku mengantarnya ke atas kapal. Beberapa menit sebelum berangkat, ia sempat berpesan “sayang, jangan lupa datang pada saat aku wisuda”. Aku  pun berjanji kalau aku akan pergi saat wisudanya bulan oktober.
Senja  sudah lama pamit. Malam pun sadah larut. Kapal mulai bernajak pergi. Diiringi kecup manis dan lambaian tangan. “hati-hati di jalan sayang...!” begitu terdengar suaranya yang sayu di tengah deru ombak yang menghantam tembok dermaga. Aku pun membalas lambaian tangannya, “slamat jalan sayang...sampai ketemu bulan Oktober”!.
*********************************
Malam itu, di bulan oktober, aku berbaring dia atas tempat tidurku. Selang beberapa menit, HP-ku berdering. Aku bergegas memungutnya  dan membuka. Ternyata ada telpon dari Mely sayangku. “ka’, kamu kapan datang?”, begitu ia langsung bertanya ketika aku menekan tombol open. “malam sayang...koq gelisah sekali...?. Aku sempat menjawabnya dengan nada kelakar. Lanjutku,”besok setelah aku izin ke kantor, aku langsung turun...oke!. dengan nada manja, ia meminta perhatianku; “ka’ Riko, aku minta waktu untuk mengatakan sesuatu....boleh ka’?”. Dengan nada sayu, ia mulai menggiring konsentrasiku. Aku pun mulai curiga, jangan sampai ia tidak jadi wisuda lusa nanti.
 sayang, maafkan aku. Wisudahku bakalan tak seramai yang dibayangkan karena tiada keluarga yang bersedia hadir kecuali ibu kandungku,karena jauh. Ka’ Riko tahu kalau aku tak punya saudara lain, selain hanya ibuku. Aku tak mau ka’ Riko kecewa denganku”.
 Mendengar itu, aku hanyut dalam lamunanku. Tiada firasat lain  karena aku sangat mencintainya. Tiada alasan bagiku untuk tidak menghadiri acara wisudanya. Dalam lamunan singkat, aku berkeputusan untuk tetap menjamin acara wisudanya.
“Me’ , kamu tahu kalau aku sudah terlanjur mencintai kamu. Aku sangat sayang sama kamu. Jangan khawatir sayang, biarkan semua berjalan sesuai rencana. Sayang, Apa yang sebenarnya kamu ragukan? Jujurlah padaku sayang, aku tahu masih ada yang kamu sembunyikan di balik semua perkataanmu”.
Aku mulai mengumpan isi hatinya. Dengan nada keluh ia berani mengungkap keberatannya; “ka’Riko, aku tak punya uang cukup untuk membayar hotel buat ibu. Karenanya ibu juga senang nginap di kos bersama aku. Namun,....” “sayang, kamu jangan berpikir terlalu jauh. Sebelum ibumu pergi kita sudah harus selesaikan”, begitu aku langsung memotong pembicaraannya.
Dengan persiapanku yang cukup, aku nekat untuk menyukseskan wisudanya. Aku berangkat dari Kupang ke Jogja, setelah pulang izin di kantor. Mely menjemputku di bandara. Setelah terbang ±satu jam, pesawat mendarat. Ia sudah menanti di ruang tunggu. Ketika turun dari pesawat, ia bergegas lari mendapati aku dan dengan haru memeluk aku dan menangis. Sepintas terlintas drama pelabuhan bulan juli lalu kembali terjadi. Kami beriringan menuju kosnya yang tak jauh dari Bandara. Di sana sudah disiapkan makan siang. Setelah beristirahat sejenak, kami bersantap siang ala kadarnya. Berguyon dan berkelakar menghantar makan siang kami, sembari melupakan semua yang melilit pilu.
Aku berusaha untuk membuat ia senang. Dengan maksud agar esoknya bisa mengikuti wisuda dengan gembira. Sambil bercanda, aku mengajaknya tuk menyusun rancangan acara bersama teman-temannya di hari wisudanya esok. Dengan malu tersipu-sipu ia berani mengajakku tuk merancang bersama. Iseng-iseng sambil menanti sore hari tuk pergi menjemput ibunya di Bandara. Selesai merancang acara, termasuk menyiapkan hotel untuk ibunya, aku di ajak untuk menjemput ibunya di Bandara. Katanya, ia sudah menceritakan kepada ibunya kalau ada temannya laki-laki yang membantunya. Dengan penuh kebimbangan dan rasa malu, sebelum berangkat ke Bandara, aku memohon Mely tuk meyakinkan aku kalau ibunya tidak akan memarahi aku. Pasalnya ibu belum mengenal aku. Lagi pula aku telah mendahului urusan anaknya. Dengan guyon, ia mulai mempermainkan perasaanku;
 “katanya mau jadi calon menantu, koq takut sama mama mantu?”.
Aku hanya bungkam. Pikiranku makin kacau, kalau sampai aku diusir oleh ibunya karena membuntuti anaknya yang belum wisuda. Akankah ibunya tersinggung dengan campur tanganku?. Lebih jauh lagi aku berpikir, kalau aku dipaksa meninggalkan Mely dalam situasi ini? Akankah harus memaksakan diri? Atau harus pulang dengan kecewa dan justru mengcewakan Mely?. Aku begitu terlena dengan lamunanku di alam penantian nasib Cinta di Bandara. Sambil menatap wajahnya, aku sempat berbisik dalam hati “sayang, apa pun yang terjadi, aku akan tetap mencintai kamu. Aku mencintai kamu dengan tulus. Bahkan pengorbanan tanpa syarat. Sayang aku mau kamu tetap bahagia”. Sementara menikmati khayalanku, Mely mendaratkan tangannya di bahuku. Menepuk bahuku sembari berucap histeris kalau pesawat yang ditumpangi ibunya  sudah mendarat. Aku pun turut berdiri. Melemparkan pandangan ke arah datangnya para penumpang yang baru turun dari pesawat. Mataku mulai memilah-milah penuh penasaran;
 mana ibu kamu Me’?” tanyaku penasaran. Mely pun mengacungkan tangannya dan menunjuk ke arah ibunya yang mengenakan blus coklat. Dari  kejauhan, ibunya telah melihat kami berdua beridiri sejajar di ruang tunggu. Ibu makin mendekat. Ketika mengangkat matanya, ibu langsung mengarahkan pandangannya kepadaku.
Ibu menatapku tajam. Badanku terasa dingin. Seluruh tubuhku terasa kaku. Jiwaku rasanya sulit diajak kompromi. Begitu pun dengan ibu. Ketika hendak bersalaman, lengan tak sanggup tuk diacungkan.
Aku merasa terpukul. Dengan tatapan tajam, aku meyakinkan diri kalau aku pernah mengenal perempuan itu. Mulutku enggan tuk menyapa ibu. Spontan ibu  menyapaku;
Rik......Riko???? sembari melangkah hendak merangkulku. 
Sontak aku langsung terharu. Aku kaget ketika disapa dengan namaku. Nama yang ia sendiri berikan padaku ketika aku melonjak keluar dari rahimnya.
 ibu....!!!!!!” akupun menangis histeris.
Riko......anaku!!!Riko....anakku!!! berulangkali merangkulku, mengusap wajahku. Melihat Mely yang tercengang heran, ibu berpaling;
 Me’....ini kakakmu. Sudah dua puluh tujuh tahun tidak pernah bertemu”.
 Mely pun spontan mengingat semua kisah cerita bersama Riko yang tanpa disadari. Ia melangkah memeluk erat Riko dan menangis.
“Me’ maafkan kakak. Ka’ tidak pernah tahu kalau kamu adik kandungku, kalau ibumu adalah ibuku juga”.
Tangis histeris keluarga yang baru bertemu ini, memecah belah luasnya bentangan alam bandara yang luas itu. Akankah kesuksesan Riko adalah kesuksesan keluarga?.
THE END!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar